Catatan Redaksi BatamNow.com
Dua setengah tahun sudah Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) itu diberlakukan oleh pemerintah, namun aturan dan peraturannya tak kunjung diwujudkan.
Padahal Pasal 78 UU itu mengamanahkan: Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang ini HARUS ditetapkan PALING LAMA 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-undang ini diundangkan.
Kini, PP yang dijalankan sebagai aturan peraturan UU ini masih berkutat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan SDA dan PP No 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
PP itu dibuat tahun 2015 setelah sebelas tahun terbitnya UU No 7/2004. Kedua PP dimaksud pun menjadi turunan dari UU No 11/1974 tentang Pengairan sebagaimana disebut pada poin “Menimbang” dalam PP itu. Mencengangkan memang!
Bagaimana ceritanya?
Hasil Judicial Review
Munculnya UU No 17/2019 pengganti UU No 11/1974, memiliki historinya sendiri.
UU itu terbit pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2013 yang membatalkan UU No 7/2004 tentang SDA.
Pemerintah memang menerbitkan PP tahun 2004 sebagai pengganti UU No 11/1974.
Namun beberapa tahun kemudian kelompok masyarakat termasuk dari Muhammadiyah mengajukan uji materi atau judicial review ke MK. Mereka melihat kelemahan dalam UU itu.
Bak gayung bersambut, MK pun membatalkan UU No 7/2004 itu. Dasar MK membatalkan, antara lain karena tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.
Pasca putusan MK, mau tak mau pemerintah kembali ke UU No 11/1974.
Muncul pertanyaan, relevan kah PP tahun 2015 itu merespons substansi, maksud dan tujuan Undang-undang SDA No 17 Tahun 2019?
Lalu bagaimana nasib PP-nya yang tak kunjung terbit dan sudah melewati deadline itu?
Apakah substansi dari PP yang diamanatkan oleh UU No 17/2019 itu tidak dianggap strategis sebagai aturan pelaksana dan petunjuk teknis?
Atau apakah juga pemerintah bisa dikata lalai sehingga aturan dan peraturan undang-undang itu tak kunjung dibuat?
Direktur Air Minum Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) Kementerian PUPR Yudha Mediawan pada Januari 2021 pernah menyebut bahwa RPP tentang SPAM sedang dalam proses penyusunan.
Kata dia, RPP ini nantinya merupakan revisi dari PP sebelumnya yakni PP No 122/2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). “Aturan turunannya untuk mengganti PP 122, RPP sedang kami siapkan,” kata Yudha.
Tapi lagi-lagi PP dimaksud tak kunjung terbit hingga kekinian. Banyak pihak menuding pemerintah seakan abai atau seperti sengaja mengulur-ulur.
Tampaknya, hingga kini, pemerintah lebih asyik pada mengurusi kisi-kisi UU itu, semisal pada gonta-ganti Ketua Dewan SDA Nasional.
Dewan SDA Nasional
Baru baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2022.
Salah satu poin dari Perpres itu mengganti Ketua Dewan SDA Nasional dari pejabat ex-officio Airlangga Hartarto yang Menko Bidang Perekonomian dan menunjuk Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Tak pelak, dengan munculnya nama LBP sebagai Ketua Dewan SDA Nasional suara-suara miring pun makin menggelinding kencang.
Anda sudah tahu bahwa LBP digelari “Menteri Segala Urusan” dengan banyak jabatan yang dipercayakan Jokowi. Pun LBP tak lepas dari sorotan publik selama ini.
Tentang tugas Dewan SDA Nasional ini diatur dalam UU No 17/2019 sebagaimana tercantum dalam Pasal 65. Pada ayat (1) menyebut: Koordinasi pada tingkat nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) huruf a dilakukan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional.
Masalah SDA di Indonesia disebut salah satu Ketahanan Nasional khususnya di bidang air. Tapi tentang keberadaan regulasinya dikerjakan seperti separoh hati. Contohnya kewajiban menerbitkan PP dari UU No 17/2019 itu.
Apakah dengan Ketua Dewan SDA Nasional yang baru, yakni LBP dapat berperan calak mendorong kepastian nasib PP turunan dari UU Nomor 17/2019 yang mandek itu, atau memang pembuatan PP yang diamanahkan UU itu tak diperlukan lagi?
SDA dan infrastruktur lainnya termasuk distribusi dan pelayanan air minum, misalnya, memang satu bisnis yang seksi. Maka tak jarang para taipan kini masuk dalam bisnis air kebutuhan hidup manusia ini.
Di Batam, Salim Group lewat PT Moya Indonesia juga nimbrung mengurusi pelayanan distribusi air ke publik. Patut diyakini, masuknya PT Moya milik taipan Indonesia ini karena banyak cuan di sana.
Penanganan SDA di Batam dari hulu hingga ke hilir berada di tangan BP Batam yang juga tak luput dari sorotan media atas kekurangan dan kelemahan pelaksanaan pelayanannya.
Jangan-jangan, kelak, penanganan air oleh BP Batam bisa bernasib sama dengan UU yang diuji materi ke MK.
Tampaknya pasal-pasal di UU No 17/2019 tak menunjukkan secara spesifik posisi legal standing BP Batam menangani pengadaan dan pelayanan air minum di Batam. Kecuali lewat PP 41 tahun 2021.
Cukup lama masalah SDA negeri ini “gonjang-ganjing” hingga di-judicial review ke MK.
“Ada apa di balik bakwan,” canda Ruhut Sitompul dalam berbagai kesempatan. (*)