Catatan Redaksi BatamNow.com
Sudah cukup lama sejumlah masyarakat konsumen air minum di Batam dirugikan oleh pelayanan buruk pengelola SPAM Batam.
Sejumlah konsumen resah, karena aliran air minum perpipaan milik BP Batam sebagai kebutuhan vital warga sering mati. Kerap tak tersedia setiap hari sebagaimana dijamin negara lewat perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Pasal 4 ayat (5) mengatur kontinuitas pengaliran air minum memberikan jaminan pengaliran selama 24 (dua puluh empat) jam per hari.
Tapi apa yang dijamin oleh perundang-undangan sirna manakala keluhan warga terus terjadi.
Keluhan demi keluhan nyaris tak henti sejak SPAM Batam dikelola BP Batam dengan mitra transisinya PT Moya Indonesia per November 2020.
Media di Batam kerap memberitakan pelayanan SPAM Batam yang meresahkan konsumen air minum.
Tak pelak, memicu sumpah serapah konsumen di media sosial (medsos) seakan tak ada habisnya.
Aksi unjuk rasa konsumen dengan jumlah masif sudah berkali.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Batam sudah berulang juga dilakukan untuk merespons keluhan warga.
Lembaga negara seperti Ombudsman Kepri dan LSM (NGO) konsumen sudah mengeluarkan statement keras ke pengelola SPAM Batam, tapi sepertinya “telinga mereka pekak”.
Ketua DPRD Batam Nuryanto juga telah bersuara keras atas pelayanan buruk pelayanan air minum ini, pun pengelola SPAM Batam bergeming.
Masyarakat konsumen “teraniaya”, kata Anggota DPRD Utusan Sarumaha menjelaskan klimaks dari keluhan warga ini.
Undang-undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) dan PP No 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan SDA seakan menjadi pajangan.
Seperti tak mempan bagi pengelola masa transisi SPAM Batam PT Moya Indonesia entitas grup perusahaan milik Salim Group ini.
Lalu dengan cara apa lagi konsumen mendapatkan haknya sebagaimana jaminan negara?
Mungkin teori “empat sekawan” ini dapat menjadi inspirasi bagi konsumen di Batam demi menuntut dan menegakkan kedaulatan hak konsumen air minum.
Teori empat sekawan sebagaimana dilansir dari tulisan Dahlan Iskan di blog Disway-nya sempena Hari Konsumen Indonesia yang jatuh pada 4 September 2022.
Diceritakan, empat orang konsumen dari India menggugat pengusaha raksasa ke pengadilan karena hak-hak konsumen dikebiri oligarki.
Kisahnya begini;
Empat sekawan itu kakek semua. Gaek yang berusia 82 tahun, 74 tahun, 69 tahun, dan hanya satu yang masih muda: 59 tahun.
Gara-gara perjuangan mereka sebagai konsumen, dua gedung pencakar langit di India harus dirobohkan. Sungguhan.
Perobohan dua tower itu jadi berita dunia. Khususnya di kalangan pengusaha real estate.
Kekuatan konsumen begitu nyata.
Mengikuti perjuangan mereka pak Dahlan teringat film India. Khususnya sistem peradilan dan penegakan hukumnya: lebih khusus lagi perjuangan konsumen tua melawan oligarki.
Mereka membeli apartemen di kompleks itu: tertarik pada penawaran di brosurnya. Termasuk janji akan menjadikan 60 persen areanya sebagai taman hijau.
Ini sebuah kota baru di sebelah kota industri baru: Noida. New Okhla Industrial Development Area. Orang lebih senang tinggal di Noida. Daripada di Delhi yang sesak. Kawasan ini dirancang sebagai koreksi terhadap urbanisasi. Tata ruangnya sangat baik. Berkali-kali terpilih sebagai kota baru terbaik di India. Jaraknya pun hanya sekitar 30 km dari New Delhi.
Ada areal 4 hektare situ. Untuk real estate Emerald Court. Awalnya dibangun 14 tower. Semua sembilan lantai. Letaknya di pojokan kota baru yang sangat berkembang itu.
Noida di arah Tenggara Delhi. Menuju Uttar Pradesh. Dan memang lokasi ini adalah wilayah Uttar Pradesh. Yang paling dekat dengan ibu kota. Mirip Bekasi-nya Jakarta –tapi Bekasi bukan kota baru.
Empat sekawan itu pindah ke rumah baru mereka di tahun 2009. Kecewa. Bahan-bahan bangunannya tidak seperti yang dijanjikan. Mereka diam. Mereka mulai mengeluh ketika ada tanah kosong dibangun lagi satu tower. Menjadi 15 tower.
Keluhan itu meledak ketika tanah kosong yang lebih luas lagi digali. Seperti untuk fondasi gedung baru yang lebih besar.
Empat Sekawan itu mulai bergerak. Mencari informasi. Gerangan fondasi apa yang sedang digali. Ternyata, perusahaan real estate ini akan membangun dua gedung kembar pencakar langit. Masing-masing 40 tingkat. Namanya: Apex dan Ceyane.
Dengan demikian kompleks Emerald Court milik Supertect Co ini berisi 15 tower 9 lantai dan 2 tower 40 lantai.
Empat kakek tadi mulai protes. Dua gedung itu menghalangi pemandangan apartemen mereka. Tapi developer tidak peduli. Terus membangunnya.
Melihat proyek itu kian hari kian tinggi empat kakek mulai mengajukan gugatan ke pengadilan. Mereka pun mendatangi tetangga rumah. Dari pintu ke pintu. Minta donasi. Hanya sekitar Rp 5.000/rumah. Untuk biaya beperkara.
Sebagai lokasi baru di kawasan ekonomi khusus Noida belum punya pengadilan. Pengadilannya masih ikut Uttar Pradesh. Di kota Allahabad. Jauh sekali. Kalau naik kereta perlu waktu 13 jam. Donasi tadi hanya untuk beli tiket naik kereta api. Kelas ekonomi.
Setiap kali sidang Empat Sekawan tadi pergi ke Allahabad. Kesibukan utama mereka memang hanya itu. Mereka sudah pensiun. Jangan anggap enteng pensiunan.
Empat hari sebelum sidang pun mereka sudah diskusi dengan ahli hukum. Juga ahli tata kota. Atau mencari data tentang izin bangunan.
Setiap kali mereka ke Allahabad setiap itu pula bangunan bertambah lantainya. Developer mengaku izin-izin sudah lengkap. Tapi empat orang itu kian menemukan lubang: jarak dua tower itu pun melanggar peraturan. Seharusnya minimal 14 meter. Yang terjadi hanya 9 meter.
Di tengah perjalanan persidangan, dana mereka habis. Mereka kembali mengetuk pintu tetangga. Minta donasi Rp 10.000/pintu. Ada yang mau membayar ada pula yang tidak.
Hebatnya: pengadilan memenangkan mereka. Pembangunan dua tower itu harus dihentikan. Bahkan harus dirobohkan. Aturan yang dilanggar banyak sekali.
Tentu developer naik banding. Ke Mahkamah Agung. Di New Delhi. Lebih dekat. Investasi mereka sudah terlalu besar. Lebih dari Rp 2 triliun.
Empat Sekawan itu terus berjuang. Total perjuangan mereka sampai 9 tahun. Di tingkat final pun mereka menang. Mahkamah Agung memutuskan: dua tower itu harus dirobohkan. Dalam tahun 2022 ini juga.
Padahal dua gedung itu sudah telanjur tinggi sekali. Sudah 32 lantai. Tinggal 8 lantai lagi selesai. Hukum harus ditegakkan. Gedung harus dirobohkan.
Maka Jumat lalu pengumuman pun dibuat. Gedung akan dirobohkan dua hari lagi: Minggu. Penduduk di radius 500 meter harus mengungsi. Jalan raya dan jalan bebas hambatan di sebelah gedung itu ditutup: 4 jam.
Seminggu lamanya persiapan dilakukan. Puluhan ton bahan peledak didatangkan. Ribuan titik dibuat. Dilubangi. Diisi bahan peledak. Letak bahan peledak itu diatur cermat. Agar kalau meledak serentak gedung bisa roboh ke dalam. Tidak ambruk ke samping.
Maka Minggu pagi itu ada objek wisata baru. Tegaknya hukum, robohnya oligarki, menangnya konsumen.
Tiga tertua dari Empat Sekawan itu menyaksikan puncak hasil perjuangan mereka. Hanya satu yang absen. Yang termuda. MK Jain. Umur 59 tahun. Ia meninggal dunia tahun lalu. Karena Covid-19.
Menggugat ke pengadilan.
UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999 menjamin hak-hak konsumen di Indonesia.
Hak dan kewajiban konsumen, yakni hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Itu mungkin yang harus ditempuh para konsumen air minum perpipaan di Batam seperti perjuangan empat sekawan.
Daripada mengeluh terus, tapi suara konsumen tak dianggap pengelola SPAM Batam.
Apalagi Wali Kota Batam ex-officio Kepala BP Batam tak kunjung percaya pelayanan buruk pengelola transisi SPAM Batam milik perusahaan konglomerasi Salim Group itu.
Tak percaya meski warganya sendiri sudah “berteriak” dan teraniaya sebagaimana penjelasan Utusan Sarumaha.
Terniaya karena pelayanan buruk perusahaan Anthoni Salim yang berharta Rp 122 trliun itu.
Selamat berjuang “empat sekawan” dari Batam. (*)
Pengelola Air minum di Batam, belum jelas bagi konsumen, dikarenakan… Baca Selengkapnya