Catatan Tim News Room BatamNow.com
Sulit diterima akal sehat bagaimana beraninya BP Batam menerbitkan peraturan yang cacat hukum alias maladministrasi.
Peraturan Kepala (Perka) BP Batam No 19 Tahun 2020, sebagai landasan pembentukan 7 pengawas badan usaha di lingkungan BP Batam pada Februari lalu.
Dalam perjalanannya, tetiba saja Ombudsman Perwakilan Kepri membongkar “borok” di balik pelaksanaan Perka itu.
Temuan Ombudsman, Perka itu ternyata tidak memiliki tujuan dan tidak dilandasi hukum yang jelas. Tidak ada dalam peraturan lainnya maupun pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Perka ini pun menimbulkan masalah atau memunculkan perkara. Itu temuan dan menjadi kesimpulan Ombudsman.
Atas temuan dan hasil pemeriksaan Ombudsman, lalu lembaga pengawas kebijakan publik ini pun mengeluarkan rekomendasi keras ke BP Batam untuk mencabut Perka 19/2020 itu.
Tak lama, “borok” itu pun dengan cepat ditutupi oleh BP Batam dengan cara menerbitkan Perka 9/2021, lalu mencabut Perka bermasalah itu.
Otomatis tujuh pengawas yang sempat bertugas beberapa bulan, dibubarkan.
Sebenarnya, sedari awal pembentukan pengawas badan usaha di lingkungan BP Batam pada Februari lalu itu, sudah ditentang keras oleh berbagai pihak. Selain dipertanyakan dasar hukumnya, juga kental unsur politis dan KKN-nya.
Ketujuh pengawas yang dibentuk, berlatar belakang kader politik dan disebut juga tim sukses Wali Kota Batam Muhammad Rudi ketika perhelatan Pilkada 2020.
Apalagi sesuai pemeriksaan Ombudsman, pembentukan unsur pengawas itu tidak lewat tim penjaringan, kecuali ditunjuk langsung oleh Pimpinan BP Batam.
Tak terbantahkan bila banyak pihak menuding gedung berlogo Elang Emas di Batam Center itu sudah sarat dengan kepentingan politik, baik lewat intervensi lokal terlebih dari Ibu Kota Negara.
Berikut catatan penting BatamNow.com, akibat dari kesalahan fatal Perka yang masih dipergunjingkan publik ini:
Dipertanyakan kepiawaian atau skill dan profesionalisme pejabat Biro Hukum BP Batam atas lolosnya penerbitan regulasi yang fatal yang cacat hukum ini.
Para petinggi BP Batam telah mempertontonkan “kekonyolan” ini secara vulgar.
Dengan temuan Ombudsman ini, tingkat kepercayaan publik terhadap BP Batam dalam mengelola kawasan ini, dinilai semakin memburuk.
Perka bermasalah ini tak bisa dinafikan telah “menampar wajah” para pejabat berwenang di lingkungan BP Batam, termasuk pejabat yang menyetujui dan melaksanakan Perka itu.
Kecuali imun psikologi para pejabat di BP Batam itu sudah kebal atau bebal.
Menanti Aparat Penegak Hukum Segera Turun
Kini berbagai spekulasi menggelinding atas maladministrasi Perka ini.
Tengara adanya pihak yang sengaja “memainkan” skenario dan konspirasi di balik Perka itu.
Berkembang opini, lolosnya Perka ini semacam jebakan Batman yang muaranya mendiskreditkan Kepala BP Batam Ex-Officio itu sendiri.
Ditengarai sedang terjadi “perebutan” pengaruh di antara “faksi-faksi” di lingkungan BP Batam yang berkiblat pada kekuatan tertentu.
Itu terbaca dari nyali tim hukum BP Batam yang tetiba “ciut” menghadapi “serangan” Ombudsman dengan hanya amunisi rekomendasi.
Nah, sikap seperti itulah yang memancing pertanyaan.
Begitu cepatnya pihak BP Batam “angkat bendera putih” atas rekomendasi Ombudsman, tanpa lebih dulu berpeluh melakukan kontra argumentasi hukum.
Ombudsman serasa sebagai lembaga eksekutor yang setiap saat bisa membuat BP Batam tak berkutik.
Atau dengan kata lain, BP Batam sebenarnya memang dalam posisi terpojok karena Perka itu memang salah fatal?
Lalu mengapa dipaksa untuk diterapkan?
Bagaimanapun tak sedikit juga pihak-pihak yang mempertanyakan obyektifitas Ombudsman dalam pemeriksaan keabsahan materi Perka ini.
Dalam rilis Ombudsman Kepri ada narasi yang dianggap publik serasa subyektif.
Ombudsman menyebut bahwa, “fungsi pengawasan di BP Batam sudah ada dan telah diatur berjenjang melalui ketentuan perundang-undangan, dimana sejak dari dulu orang-orang di BP Batam sudah berkualitas”.
Soal narasi Ombudsman yang mengamini kondisi sumber daya manusia (SDM) di BP Batam itu, banyak pihak menyebut agak bias.
Bukankah dengan lolosnya Perka bermasalah ini juga hasil dari produk berjenjang dari para pemangku kepentingan di BP Batam yang dinilai berkualitas itu?
Banyak juga yang menduga, jangan-jangan Perka itu secara yuridis disadari memiliki kelemahan fatal sejak awal, namun dipaksakan lalu menjadi blunder.
Kalau hal itu yang terjadi berarti ada unsur pembiaran. Apakah sikap “manut” seperti ini, juga bagian dari orang-orang berkualitas dan berintegritas?
Soal ini mungkin juga dapat dikembangkan untuk ditelusuri oleh aparat penegak hukum (APH) soal bagaimana sebenarnya kronologis dan mekanisme munculnya Perka itu.
Sebab meski sudah dicabut, banyak pihak menduga Perka bermasalah ini masih berimplikasi luas. Dan masalahnya dinilai belum tuntas.
Misalnya, bagaimana pertanggungjawaban atas anggaran biaya yang sudah digelontorkan atas pembentukan 7 pengawas badan usaha di lingkungan BP Batam ini.
Sebab patut diyakini tak sedikit dana yang sudah keluar, baik untuk gaji, remunerasi dan termasuk biaya administrasi pembentukan sedari awal. Lalu siapa-siapa yang ikut serta bertanggung jawab dalam hal ini?
Sementara, menurut Ombudsman, Perka dan pembentukan pengawas itu tak kuat dasar hukumnya.
Akibatnya, indikasi kerugian negara muncul di balik kasus Perka ini, karena ada pihak-pihak yang diuntungkan dan telah melanggar ketentuan perundang-undangan.
Soal ini juga masih harus menanti action dari Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) atau parat penegak hukum lainnya. Tindakan apa yang harus segera dilakukan.
Sejak awal temuan maladministrasi itu, Ombudsman ternyata sudah berkoordinasi dengan KPK, sebagaimana disampaikan Lagat.
Lalu bagaimana nasib ketujuh pengawas yang dibubarkan itu?
Banyak pihak menyebut mereka sebagai “korban” skenario pertarungan oleh orang-orang yang sengaja “bermain” di balik selubung “Perka yang Cari Perkara” itu.(*)