Catatan Tim News Room BatamNow.com
Langkah Gubernur Kepri Ansar Ahmad mewacanakan Bintan dan Karimun menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) atau Free Trade Zone (FTZ) menyeluruh, menarik untuk diikuti.
Menjadi menarik bukan karena wacana FTZ menyeluruh itu, tapi ihwal Ansar yang langsung menyampaikan visinya ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pertemuan empat mata di VIP room Bandara Internasional Hang Nadim di Batam, Selasa (28/09/2021).
Memang, FTZ di Bintan dan FTZ di Karimun masih terbatas, tidak menyeluruh seperti Batam yang merambah gugusan pulau Barelang.
Tapi upaya Ansar ini seakan mengonfirmasi posisi legal standingnya sebagai seorang gubernur yang masih merangkap Ketua Dewan Kawasan (DK) FTZ Bintan dan FTZ Karimun, ditengah hiruk pikuk wacana DK terintegrasi.
Jabatan rangkap Ketua DK sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2007 dan PP 48 Tahun 2007. Siapapun Gubernur Kepri “auto” Ketua DK di Bintan dan Karimun.
Di PP ini juga ditentukan titik kordinat masing-masing zona ekonominya.
Belakangan, opini yang samar-samar di ranah publik tentang jabatan Ketua DK, seakan sudah dimonopoli oleh Kemenko Perekonomian Airlangga Hartarto lewat DK terintegrasinya.
Apalagi setelah UU Cipta Kerja (Ciptaker) No 11 Tahun 2020, power Gubernur Kepri dan Ketua DPRD Kepri sudah terlebih dulu “dilucuti”.
Sebelumnya kedua pejabat tinggi daerah inilah penentu figur seorang Ketua DK, baik Ketua DK Batam, Ketua DK di Bintan, dan Ketua DK di Karimun.
Cotohnya, Airlangga Hartarto diangkat oleh Presiden Jokowi lewat Keppresnya menjadi Ketua DK FTZ Batam. Itu dipastikan atas usulan Gubernur Kepri dan Ketua DPRD Kepri, jika melihat ketentuan perundang-undangan. Hebat kan?
Itu tertuang dalam UU 36 Tahun 2000 pengganti Perppu 1 Tahun 2000, pada Pasal 6 ayat (2), “Ketua dan Anggota DK ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).”
Kini power itu sudah “diamputasi” lewat UU Ciptaker, yang konon tanpa koordinasi terlebih dulu dengan gubernur dan Ketua DPRD Provinsi Kepri.
Kekinian, seyogianya penentu Ketua DK justru Menko Perekonomian, sesuai PP 41 Tahun 2021. Pun rencana susunan struktur terbaru di DK.
Lalu apa kabar FTZ terintegrasi?
Semakin ke ujung, semakin menarik lagi diselami, karena hingga kini rencana FTZ terintegrasi bak hilang ditelan bumi.
UU Ciptaker dikebut pada tahun 2020. Sempat terjadi gejolak nasional. Situasi dan suasana saat itu sampai mencekam karena terjadi demonstrasi besar-besaran.
Tujuan FTZ terintegrasi itu, disebut salah satunya dalam rangka percepatan pelaksanaan pengembangan dan peningkatan daya saing FTZ itu sendiri.
Agar kawasan pengembangan ekonomi ini menjadi kawasan yang mudah dan auto menarik investasi berduyun-duyun. Terlebih harapan akan investasi asing.
Logika berpikir sederhananya, jika ekonomi kawasan ini meningkat pesat akan terserap banyak tenaga kerja(naker) dan hal postif lainnya.
Itu yang tertuang dalam Pasal-pasal UU Ciptaker dan di PP 41 Tahun 2021, tentang FTZ.
Lalu Bagaimana Realisasinya?
Setelah PP 41/2021 terbit, langkah dan implementasinya seperti mobil mogok. Banyak amanah di PP itu yang tak jalan atau mungkin saja menunggu kapan-kapan saja akan djalankan.
Salah satunya, implementasi tetang Pasal 74 poin (3) yang menyebut “Penyusunan pembentukan Dewan Kawasan Batam, Bintan dan Karimun oleh menteri yang mengoordinasikan urusan pemerintahan di bidang perekonomian, paling lambat 6 bulan sejak PP 41/2021 berlaku 2 Februari 2021.”
Delapan bulan berlalu, DK versi PP 41/2021 itu tak kunjung dibentuk oleh Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Golkar itu. Semestinya, Keppres tentang struktur DK itu sudah ada. Tapi tiada.
Belum lagi Pasal 80 yang mengamanahkan “peraturan pelaksanaan dari PP ini harus ditetapkan paling lama 4 (empat) bulan sejak diundangkan.”
Soal ini juga sudah 8 bulan terlewat, sementara implementasinya tak juga direalisasikan. Aneh memang.
Sedangkan sebagian dari pasal-pasal di PP itu sudah dijadikan landasan beberapa kebijakan dan keputusan oleh pimpinan lembaga FTZ di BP Batam.
Misal, pejabat struktural dan manajemen di lingkungan BP Batam dan pelantikan 297 pejabat tingkat II, III, IV oleh Kepala BP Batam Muhammad Rudi pada Jumat, (27/08) lalu. Keputusan pelaksanaannya, mengacu kepada perintah PP 41/2021.
Belum terkonfirmasi apakah Ansar sudah menjalankan implementasi dari PP 41/2021 di FTZ Bintan dan FTZ Karimun?
Memang Pasal 78 PP 41/2021 menyebut, “pada saat PP ini berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai KPBPB tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PP ini.”
Artinya apa? Jika implementasi dari PP turunan dari UU Cipta Kerja ini TAK sudi dilaksanakan, ya kembali ke peraturan perundang-undangan terdahulu. Tak perlu repot.
PP ini memang benar-benar disusun sangat fleksibel. Seolah disiapkan untuk skenario “tertentu”.
Lucu tak lucu memang jika melihat ketentuan perundang-undangan ini. Pasal demi pasal sangat elastis, seperti karet.
Maka banyak pihak menengarai bahwa PP 41/2021, turunan dari UU Ciptaker, dijadikan “kuda tunggangan”.
Pasal-pasal karet ini disebut rawan “dimanfaatkan untuk kepentingan politik kelompok tertentu”.
Tentang elastisnya pasal-pasal di PP itu dapat dilihat dan disimak pada Pasal 4 (empat) ayat (1) yang menyatakan: Dewan Kawasan dibentuk untuk 1 (satu) KPBPB atau lebih dari 1 (satu) KPBPB.
Artinya lagi, jika FTZ dan DK terintegrasi tak dibentuk, aturan mainnya kembali ke PP sebelumnya.
Mengapa harus ada opsi 1(satu) KPBPB atau lebih?
Bukankah spirit UU Ciptaker untuk mengenyahkan segala birokrasi yang panjang nan tumpang tindih, selama ini.
Dan bukankah opsi lebih dari 1 (satu) KPBPB itu adalah satu kondisi yang konservatif ?
Tapi yang pasti hingga kini Ketua DK Batam dipegang oleh Kemenko Perekonomian dan DK Bintan dan DK Karimun masih dijabat oleh Gubernur Kepri.
Itu mungkin yang membuat Ansar sebagai Ketua DK Bintan dan Karimun merasa “pede” menyampaikan langsung ke Jokowi visi terbarunya, yakni wacana FTZ meyeluruh itu.
Atau mungkin juga Ansar yang kader Golkar itu telah mendapat “wasiat” bahwa posisinya pada kedua FTZ di wilayahnya masih seperti sediakala.
Logikanya, buat apa ia pasang badan dan membuang-buang waktu mengurusi yang bukan lagi menjadi tanggung jawabnya?
Itu pula yang diduga banyak pihak, bahwa pembentukan DK versi PP 41/2021 mungkin saja digantung dengan tujuan dan sesuai selera politik tertentu tadi.
PP ini bisa jadi sudah diskenariokan sedari awal bahwa sewaktu-waktu “bisa menyesuaikan dengan kepentingan dari dan oleh yang akan mementingkan”.
Tinggal upaya apa yang harus dilakukan Ansar agar kedua FTZ yang masih megap-megap itu bisa bangkit setelah 15 tahun.
Mungkin kah dengan solusi FTZ menyeluruh?
Yang sebenarnya jika ditafsirkan di UU Ciptaker dan PP tersebut, arah untuk itu sudah sudah ada di pasal-pasal di perundang-undangan itu.
Tinggal siapa yang menafsirkan dan memutuskan untuk apa, kapan mau direalisasikan?(*)
(bersambung…)