BatamNow.com, Jakarta – Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memutuskan ternak yang terjangkit wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) tidak memenuhi syarat sebagai hewan kurban.
Dilansir CNN Indonesia, keputusan tersebut diambil PBNU usai melakukan kajian bersama dengan dokter ahli dari Ikatan Dokter Hewan Sapi Indonesia, dan sejumlah pihak terkait lainnya pada akhir Mei kemarin.
“Hewan yang terjangkit PMK dengan menunjukkan gejala klinis-meskipun ringan-tidaklah memenuhi syarat untuk dijadikan kurban,” ujar Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU Mahbub Ma’afi Ramdhan dalam hasil kajiannya yang diterima, Senin (13/06/2022).
Mahbub menjelaskan dalam kajian tersebut, pihaknya membedakan antara ibadah sedekah dengan ibadah kurban. Ibadah sedekah, menurut PBNU, lebih terbuka dari segi kriteria dan waktunya.
Sedangkan untuk ibadah kurban, merupakan ibadah istimewa yang memiliki ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam hadits dan kitab-kitab fiqih pada umumnya.
Oleh karenanya, dari ketentuan yang sudah ada, mengharuskan ibadah kurban berasal dari hewan yang cukup umur dan bebas cacat serta penyakit.
“Seseorang boleh bersedekah dengan apa saja yang ia mampu meski dengan kondisi tidak sempurna baik hewan maupun lainnya. Namun tidak demikian dengan ibadah kurban,” jelas Mahbub.
“Tidak sembarang hewan dapat dijadikan kurban. Ada kriteria tertentu bagi hewan yang bisa dijadikan kurban,” imbuhnya.
Mahbub mengatakan terdapat sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan PBNU untuk menolak menggunakan ternak yang terjangkit PMK sebagai hewan kurban.
Pertama, PMK merupakan salah satu penyakit menular yang bersifat akut. PMK terbukti menular pada ternak (hewan berkuku belah), terutama sapi, kerbau, kambing, domba, babi, rusa, kijang, unta, dan gajah.
Kedua, gejala klinis yang ditemukan pada hewan yang terjangkit PMK terkategori ringan merupakan munculnya lesi di lidah dan gusi. Selain itu, demam hingga suhu tubuh mencapai 40-41 derajat celcius, nafsu makan menurun, lesu pada kaki, dan beberapa gejala lainnya.
Pada tahap gejala ringan tersebut, hewan akan mengalami penurunan berat badan kisaran 1-2 kilogram per hari, tergantung perawatan dan penanganan yang dilakukan.
Sementara gejala klinis pada kategori berat ditandai dengan lepuhan besar yang jika pecah maka akan meninggalkan luka, pincang, hingga penurunan berat badan. Selain itu, penurunan produksi susu secara signifikan, bahkan bisa sampai pada kematian hewan ternak.
Ketiga, daging hewan seperti sapi, kambing, domba, yang terjangkit PMK tetap aman untuk dikonsumsi, termasuk susu, atau pun organ lain yang bisa dikonsumsi. Namun, ada bagian organ tertentu seperti jeroan yang memerlukan penanganan khusus.
Dari pelbagai faktor tersebut, PBNU kemudian memutuskan bahwa gejala klinis hewan yang terjangkit PMK memiliki titik persamaan dengan beberapa contoh yang tersebut dalam hadits dan memenuhi kriteria ‘aib (cacat).
“Titik persamaan tersebut antara lain berupa penurunan berat badan pada gejala ringan, pincang, dan kematian,” jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) memastikan stok hewan kurban, khususnya sapi, masih cukup memenuhi kebutuhan masyarakat di tengah penyebaran penyakit mulut dan kuku (PMK).
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri mengatakan kebutuhan sapi untuk kurban rata-rata hanya 1,5 juta ekor. Sementara, total populasi sapi di RI mencapai 16 juta ekor.
Kemudian, kebutuhan kambing dan domba untuk kurban rata-rata hanya 16 juta ekor. Jumlahnya jauh lebih rendah dari populasi kedua hewan itu yang mencapai 25 juta-30 juta.
“Jadi masih sangat besar stok untuk hewan ternak saat kurban,” jelas Boga dalam diskusi dengan CNNIndonesia.com, Jumat (10/06). (*)