BatamNow – Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane meminta Bareskrim Polri membongkar mafia rumah sakit yang memanfaatkan pandemi Covid-19 untuk meraih keuntungan.
Pasalnya, kata Neta, RS mengklaim pasien dengan penyakit lain sebagai penderita Covid-19. Menurut Neta, itu adalah modus baru rumah sakit melihat peluang untuk merampok uang negara.
“IPW melihat Bareskrim Polri belum bergerak untuk mengusut dan memburu mafia rumah sakit tersebut. Padahal kasus yang mencovidkan orang tersebut sudah marak dan ramai bermunculan di berbagai media sosial,” kata Neta dalam keterangan yang diterima JPNN, Sabtu (03/10).
Neta menerangkan, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko di Semarang, kemarin menyatakan, banyaknya isu rumah sakit memvonis semua pasien yang meninggal dengan status Covid-19 agar mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Neta menilai pernyataan dari pemerintah itu harusnya ditindaklanjuti oleh Bareskrim.
“Harus ada tindakan serius agar isu yang menimbulkan keresahan masyarakat ini segera tertangani. Sayangnya hingga kini Bareskrim Polri belum ada tanda-tanda akan bergerak,” jelas dia.
Dari pendataan IPW, keuntungan yang diperoleh mafia rumah sakit dalam mencovidkan orang jumlahnya tidak sedikit. Sebab biaya perawatan pasien infeksi virus corona bisa mencapai Rp 290 Juta.
“Jika mafia rumah sakit mencovidkan puluhan atau ratusan orang, bisa dihitung berapa banyak uang negara yang mereka rampok di tengah pandemi Covid-19 ini,” jelas Neta.
Neta melanjutkan, dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK 02/2020 tanggal 6 April 2020 yang memuat aturan serta besaran biaya perawatan pasien Covid-19, jika seorang pasien dirawat selama 14 hari, maka asumsinya pemerintah menanggung biaya sebesar Rp 105 juta sebagai biaya paling rendah. Sedangkan untuk pasien komplikasi, pemerintah setidaknya harus menanggung biaya Rp 231 juta per orang.
“Angka yang tidak kecil ini membuat mafia rumah sakit bergerak untuk merampok anggaran tersebut,” ungkap Neta.
Pasien Di-Covid-kan
Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Kepala Kantor Staf Kepresidenen Moeldoko sepakat meminta pihak rumah sakit bersikap jujur mengenai data kematian pasien saat pandemi Covid-19. Hal itu penting agar tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Tadi saya diskusi banyak dengan Pak Gubernur, salah satunya adalah tentang definisi ulang kasus kematian selama pandemi. Definisi ini harus kita lihat kembali, jangan sampai semua kematian pasien itu selalu dikatakan akibat Covid-19,” kata Moeldoko di Semarang, Kamis (01/10), dikutip dari Republika.
Moeldoko mengungkapkan, awalnya ia datang menemui Ganjar Pranowo untuk membahas sejumlah hal terkait penanganan Covid-19. Isu yang berkembang saat ini, rumah sakit rujukan “men-covid-kan” semua pasien yang meninggal dunia untuk mendapatkan anggaran dari pemerintah.
Moeldoko menyebutkan sudah banyak terjadi, orang sakit biasa atau mengalami kecelakaan, didefinisikan meninggal karena Covid-19 oleh pihak rumah sakit yang menanganinya. Padahal sebenarnya hasil tesnya negatif.
“Ini perlu diluruskan agar jangan sampai ini menguntungkan pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan dari definisi itu,” ujarnya.
Ganjar membenarkan adanya isu tersebut dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat sudah pernah terjadi di Jawa Tengah.
“Tadi Pak Moeldoko tanya, itu bagaimana ya banyak asumsi muncul semua yang meninggal di rumah sakit ‘di-covid-kan’. Ini sudah terjadi di Jawa Tengah, ada orang diperkirakan Covid-19 terus meninggal, padahal hasil tes belum keluar. Setelah hasilnya keluar, ternyata negatif. Ini kan kasihan, ini contoh-contoh agar kita bisa memperbaiki hal ini,” katanya.
Untuk mengantisipasi hal itu, Ganjar menegaskan sudah menggelar rapat dengan jajaran rumah sakit rujukan Covid-19 di Jawa Tengah. Hasilnya diputuskan, untuk menentukan atau mengekspos data kematian pasien Covid-19 harus terverifikasi terlebih dulu.
“Seluruh rumah sakit di mana ada pasien meninggal, maka otoritas dokter harus memberikan catatan meninggal karena apa. Catatan itu harus diberikan kepada kami, untuk kami verifikasi dan memberikan ‘statement’ keluar,” ujarnya.
Dengan sistem itu, Ganjar mengakui akan terjadi keterlambatan data mengenai angka kematian.
“Delay data itu lebih baik daripada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan,” kata Ganjar.(*)