News Analysis
Oleh: Tim News Room BatamNow.com
Ibarat makanan, dana hibah Rp 69,6 Miliar itu sudah tersaji oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Tapi, seakan kekenyangan, Pemko Batam tak menghabiskannya.
Dari pagu yang disajikan, hanya Rp 50,49 Miliar saja direalisasikan. Sisanya Rp 19,18 Miliar.
Dana itu tersisa di kas kantor Kemenparekaf?
Presiden Marah, Ada Anggaran Tak Terserap
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah marah besar di rapat kabinet, awal pandemi Covid-19, tahun 2020.
Saat itu, presiden ketujuh itu melihat anggaran teronggok alias tak terserap di hampir semua kementerian.
Sementara kondisi ekonomi sedang terseok dibantai angkara-murka pandemi Covid-19.
Maka Jokowi memerintahkan keras para menteri untuk segera menggelontorkan semua anggaran, agar dapat mensitimulus pergerakan ekonomi yang tengah terseok itu.
Batam Terima Dana Hibah Kemenparekraf
Pada Tahun Anggaran (TA) 2020, Kemenparekraf menganggarkan untuk 101 daerah penerima dana hibah dengan total Rp 3,3 Triliun.
Dana sebesar itu sebagai dana dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di masa pandemi Covid-19.
Kota Batam pun ketiban sebagian dari dana cuma-cuma itu. Besaran angkanya seperti ditulis di atas.
Kegunaan dana hibah itu diarahkan ke dua jenis penerima utama, yakni pelaku pariwisata hotel dan restoran serta Pemko Batam sendiri.
Tapi menjadi pertanyaan dan terasa janggal, mengapa Pemko Batam enggan menghabiskan Rp 69,6 Miliar yang tersaji?
Mengapa tak “dijolok” habis agar mengucur ke Kota Batam.
Supaya dapat dibelanjakan sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi di kota ini di saat sektor parawisata tengah tengkurap.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Panitia Khusus (Pansus) DPRD Batam, Selasa (04/05/2021) belum ada jawaban tuntas dari perwakilan Pemko Batam, soal itu.
Tentang rincian penyaluran dana pariwisata itu memang ikut diurai di RDP Pansus pada pembahasan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPj) Wali Kota Batam atas APBD TA 2020, Selasa (04/05).
Udin P Sihaloho sebagai anggota Pansus, yang juga berlatar belakang pedagang itu, mencoba “mengobok-obok” lintas dana hibah itu, rupiah demi rupiah lewat RDP Pansus itu.
Sangat tak masuk akal mengapa Pemko Batam seakan tak butuh duit cuma-cuma yang tersisa itu.
Apakah Pemko Batam merasa “terbebani” andai dana itu diambil seluruhnya dari kas Kemenparekraf?
Atau memang brankas Kemenparekraf ibarat sudah terkunci?
Bukankah masih banyak lagi pelaku pariwisata di Batam yang tak tersentuh dana hibah itu?
Tengoklah realisasi penerima hibah di sektor pariwisata itu. Dari total 222 hotel dan 810 restoran yang ada di Batam, TERCATAT hanya 30 persen atau 72 hotel serta 4 persen atau 35 restoran saja sebagai penerima.
Itu yang tercatat loh!
Mengapa Hanya 30 Persen Hotel dan 4 Persen Restoran Kebagian Dana Hibah?
Dalam petunjuk teknis penyaluran dana hibah itu memang diatur kriteria penerima, sebagaimana Keputusan Menteri Parekraf No. KM/704/PL.07.02/ M-K/2020.
Hotel dan restoran, misalnya, (1) mesti ada database Wajib Pajak, (2) Hotel masih berdiri dan masih beroperasi saat pelaksanaan hibah pada bulan Agustus 2020, (3) Memiliki perizinan TDUP yang masih berlaku dan (4) memiliki bukti pembayaran PHPR pada tahun 2019.
Dan ada lagi persyaratan teknis lainnya.
Nah, pertanyaan selanjutnya, mengapa hanya sekitar 30 persen dari total jumlah hotel dan 4 persen dari total restoran ditetapkan sebagai penerima?
Kan masih banyak dana yang tersaji di kementerian?
Apakah sebagian besar dari calon penerima tak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh aturan petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis (juklak/ juknis) penyaluran dana hibah itu?
Apakah, misalnya, para pengusaha hotel dan restoran itu, belum semua menjadi Wajib Pajak atau dengan persyaratan lainnya?
Andai itu yang terjadi, Pemko Batam dapat dikata kebobolan dari sektor penanganan pajak hotel dan restoran sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dan diasumsikan juga legalitas hotel dan restoran tak lengkap dan standar.
Tentang itu, terasa janggal. Dan seakan tak masuk akal.
Sekitar Rp 12 M Belum Diketahui Ke mana
Kejanggalan lain, bila melihat komposisi besaran dana bagi penerima.
Ditetapkan di juknis itu bahwa komposisi penerima, 70 persen dialokasikan ke Industri Hotel dan Restoran serta 30 persen dialokasikan ke Kas Daerah.
Namun pada praktiknya, dari dana hibah Rp 50,5 Miliar itu, hanya 56 persen atau sama dengan Rp 28,4 Miliar disalurkan ke Industri Hotel dan Restoran.
Lebih janggal lagi, justru Pemko Batam yang dapat porsi 44 persen atau sama dengan Rp 22,50 Miliar. Padahal dalam juknis itu diplot: Pemko hanya dapat 30 persen.
Dan ternyata bagian Pemko Batam yang Rp 22,50 Miliar itu, Rp 9,8 Miliar dialokasikan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Batam.
Sedangkan Rp 12,70 Miliar, belum diketahui persisnya disalurkan ke mana.
Tapi dalam catatan Pemko Batam, selain Disbudpar, masih ada lagi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain yang diplot sebagai penerima.
Antara lain yang dicatatkan Pemko Batam, Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Bina Marga dan Dinas Perumahan dan Pemukiman (Perkim) juga diplot dapat alokasi.
Agak janggal juga sampai kantor dinas yang tidak terkait langsung dengan dunia pariwisata, pun ketiban dana hibah itu.
Memang dalam juknis itu disebut bahwa dalam pelaksanaan penetapan dana hibah itu melibatkan APIP, OPD pengelola pendapatan dan OPD Pariwisata.
Tapi, apakah DLH, Perkim, Bina Marga pihak yang berhak membagi-bagi alokasi kas daerah yang 30 persen itu? Lalu bagaimana dengan OPD lainnya?
Sesuai aturan juknis itu, alokasi dana yang 30 persen untuk Pemko Batam itupun diperintahkan guna penanganan dampak ekonomi sosial dari pandemi Covid-19, terutama sektor pariwisata.
Apakah memang perintah ini dilaksanakan di lapangan?
Sedangkan biaya operasional pelaksanan dan pengawasan APIP hanya diplot maksimal 5% dari pagu hibah terealisasi yang Rp 50,49 Miliar atau sekitar Rp 2,5 Miliar.
Kemudian apakah dana yang masih belum terurai sekitar Rp 12,7 Miliar itu termasuk di dalamnya dana APIP itu?
Dana Masih Sisa, Pemko Batam Kekenyangan?
Yang menjadi pertanyaan tegas lagi dari Udin, apakah benar dana yang tersisa itu tertinggal atau sengaja disisakan di kas Kemenparekraf?
Memang bisa banyak tafsir melihat kejanggalan itu.
Atau dana hibah itu sengaja disisakan Pemko Batam ibarat sudah kekenyangan?
Kalau tidak, apa alasan logis sehingga dana hibah itu dibiarkan tersisa sekitar Rp 19,1 Miliar?
Sangat tak elok jika pihak Pemko Batam merasa kekenyangan ditengah banyak orang di sekelilingnya, tengah lapar.
Karena sekitar 70 persen pemilik hotel dan 96 persen owner restoran yang tak kebagian dana hibah dari kementerian itu, kini usahanya ibarat kerakap tumbuh di batu.
Sedangkan beberapa OPD justru mendapat bagian 44%, yang seharusnya hanya 30%.
Bagaimanapun, mewakili Pansus, Udin sudah berjanji ke publik lewat media akan membongkar tuntas ke mana saja aliran dana hibah ini mengucur.
Baik aliran dana ke kas Pemko Batam, ke para pemilik hotel dan restoran dan para OPD.
Apalagi tentang dana yang dilaporkan oleh Pemko Batam di RDP Pansus LKPj Wali Kota Batam, yang masih tersisa di kas Kemenparekraf itu.
“Kami akan klarifikasi ke Kemenparekraf,” katanya tegas.
Dan kata Udin ke media ini, bila aliran semua dana hibah itu tidak tepat sasaran, dan konsep penyalurannya tidak konkrit, berpotensi dapat merugikan negara, melanggar ketentuan dan memperkaya diri sendiri.(*)