BatamNow.com – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan pengawasan pemenuhan hak atas pendidikan anak-anak pengungsi luar negeri sejak tahun 2019 sampai 2022.
KPAI merupakan bagian dari Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (PPLN) Nasional yang SK pengangkatannya ditandatangani oleh Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam).
Hasil pengawasan selama 3 (tiga) tahun menunjukkan keseriusan Pemerintah Pusat melalui KemendikbudRistek maupun sembilan Pemerintah Daerah yang wilayahnya ada pengungsi luar negeri untuk berkomitmen memenuhi Konvensi Hak Anak (KHA), khususnya pemenuhan hak atas pendidikan.
Kebijakan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi hak atas pendidikan anak-anak pengungsi luar negeri patut diapresiasi, karena sebenarnya Pemerintah Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi (1951), jadi Indonesia bukan negara pihak dan tidak berkewajiban menangani pengungsi luar negeri.
“Namun, atas dasar kemanusiaan dan sebagai negara pihak yang menandatangani Konvesi Hak Anak, maka Pemerintah Indonesia memenuhi hak atas pendidikan anak-anak pengungsi luar negeri yang transit di Indonesia,” ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti.
Pemenuhan hak atas pendidikan anak-anak pengungsi luar negeri didasarkan pada Surat Edaran Sesjen Kemdikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri. “Sejak keluarnya SE tersebut, sudah banyak anak-anak pengungsi luar negeri yang mendapat hak atas pendidikan di sekolah formal, hal ini juga menjadi citra baik bagi pemerintah Indonesia di dunia internasional,” ungkap Retno.
Dalam SE tersebut, anak-anak pengungsi luar negeri yang bersekolah, baik di sekolah negeri maupun swasta hanya mendapatkan surat keterangan hasil belajar, bukan ijazah. Pembiayaan pendidikan juga ditanggung IOM Indonesia, bukan APBN maupun APBD. Selain itu, anak-anak pengungsi luar negeri yang bersekolah di sekolah negeri, harus mendaftar pasca PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru) karena mereka hanya bisa mengisi kursi kosong ketika PPDB usai digelar. Anak-anak pengungsi tersebut mendaftar dengan menggunakan nomor status pengungsi yang dikeluarkan UNHCR, karena tidak mungkin memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan).
Anak Pengungsi Luar Negeri Ada di 9 Provinsi
Sampai tahun 2022, hanya ada 9 provinsi di Indonesia yang menjadi tempat transit atau akomodasi sementara, yaitu : Kota Medan (Sumatera Utara), Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur), Kota Batam dan Bintan (Kepulauan Riau), Kota Makassar (Sulawesi Selatan), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kotamadya Jakarta Barat (DKI Jakarta), Kota Tangerang dan Tangerang Selatan (Banten), Kota Pekan Baru (Riau), dan kota Lhokseumawe (Nanggroe Aceh Darussalam).
Sebelumnya, pegungsi luar negeri juga ada di kota Semarang (Jawa Tengah), namun karena jumlahnya sudah sedikit, maka akomodasi di Kota Semarang ditutup dan pengungsi yang tersisa diberikan akomodasi di Kota Surabaya (Jawa Timur). Selain itu, para pengungsi kerap terdampar di beberapa wilayah Aceh, seperti Kabupaten Bireun, Aceh Utara dan Aceh Timur, meski setelah dites Covid dan diberikan bantuan medis, makanan dan tempat tinggal sementara akan diletakkan di akomodasi seperti di Kota Lhokseumawe.
Hasil Pengawasan KPAI
Komisioner KPAI Retno Listyarti sudah melakukan pengawasan pemenuhan hak atas pendidikan anak-anak pengungsi di sejumlah daerah, diantaranya adalah Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Makassar (Sulawesi Selatan), Kotamadya Jakarta Barat (DKI Jakarta), Kota Batam (Kepulauan Riau), Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan Kota Medan (Sumatera Utara).
Ada sebanyak 1.595 anak pengungsi yang berusia sekolah, dari PAUD/TK sampai SMA/SMK. Dari jumlah tersebut baru 646 anak yang sudah bersekolah, dari jumlah tersebut 348 anak menempuh pendidik di sekolah negeri. Sisanya di sekolah swasta dan untuk jenjang pendidikan SMA banyak yang mengikuti pendidikan kesetaraan atau kejar paket C, harapannya mereka ingin bisa mengakses sekolah formal.
Dari hasil pengawasan, sekolah sekolah negeri yang sudah dapat diakses anak-anak pengungsi luar negeri sebagian besar pada jenjang SD dan SMP, meskipun ada juga jenjang PAUD/TK dan Sekolah Luar Biasa (SLB), adapun data sekolahnya diantaranya yaitu: SDN 064023 Padang Bulan dan SMPN 31 Kota Medan (Sumatera Utara); SD Inpres 05 Oepoi, SMPN Terbuka, dan TK/PAUD Handayani kota Kupang (NTT), SDN Srengseng 04, 05 dan 06 Jakarta Barat (DKI Jakarta), SDN 002 Lubuk Baja, SDN 005 Lubuk Baja, dan SLB Negeri Kota Batam (Kepulauan Riau), dan lain sebagainya.
Temuan
SE Kemendibud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri patut diapresiasi, meskipun setelah 3 tahun pengawasan, KPAI berpandangan bahwa SE tersebut perlu direvisi, karena ada sejumlah persoalan dari temuan dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh KPAI, yaitu sebagai berikut :
Pertama, anak-anak pengungsi luar negeri di berbagai daerah dapat mengakses pendidikan pada jenjang PAUD, SD dan SMP, namun kesulitan ketika akan melanjutkan ke jenjang SMA/SMK.
Kesulitan tersebut disebabkan SE Sesjen Kemedikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri tidak memberikan bukti lulus seperti ijasah, hanya surat keterangan telah mengikuti pendidikan dari Kepala Sekolah. Selain itu, ada perbedaan kewenangan antara jenjang SD dan SMP yang menjadi kewenangan pemerintah kota/kabupaten, namun jenjang SMA/SMK berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi;
Kedua, anak-anak pengungsi luar negeri di kota Makassar (Sulawesi Selatan) dapat mengakses jenjang SMA ketika sudah menyelesaikan jenjang SMP, bahkan ada yang dapat melanjutkan pendidikan tinggi di dua universitas di Kota Makasaar. Namun, wilayah lain belum membuka akses untuk anak-anak pengungsi melanjutkan ke jenjang SMA untuk sekolah formal, sehingga mereka terpaksa ikut pendidikan kesetaraan atau kejar paket C;
Ketiga, alasan utama anak-anak pengungsi luar negeri tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMA/SMK adalah karena tidak adanya ijazah sebagai bukti lulus. Selain itu, persoalan kurangnya sosialisasi SE Kemendikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri, baik sosialisasi kepada jajaran Dinas Pendidikan Provinsi maupun LPMP (sekarang BPMP) Provinsi, sehingga amanat SE sulit diimplementasi.
Keempat, dalam SE Kemendikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri diamanatkan bahwa Surat Keterangan Hasil Belajar anak-anak pengungsi luar negeri ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan setempat, namun faktanya hanya ditandatangani oleh Kepala Sekolah, sehingga bukti lulus tersebut tidak dapat digunakan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, karena sekolah tujuan tidak “mengakui” dan tidak terinformasi mengenai SE tersebut.
Rekomendasi
1. KPAI mendorong KemendikbudRistek RI melakukan revisi atas Surat Edaran (SE) Sesjen Kemendikbud RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri, poin-poin yang perlu di revisi antara lain adalah sebagai berikut :
(a) Surat keterangan lulus bagi anak-anak pengungsi harus ditandatangani oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten/Provinsi ;
(b) Pelibatan aktif LPMP (BPMP) di provinsi yang ada anak-anak pengungsi luar negeri, mengingat Surat Edaran Sesjen perlu ada pengawasan dalam implementasinya di daerah;
(c) SE KemendikbudRistek juga perlu mengatur ketentuan-ketentuan tentang akses pendidikan untuk anak-anak pengungsi yang akan melanjutkan ke pendidikan tinggi (Dikti). Mengingat saat ini sudah ada 2 universitas yang menerima anak-anak pengungsi luar negeri untuk kuliah, yaitu Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar dan Universitas Bosowa Makassar.
2. KPAI mendorong KemendikbudRistek melakukan sosialisasi SE KemendikbudRistek RI No. 752553/A.A4/HK/2019 tentang Pemenuhan Hak Atas Pendidikan bagi Anak Pengungsi Luar Negeri kepada seluruh Kepala LPMP (BPMP) yang wilayah ada anak-anak pengungsi luar negeri, sehingga peran LPMP (BPMP) sebagai kepanjangan tangan kebijakan KemendikbudRistek dapat dioptimalkan.
3. KPAI mendorong KemendikbudRistek menyelenggarakan Bimbingan Teknik (Bimtek) bagi para pendidik dan kepala sekolah yang sekolahnya menerima anak-anak pengungsi luar negeri. Sehingga layanan pendidikan pada anak-anak pengungsi dapat dioptimalkan, mengingat banyak kendala diantaranya masalah komunikasi, bahasa dan budaya. (*)