BatamNow.com, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Kamis (01/04/2021).
Dilansir KOMPAS.com, SP3 itu diberikan untuk tersangka yang merugikan negara senilai Rp 4,58 Triliun, yakni pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, keluarnya SP3 itu merupakan dampak dari adanya Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK yang merupakan revisi UU KPK.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebut, dalam UU tersebut terdapat pemberian kewenangan pada KPK untuk menerbitkan SP3.
“Dalam Pasal 40 UU a quo disebutkan bahwa KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun,” kata Kurnia kepada Kompas.com, Selasa (06/04/2021).
Dengan kewenangan ini, Kurnia berujar, kasus-kasus besar yang belum selesai di KPK bukan tidak mungkin akan dihentikan di masa yang akan datang.
Selain itu, menurut dia, kinerja dari DPR bersama dengan pemerintah yang tetap memaksakan penerbitan SP3 pun layak untuk dipertanyakan.
Sebab, legislasi tersebut justru bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 006/PUU-1/2003 tertanggal 30 Maret 2004.
Saat itu, lanjut Kurnia, permohonan uji materi diajukan oleh kelembagaan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) bersama dengan tiga puluh dua anggotanya.
Salah satu Pasal yang diuji ke MK, adalah Pasal 40 ihwal larangan KPK menerbitkan SP3.
MK pun menjawab permohonan tersebut sebagai berikut.
“Ketentuan tersebut justru untuk mencegah KPK melakukan penyalahgunaan wewenangnya yang sangat besar. Sebagaimana diatur KPK berhak untuk melakukan supervisi terhadap dan mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dari aparat penegak hukum lain”
Maka “Jika KPK diberikan wewenang untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan terhadap perkara korupsi yang tengah ditangani aparat penegak hukum lain, dikhawatirkan wewenang tersebut dapat disalahgunakan”.
Dengan adanya putusan MK tersebut, Kurnia berpendapat, sebenarnya sudah menegaskan bahwa keberadaan Pasal 40 UU No 30 Tahun 2002 tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan mana pun, khususnya Undang-undang Dasar 1945.
Tidak hanya itu, bahkan MK beberapa tahun selanjutnya menjawab problematika terkait dengan suatu kondisi dimana KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka, namun pada kemudian hari ditemukan fakta bahwa bukti permulaan yang cukup tidak terpenuhi.
“… Yang masih menjadi persoalan adalah, bagaimana jika terjadi keadaan bahwa ternyata tidak terjadi tindak pidana sebagaimana yang disangkakan dan keadaan demikian baru diketahui tatkala proses telah memasuki tahap penyidikan atau penuntutan, sementara KPK tidak mempunyai kewenangan untuk menerbitkan SP3.
Apakah perkara yang bersangkutan akan tetap diteruskan penyidik ke penuntut umum pada KPK, dalam hal keadaan dimaksud baru diketahui pada tahap penyidikan, atau apakah penuntut pada KPK harus tetap mengajukannya sesuai dengan tuntutan semula di depan pengadilan, dalam hal keadaan dimaksud baru diketahui pada tahap penuntutan, padahal tidak didukung dengan bukti yang cukup.
Dalam keadaan demikian Mahkamah berpendapat bahwa penuntut umum pada KPK tetap berkewajiban untuk membawa terdakwa ke depan persidangan dengan mengajukan tuntutan untuk membebaskan terdakwa.
Hal demikian adalah lebih baik daripada memberi kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3, baik dari perspektif kepentingan terdakwa, dari perspektif kepentingan publik, maupun dari perspektif kepentingan aparat penegak hukum itu sendiri, dalam hal ini khususnya penyidik dan penuntut umum pada KPK”
“Sehingga sudah jelas, seharusnya tidak ada lagi dalih yang membenarkan langkah DPR dan pemerintah untuk memasukkan instrumen SP3 pada KPK,” tutur Kurnia.
ICW, kata dia, sudah mengajukan uji materi terhadap UU KPK ke MK. Diharapkan, kata dia, dengan pertimbangan putusan sebelumnya, MK membatalkan seluruh substansi UU KPK, termasuk Pasal 40.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, dengan keluarnya SP3 oleh KPK tersebut, maka keduanya kini tidak lagi berstatus sebagai tersangka.
“Karena sudah dihentikan maka tentu keduanya tidak lagi berstatus tersangka,” kata Ali kepada Kompas.com, Minggu (04/04/2021).
Ali menyampaikan, KPK akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mencabut status daftar pencarian orang (DPO) yang pernah dikeluarkan KPK terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya.
“Adapun status DPO akan segera kami koordinasikan dengan pihak Imigrasi untuk penyelesaian tindak lanjut administratifnya,” ucap Ali.
KPK sendiri berpendapat bahwa, penghentian penyidikan kasus ini sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hal itu, sebagai bagian dari adanya kepastian hukum dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
“Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu ‘Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum‘,” ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Kamis (01/04/2021)
“Penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK,” kata Marwata.(*) 0