BatamNow.com, Jakarta – Dua tersangka kasus penjualan obat Covid-19 Oseltamivir 75 mg dibekuk lantaran mematok banderol empat kali lipat di atas harga eceran tertinggi (HET).
“MPP ini yang membeli obat dan menjual ke N dengan harga dua kali lipat. Setelah itu N menawarkan ke masyarakat melalui online,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di kantornya, Jumat (09/07/2021).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Dalam Masa Pandemi Covid-19, Oseltamivir 75 mg dijual dengan harga Rp 26 ribu per kapsul.
Artinya, harga per 10 kotak berisi 10 kapsul semestinya dijual dengan harga Rp 2,6 juta. Namun, para tersangka menjualnya Rp 8,5 juta.
“Keuntungannya sampai empat kali lipat. Ini orang-orang yang menari-nari di atas penderitaan orang lain. Kami terus menyelidiki, masih banyak yang akan kita ungkap. Kami akan cari dari hilir sampai ke hulu, kami dalami lagi distributor di atas yang main nakal,” ucap Yusri.
Ulah para tersangka ini, katanya, mengakibatkan obat tersebut menjadi langka di pasaran lantaran diborong oleh para tersangka untuk meraup keuntungan.
“Dengan adanya ini harusnya obat-obat itu tersedia di tempatnya, di RS, di apotek berizin karena dibeli dalam jumlah besar, dijual melalui online dampaknya tempat yang seharusnya ada ini jadi enggak ada,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat.
Tak hanya itu, kata Tubagus, penjualan obat-obat seperti ini semestinya dilakukan oleh orang yang memiliki keahilan di bidangnya. Tujuannya, agar penggunaannya bisa diawasi.
“Kalau orang beli lewat online dan yang jual bukan yang punya keahlian, bagaimana dosisnya? Makanya UU mengatur nggak boleh dijual oleh orang yang tidak punya keahlian, karena dampaknya pada kesehatan,” kata Tubagus.
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat Pasal 107 junto Pasal 29 UU nomor 7 tahun 2014 Undang-undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen dan UU ITE dengan ancaman hukuman pidana hingga 10 tahun penjara.
Sementara itu, tim gabungan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Polrestabes Semarang, dan Kejaksaan Negeri Semarang melakukan inspeksi mendadak (sidak) harga obat Covid di 10 Apotik dan Toko Obat.
Kepada pengelola atau karyawan, petugas menanyakan keberadaan atau stok 11 jenis obat untuk penyembuhan Covid, seperti antibiotik dan antivirus Azitromicyn, Tocilizumab, Favipiravir, Remdesivir, dan Ivermectin.
Selain stok, petugas juga melihat harga jual dari obat-obat tersebut untuk disesuaikan dengan Surat Kementerian Kesehatan.
“Ini kita cek stok dan harga obat-obat Covid. Khusus harga, kita sudah ada pegangan dari Surat Kementerian Kesehatan”, ujar Kabid Sumber Daya Kesehatan Dinas Kesehatab Kota Semarang Noegroho Edy usai melakukan pengecekan, Jumat (09/07).
Dari pengecekan, ditemukan perbedaan antara daftar harga di Surat Kementerian Kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang selama ini menjadi acuan pedagang obat.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Semarang AKBP Indra Maulana menyebut hasil sidak ini akan dikoordinasikan lebih lanjut.
“Ya kalau kita lihat tadi, memang ada perbedaan ya antara daftar dari Kemenkes dan PBF. Lha yang sudah jalan ini kan mereka acuannya ke PBF karena kalau pake list Kemenkes jadinya rugi. Kita juga cek tadi berkas harga mereka nebus atau kulakan. Nanti kita akan kordinasikan lagi,” ujar Indra.
Pengecekan stok dan harga obat Covid ini juga sebagai tindak lanjut arahan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan untuk menindak pihak tak bertanggung jawab yang menimbun dan menaikkan harga obat covid.(*)