Oleh: Redaksi BatamNow.com
“Daebak”, rencana terkini pengembangan Bandara Internasional Hang Nadim Batam.
Boyband K-Pop Bangtan Boys (BTS) BTS dari Korea Selatan yang kesohor itu sampai diwacanakan diundang ke Batam. Wacana itu oleh Incheon International Airport Corporation (IIAC) dari Korea Selatan.
IIAC memang masuk dalam konsorsium rencana kerja sama strategis pembangunan, pengembangan Bandara Hang Nadim, Batam. IIAC patungan dengan dua perusahaan pelat merah, PT Angkasa Pura I dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Mereka gabung di PT Bandara Internasional Batam.
Ini era baru bandara Batam, kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membranding.
Tak ketinggalan Kepala BP Batam Muhammad Rudi, bangga dengan perkembangan bandara itu.
Rudi pun memaparkan statistik capaian bandara. Ia mencontohkan tahun 2017 pergerakan penumpang di bandara itu mencapai 6,3 juta setahun. Wow!
Pergerakan penumpang domestik yang signifikan inilah menurut Rudi pelecut pengembangan infrastrukturnya ke depan. Mewujudkan hub penerbangan komersial internasional. Itu sebab mengapa harus menggandeng IIAC.
IIAC sendiri menjadi bandara terbaik dunia yang pernah meraih Best Airport Service Quality itu.
Rudi paparkan, di akhir masa konsesi tahun 2047 ditargetkan ada 1 juta pergerakan penumpang internasional melalui 11 rute penerbangan internasionao baru dan 39,1 juta pergerakan penumpang domestik.
Semangat Baru Isu Lama
Era baru bandara yang “dicanangkan” Airlangga tentu mengingatkan akan mimpi lama tentang pengembangan bandara ini.
Mimpi Otorita Batam (OB) tahun 80-an. Kala itu, pimpinan OB menskenariokan bandara Batam sebagai hub untuk Asia Pasifik. Bukan hub nasional. Bukan hanya hub kargo saja, tapi sekaligus menjadi hub penerbangan komersial.
Bandara ini adalah bandara terbaik saat diresmikan tahun 1985, selain Bandara Soekarno-Hatta.
Beberapa skenario dilakukan untuk memposisikan bandara Batam ini menjadi bandara transit bagi penerbangan internasional.
Harga avtur yang jauh lebih murah dibanding Singapura menjadi satu keunggulan yang dijual.
Dulu Indonesia memang salah satu negara pengekspor minyak. Itu eranya Ibnu Sutowo, bos Pertamina. Indonesia masuk di Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC).
Selain harga avtur murah, status bonded zone kawasan ini dengan no tax for avtur.
Keunggulan lain, landasan pacu (runway) bandara sepanjang 4.025 meter, terpanjang di ASEAN masa itu. Kini beringsut menjadi yang kedua.
Waktu pun berputar terus. Sepanjang penajaan bandara ini, mimpi itu hanya tinggal mimpi selama lebih kurang 35 tahun. Kecuali penerbangan domestik yang mendominasi 98 persen sebagaimana dipaparkan Rudi.
Bandara Batam tak lebih sebagai jagoan kandang, meski letak geografisnya yang strategis di segitiga emas kawasan ekonomi negara Singapura dan Malaysia.
Kini era baru digaungkan lagi.
Di bandara berkode IATA:BTH dan kode ICAO:WIDD itu bakal ada dikembangkan pembangunan terminal 2 sebagai bagian yang dikerjasamakan ke depan.
Terjepit Ditengah Penguasaan FIR
Lalu di mana weakness-nya sehingga bandara ini tak dilirik pasar penerbangan internasional?
Banyak isu yang sering mencuat di tengah publik. Ada yang menyebut faktor geoekonominya.
Ada juga yang menyebut nilai jual bandara Batam lemah sepanjang ruang udaranya di bawah kontrol Singapura.
Ruang kendali udara kita memang “dianeksasi” Singapura, sejak tahun 1944. Hingga kini. Ruang udara Kepri dengan kode blok A itu masih tetap di bawah kontrol Flight Information Region (FIR) Singapura itu.
Jadi setiap pesawat yang hendak masuk di udara Kepri harus seizin FIR Singapura dulu. Jangankan penerbangan dari luar negeri dan domestik di luar Kepri, penerbangan antarbandara di Kepri saja harus seizin otoritas yang sama.
Apa boleh buat, ICAO (International Civil Aviation Organization) berpusat di Montreal, Quebec, Kanada itu tampaknya masih lebih percaya dengan Singapura atas pengaturan lalu lintas udara kita. Hingga kini. Bayangkan!
Nah, adakah faktor-faktor ini masuk dalam poin kajian komprehensif studi terkini di balik pengembangan bandara ini?
Lalu bagaimana kajian dari sisi geoekonominya?
Tak dipungkiri jika Singapura itu fobia Batam dari sudut persaingan ekonomi. Setiap geliat Batam mereka anggap semacam ancaman ekonomi Negeri Singa itu.
Memang awal mengembangkan Batam, tagline atau publikasi yang terbangun dalam membranding Batam sering dengan narasi “Batam akan menyaingi” Singapura.
Meski kemudian narasi seperti itu perlahan mundur, “kita kerja sama dengan Singapura”.
Apakah IIAC menjadi strategi makjleb bagi Batam dalam pengembangan bandara ini berkompetisi dengan bandara lain di dunia?
Hanya waktulah yang akan menjawabnya. (*)