BatamNow – Kepala Daerah (Kada) yang duduk “di singgasananya”, 92 persen dibiayai para Cukong saat Pilkada. Itu kata Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh. Mahfud MD.
Definisi Cukong berkonotasi negatif karena sering dirujuk kepada pengusaha-pengusaha yang terlibat dalam praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam perbisnisan mereka. (referensi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia-KBBI).
Para Kada ala Cukong, habis-habisan melakukan korupsi kebijakan. “Hati-hati, ini lebih bahaya dari pada korupsi uang. Sangat merugikan rakyat,” tambah Mahfud.
Sebagai timbal balik saat Pilkada, take and give kepada Cukong pun berjalan.
Biasanya, take and give itu berupa lisensi penguasaan hutan, tambang, dan proyek-proyek strategis besar lainnya yang ada di genggaman para Kada.
Demikianlah alkisah hiruk pikuk proses Pilkada di negeri ini, tak terlepas dari dorongan kekuatan pundi-pundi untuk pemenuhan logistik di lapangan. “Tak ada duit tak rame”. Bisa jadi efek dari energi yang digelontorkan para Cukong menjadi pemantik suasana di saat kampanye. Para pendukung sering emosional, terkadang tak terkendali sampai overheating.
Lalu posisi Cukong di kubu mana? Biasanya para Cukong ini main di “dua kaki”. Dia berada semua kubu calon. Mereka bermain cantik, licik. Jurusnya hanya “cari selamat”.
Cukong pun biasanya selalu bersembunyi di balik tirai. Itu makanya, jika ditanya mana batang hidung para Cukong itu? Jawabannya selalu dengan kiasan “kentut”. Baunya saja yang tercium.
Sejak Pilkada langsung dengan sistem pemilihan oleh rakyat, para Cukong banyak yang menabur benih bersama para kontestan Pilkada, ujar Mahfud lagi.
Memang fakta di lapangan, uang Cukong bertabur ke mana-mana di pusaran Pilkada. Bisa ke ring 1 calon, tim sukses, tim sana, tim sini (maaf bukan tip sana dan tip sini). Bahkan untuk relawan pun, duit Cukong “mencair” juga. Namanya saja yang relawan. Kan tak ada makan siang gratis?
Cukong di Pilkada 2020?
Hmm, bagaimana dengan Pilkada 2020, yang sudah memulai masa tahapan. Apakah peran para Cukong masih tetap dominan?
Mahfud tak menyebut secara eksplisit. Namun dia justru memastikan kerja sama antara calon Kada dengan para Cukong, sudah pasti terjadi.
Soal Cukong di Pilkada ini juga diamini oleh salah satu Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron. Dalam kajian yang pernah dilakukan KPK, sebanyak 82 persen calon Kepala Daerah didanai oleh sponsor bukan dana pribadi. Jadi ini money politic.
Meski ada temuan KPK, hingga kini, para Cukong nyaris tak tersentuh sanksi hukum pidana money politic. Dan lagi-lagi kembali ke teori kentut tadi.
Begitu lihainya para Cukong “memainkan” perannya di Pilkada (pesta demokrasi).
Pilkada ingar-bingar, lebih-lebih di medsos dan tak jarang gaduh di antara “supporter” sesama anak bangsa.
Tensi kampanye hitam (black campaign) dan propaganda negatif (negative campaign) sering juga sampai “mendidih”. Hingga psychological warfare (psywar) sampai ke ubun-ubun.
Saling menjelekkan di sesama lini masa. Bahkan tak jarang juga kontak fisik alias tawuran.
Belum lagi buzzer dan influencer para kandidat. Biasanya mereka saling memuji calonnya dan menghajar jagoan rivalnya.
Para buzzer bernasib sial, apalagi yang amatiran, tak jarang “kecokok” aparat. Lalu mendekam relatif lama di balik jeruji besi penjara.
Gaduh politik Pilkada itu sering masuk ke ranah SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan). Semua merasa benar sendiri, yang lain tebak saja.
Di Pilkada, banyak rakyat yang rela berkonflik tajam demi jagoannya masing-masing.
Tak jarang pula yang tadinya berteman, karena beda “jago”-nya, akhirnya musuhan.
Namun, begitu jagoannya duduk di kursi empuk, tamu VIP-nya dan yang didahulukan pastilah para Cukong pendana tadi.
Para gilirannya seperti kata Mahfud, para Kada akhirnya berkonspirasi dengan para Cukong, yang disilanyir juga bagian dari lingkaran KKN. Lalu, para Cukong mendapatkan proyek besar.
Sementara tim sukses di ring satu, paling dapat proyek kelas penunjukan langsung. Itupun hanya beberapa orang yang bernasib mujur.
Setiap Pilkada sadar atau tidak, menimbulkan rupa-rupa ekses negatif. Lalu para korban permainan politik pun berjatuhan.
Sementara akibat ulah para Cukong, kekuasaan para Kada menjadi kekuasaan oligarki, yang “dikendalikan” kekuatan orang-orang tertentu.
Lalu kemanakah muara tudingan Mahfud ini. Adakah berdimensi lain? Hanya mantan Ketua Tim Sukses Prabowo inilah yang tahu.
Begitulah fakta-fakta klasik episode proses demokrasi kita dari Pilkada ke Pilkada di negeri ini, sejak reformasi.
Demikianlah sekilas kualitas perkembangan perjalanan demokrasi politik kita dari sudut pandang Pilkada ala Cukong.
Sementara para pendukung atau simpatisan “buta”, hidupnya masih seperti “Angkong”.
“Manusia pada dasarnya adalah binatang politik,” kata Aristoteles.
“Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun kita harus banyak mengeluarkan uang,” kata Will Rogers.
oleh: Tim News Room BatamNow