MEWABAHNYA eceng gondok, perambahan hutan di sekeliling daerah tangkapan air, berkembangnya keramba ikan di Dam, terjadi sedimentasi, antara lain inilah biang terjadinya krisis air di dam tadah hujan di beberapa dam di Batam.

Itulah fakta yang dikemukakan Direktur BP Batam yang satu ini ke publik, lewat media ternama di Batam.
Disadari atau tidak, pernyataan sang Direktur, Binsar Tambunan itu, tak obahnya “menepuk air di dulang”.
Kalau benar terjadi perambahan hutan di catchment area Dam, sebagaimana disampaikan Sarjana Teknik Lingkungan jebolan ITB ini: sungguh mengejutkan.
Mengejutkan karena asumsi perusakan hutan itu, bukan lagi penebangan satu dua dan sepuluh pohon. Kerusakan hutan sebagaimana dimaksud Binsar, paling tidak mendekati ambang batas, karena sudah sampai merusak ekosistem alam dan lingkungan yang cukup mengkuatirkan.
Memang Binsar tak mendeskripsikan luas hutan yang dirusak oleh tangan-tangan jahil itu. Kecuali tentang menurun drastisnya debit air Dam berkapasitas 3000 meter kubik per menit itu.
Tapi, kondisi itu, dapat mengganggu sustainable kecukupan air baku di Batam, yang sesungguhnya kemungkinan risiko-risiko seperti ini, sudah diperhitungkan dan diantisipasi para ahlinya lewat teori handal, jauh sebelumnya.
Lalu mengapa itu bisa terjadi? Bukankah BP Batam sudah menyiapkan dan memiliki sistem pengamanan yang mumpuni atas penyelamatan seluruh hutan lindung atau aset BP Batam ini dari tangan-tangan orang yang tak bertanggung jawab?
Bukankah Direktorat Pengamanan (Dirpam) BP Batam yang dikomandoi seorang Jenderal Polisi dengan 275 personil itu— siap siaga, setiap saat, mengawasi tangan-tangan jahil yang melakukan tindakan ilegalnya merusak ASET VITAL milik negara ini?
Ironis memang, mencermati pengakuan Direktur Badan Usaha Fasilitas dan Lingkungan BP Batam ini.
Tak hanya soal perusakan hutan di lingkungan Dam. Tapi ternyata, di Dam itu beranak-pinak keramba apung para nelayan ikan. Unit keramba yang bisa tampak dari jarak jauh sekalipun. Keberadaaan mereka yang tidak sembunyi-sembunyi. Tapi jelas menganggu keberadaan Dam.
Belum lagi gulma enceng gondok yang sangat menganggu ekosistem lingkungan air. Ini sampai berkembang, karena kemungkinan terjadi pembiaran.
Bukankah juga, gulma enceng gondok yang mewabah di Dam Duriangkan itu, proses pembiakannya bukan “ujuk-ujuk”?
Enceng gondok yang sampai merepotkan para pimpinan dan personil BP Batam, hingga terpaksa bergotong-royong, memutik-mutik sebagian kecil dari wabah enceng gondok itu.
Pun soal fakta sedimentasi Dam, pastilah endapan timbunan tanah atau lumpur itu melalui proses waktu yang tak sekejap.
Pertanyaan: pada ke mana dan di mana fungsi kontrol dan pengawasan pihak BP Batam selama ini?
Bila membaca beberapa poin penting dari pernyataan Binsar, solusi yang disampaikan dalam mengatasi masalah stok air baku di Dam itu ke depan, hanyalah teori “pengobatan” bukan pencegahan. Pendapat yang tak seluruhnya salah memang.
Misalnya, dalam berita yang dirilis media lokal beberapa edisi lalu, bahwa ke depan BP Batam telah mempersiapkan sekenario teori desalinasi mengantisipasi akan masa depan kekurangan air baku di Batam.
Bukankah solusi desalinasi itu, opsi paling akhir dari semua opsi dari teori penyelamatan ketersediaan air kehidupan ini di Batam?
Bukankah proses menetralisasi air laut ke air tawar, adalah satu proses yang langka di dunia, yang menurut para pakar air, pastilah dengan biaya tinggi. Apalagi karena menggunakan teknologi canggih pula?
Juga soal keberadaan terkini kondisi Dam yang dipaparkan Binsar. Solusi yang dirancang selalu teori pengobatan yang konsekuensinya pada pengeluaran biaya yang besar dan memakan waktu lama di banding proses alami.
Tak terbetik sedikit pun dalam rilis Binsar di media itu, koreksi dan introspeksi dari pihak BP sendiri. Koreksi atas kelalaian, pun dugaan kesengajan pembiaran kerusakan selama ini.
Koreksi agar mulai hari ini dan ke depan, keamanan dan kelestarian habitat aset vital itu supaya benar-benar dijaga?
Kemudian upaya yang akan dilakukan untuk mereboisasi hutan yang dibabat para tangan jahil itu. Pembenahan Dam lewat kontrol standar prosesur operasional(SOP) yang sudah ada.
Memang dalam rilis itu, Binsar, tak menyalahkan siapa-siapa, kecuali menawarkan “obat” yang tentu akan menghabiskan uang negara yang tak tanggung.
Binsar tak menyinggung ada keteledoran pengawasan atas kerusakan alam yang terjadi, yang sebenarnya semua itu harus dipertanggung-jawabkan pihak pengawas dari BP Batam sendiri.
Sengkarut di BP Batam, terkhusus soal krisis air ini, tak salah, bila masyarakat menyimpulkan bahwa inilah bagian dari borok-borok pihak BP Batam yang terjadi selama ini.
Pernyataan Binsar atas fakta kerusakan aset BP Batam yang kurang kontrol ini, sekaligus mengkonfirmasi fakta sengkarutnya kinerja tim besar di BP Batam, selama ini.(***)