BatamNow – Menarik ramalan (prediksi) jitu pihak Badan Pengusahaan (BP) Batam, sepuluh tahun lalu itu.
Prediksi akan krisis air di Dam yang terjadi sekarang.
Ini sepenggal kisah dari Irwansyah, Anggota DPRD Provinsi Kepri “mantan” legislatif Batam.
Dia katakan, pada satu rapat di gedung legislatif kota dengan para stakeholder air, pihak BP Batam sudah memprediksi kegentingan sekarang.
Tapi, saat itu, kata anggota Komisi III dari PPP ini, antisipasi yang dirancang BP Batam bukan penyelamatan Dam; malah membangun dua Dam baru lagi.
Kini, dua fisik Dam baru itu telah rampung dan sudah berisi air. Namun target tidak sejitu ramalan krisis air sekarang. Kalau tak sudi disebut meleset.
Dam baru di Tembesi dan Sei Gong, ternyata, menggemulai. Belum menjadi solusi kegentingan sekarang.
Sementara kini, prediksi jitu itu, krisis air baku di 5 Dam aktif HANYA bisa bertahan 80 hari ke depan.
Cilakanya, kondisi air sekritis itu akan mengancam 290.000 pelanggan yang dioperatori PT Adhya Tirta Batam (ATB) itu.
Buktinya, rationing atau penggiliran suplai pun akan diberlakukan. Suplai air akan digilir ke pelanggan mulai 15 Maret mendatang. Skenario buka tutup: 2 hari “off” dan 5 hari “on”.
Artinya, dua hari keran tak dialiri air ATB, selama lima hari diupayakan mengalir sediakala.
Ini, tampaknya, pilihan terbaik BP Batam bersama ATB, di antara yang terburuk dengan berisiko.
Mengapa Duriangkang Dibiarkan Terkulai.
Justru Mengejar Pembangunan Dua Dam Kapasitas Minim
Efektifitas visi keberlangsungan masa depan air tadah hujan di Batam, seakan membingungkan.
Ketika BP Batam meramal akan krisis air Dam, justru revitalisasi Dam Duriangkang tak menjadi prioritas, bahkan terkesan diabaikan.
Kecuali bernafsu membangun dua Dam baru: Dam Tembesi dan Sei Gong yang menggemulai.
Pembangunan Dam yang diperkiraan menelan anggaran Rp 600 Miliar dari APBN. Memang seksi nian proyek baru ini.
Padahal kapasitas tampung kedua Dam itu, jauh di bawah Dam Duriangkang.
Dam Duriangkang terbesar dari semua Dam di BP Batam. Kapasitas Dam menopang 70 persen akan kebutuhan air di Batam. Sementara sisa 30 persen, dihasilkan enam Dam lainnya, termasuk Tembesi dengan Sei Gong.
Kini, Dam tadah hujan Duriangkang menyusut tajam. Penyebabnya, karena curah hujan sangat minim. Utamanya dalam beberapa bulan belakangan ini.
Namun penyebab lain, bukan tak kalah pelik. BP Batam dituding lalai melakukan penataan dan maintenance (perawatan) Dam dan lingkungan pendukungnya, sebagaimana dibenarkan Anggota DPRD Provinsi Kepri Irwansyah.
Fakta di lapangan, hutan di seputaran Dam dan di areal tangkapan air, tidak dijaga kelestariannya. Banyak lahan hutan lindung yang dialihfungsikan oleh BP Batam. Lalu pepohonan rimbun yang alami dibabat saat land clearing.
Belum lagi pembiaran selama 25 tahun terjadi pendangkalan (sedimentasi) Dam. Merambahnya gulma eceng gondok dan gulma lain di permukaan Dam.
Mari Di-flashback Peringatan dari BJ Habibie
Bila di-flashback apa yang dipesan-ingatkan BJ Habibie ketika menjabat Menristek sekaligus Ketua Otorita Batam (OB), sesungguhnya Bumi dan Hutan di Batam yang masih perawan, saat itu, hanya bisa dikelola 40 persen.
Seluas 60 persen seharusnya tidak dijamah, demi menjaga ekosistem, utamanya menjaga keberlangsungan lima Dam yang ada di Batam.
Ketika itu, Habibie juga mengingatkan bahwa daya alam Batam hanya mampu menampung 1,5 Juta jiwa penduduk dengan segala aktifitasnya.
Bila hal itu, kata Habibie, dijaga-keberlangsungan akan masa depan beberapa Dam di Batam dapat terjamin.
Saat itu, teknokrat jebolan Jerman itu, tak sedikitpun bicara desalinasi air laut atau rekayasa teknologi lainnya untuk pemenuhan air baku di Batam.
Tapi apa yang diingatkan Habibie, ibarat angin lalu. Hutan dibabat, lahan dialokasikan dengan sembrono kepada para spekulan alias investor lahan seperti kata Kepala BP Batam Muhammad Rudi.
Hal yang sangat memprihatinkan, buffer zone serta lahan di gang sempit pun dialokasikan pihak BP, demi duit.
Dam tadah hujan sumber kehidupan manusia dengan segala aktifitasnya, pun lalai dirawat.
Itulah alasannya, mengapa banyak pihak mempertanyakan dana perawatan beberapa Dam di Batam, selama kurun waktu 25 tahun. Bahkan anggota DPRD Kepri dan Batam sudah menyuarakan ini, lalu meminta BPK turun mengaudit.
Soal terganggunya lingkungan daerah tangkapan hujan karena pemusnahan hutan, pun sudah lama diingatkan pihak Badan Meteorolagi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kepada BP Batam dan Pemko di sini.
Membangun Dam Berkapasitas Minim, Mengabaikan Dam Kapasitas Besar
Agak sulit diterima akal sehat, mengapa ngebut dan ngebet membangun dua Dam berkapasitas 1000 liter per detik. Tapi melalaikan penataan potensi Dam Duriangkang/Sei Beduk berkapasitas 2500 liter per detik.
Data ini belum terkonfirmasi, tapi menyebut biaya pembangunan Dam Tembesi sekitar Rp 400 Miliar dan Sei Gong diperkirkan Rp 238 Miliar.
Dana yang tak tanggung besarnya, namun dipertanyakan efektifitasnya. Apalagi di saat krisis air yang melanda, kini.
Banyak pihak menduga, daya dukung lingkungan alam di kedua Dam baru ini pun justru lebih parah dibanding kondisi kawasan Dam Duriangkang.
Artinya, bila kedua Dam berkapasitas 1000 liter per detik ini difungsikan, debit air baku tersedia di Dam, sama kondisinya dengan Dam lainnya. Apalagi ketika curah hujan minim. Karena kawasan catchment area di sana juga sudah rusak.
Tak berani mengatakan di sini bahwa keberadaan dua Dam ini sebenarnya dipaksakan, apalagi menggunakan isu ramalan sepuluh tahun lalu itu.
Tapi begitulah faktanya. Bukan hanya soal lahan yang sengkarut di Batam. Profesionalisme pengelolaan Dam yang bermasa depan, oleh BP Batam, pun diragukan.
Sedikit-sedikit, wacana yang dibangun oleh BP Batam adalah alternatif pengadaan air baku. Isunya selalu pada proyek baru, sains dan teknologi terkini.
Entah itu desalinasi air laut dan recycle (daur ulang), atau model Integrated Total Water Management dan sebagainya.
Sementara kondisi Dam yang ada, nyaris luput dari perawatan. Satu-satu Dam di Batam di-shutdown-kan. Dam Baloi dan Ozon, misalnya. Padahal optimalisasi potensi air baku bersumber dari air hujan, agaknya belum dijalankan secara baik.
Pun misalnya, akan potensi pengalihan kiblat seluruh drainase yang bermuara langsung ke Dam. Soal inipun tak kunjung jelas alias fiksi.
Hingga kini, diperkirakan baru 40 persen jalur drainase di Batam yang bermuara ke Dam. Sementara 60 persen lagi tidak pernah diprogramkan. Setiap curah air hujan akhirnya lebih banyak yang mengalir ke laut.(*)