BatamNow.com – Temuan BPK pada LHP laporan keuangan BP Batam terdapat catatan piutang Uang Wajib Tahunan (UWT) sebesar Rp 431 miliar dari total Rp 442 miliar piutang Direktorat Pengelolaan Pertanahan per 31 Desember 2022.
Piutang yang sejak beberapa tahun lalu. Menumpuk tak kunjung tuntas.
Lalu Ketua DPP LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara di Kepri, Panahatan SH menganalogikan piutang di pusaran pengalokasian lahan BP Batam itu seperti di awang-awang.
Artinya, katanya, bisa saja sebagian besar piutang itu tak ada lagi. Tak tertutup kemungkinan piutang macet.
Bisa jadi juga, katanya, ada dugaan kesengajaan pencatatan asal-asalan angka-angka piutang itu dengan motif tertentu.
Panahatan malah meragukan keabsahan catatan dari seluruh jumlah piutang hasil audit BPK. Hal itu jika merujuk pada satu kasus lahan yang penyelesaiannya hukumnya sangat pelik dan serasa merusak akal sehat.
“Ibarat tak ada kepastian, pun keadilan hukum di pusaran pengalokasian sebagian lahan BP Batam,” ujar Panahatan.
Banyak masalah lahan di Batam. Dan itu diakui oleh Kepala BP Batam Muhammad Rudi yang bernafsu mencalonkan diri di Pilkada Provinsi Kepri Tahun 2024 itu.
Panahatan: Pintu Masuk Satgas Mafia Tanah Kejati Kepri
Catatan BatamNow.com, banyak lahan kosong alias lahan terlantar. Banyak lahan yang “dijajakan” oleh pemohon pertama (spekulan) tanpa dibangun. Tujuannya mencari pembeli dengan harga mahal agar mendapat cuan besar.
Meski begitu tanah spekulasi pemohon masih banyak tidak ditarik balik BP Batam. Tampak kosong melompong di mana-mana di setiap sudut kota ini.
Dan sudah gosip sehari-hari oleh masyarakat bahwa di BP Batam diduga “berlindung” mafia lahan (tanah). Itu maka tak segera ditarik atau dibatalkan alokasi lahan tersebut.
Bahkan BP Batam sudah menjadi buah bibir selama ini karena lembaga negara ini dijuluki “super power” dalam penguasaan tanah dan kekuasaan lain yang ditanganinya.
Banyak lahan yang dialokasikan berujung masalah. Banyak investor kecewa. Tak jarang pengalokasian lahan membuat gaduh ditengah masyarakat dan lumayan banyak menggelinding ke meja pengadilan.
Di kala pengusaha dan masyarakat bertengkar di lapangan dan di ruang pengadilan atas pengalokasian lahan bermasalah itu, BP Batam justru duduk manis di gedung berlogo Elang Emas itu.
Contohnya, tak terkecuali di kasus pengalokasian tanah yang diulas di bawah ini. Kasus tanah yang memantik keraguan Panahatan soal keutuhan piutang yang Rp 442 miliar temuan BPK itu.
Begini cerita pendek kisah temuan itu:
Adalah PT HJS disebut sebagai debitur BP Batam yang tak mengakui utangnya atas Uang Wajib Tahunan (UWT) sebesar Rp 5,3 miliar lebih.
Piutang atas PT HJS itu berdasarkan dua faktur diterbitkan pada 31 Desember 2010 yang jatuh tempo pada 14 Januari 2011. Masing-masing senilai Rp 3,4 miliar dan Rp 1,9 miliar.
Piutang sebesar itu masih dicatatkan oleh BP Batam dalam saldo piutang di pembukuannya. Piutang terhadap PT HJS itu menjadi bagian dari total piutang UWT Rp 431 miliar.
Sesuai temuan BPK bahwa direktur PT HJS mendapat alokasi lahan dengan surat alokasi Nomor 90030086 seluas 47.070 m2 yang diterbitkan 9 Maret 1990. Letak areal tanah itu adalah peruntukan jasa.
Anehnya, sejak BP Batam mengalokasikan tanah itu, PT HJS tidak dapat mengelolanya karena jauh hari dikuasai pihak lain. Tak pelak masalah pun muncul. Lalu berujung objek sengketa. Kondisi seperti itu sudah biasa di Batam.
Ternyata sebelumnya lahan yang dialokasikan oleh BP Batam, dikuasai oleh indvidu berinisial AT. Di atas lahan itu AT telah membangun masjid, sekolah, ruko dan rumah serta menyewakan tanah tersebut ke banyak pihak.
Kemudian kisruh tanah itu bergulir ke pengadilan. PT HJS menggugat AT dan BP Batam. Gugatannya sampai ke tingkat kasasi hingga ke peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA).
PT HJS memenangkan gugatannya. PT HJS pun menyampaikan salinan putusan MA nomor Reg.No.33 PK/Pdt/2001 itu ke para pihak.
Meski MA telah memenangkan PT HJS, namun areal tanah itu masih tetap dikuasai AT. Entah kekuaatan apa yang dimilikinya.
Dalam catatan temuan BPK itu tak dijelaskan apakah eksekutor putusan MA melaksanakan fungsi dan tugasnya atau tidak. Siapa pelaksana putusan MA itu. Apa upaya Direktorat Pengelolaan Pertanahan BP Batam. Lagi duduk maniskah “di singgasananya” ditengah penderitaan pemohon alokasi lahan?
Syahdan, karena area tanah itu masih tetap dikuasai AT, akhirnya pihak PT HJS mengembalikan alokasi lahan ke BP Batam. Hal itu didokumentasikan dalam berita acara serah terima pada 4 April 2013.
Pemeriksaan lanjut dari BPK bahwa lahan eks PT HJS telah beralih pula pengalokasiannya oleh BP Batam ke PT UJKM dengan No PL 212030416 seluas 47.070 m2.
Data itu diketahui dari munculnya faktur BP Batam kepada PT UJKM No 0019071302 atas tagihan UWT senilai Rp 4,3 miliar lebih serta jaminan pelaksanaan Rp 109 juta lebih. Semua tahihan BP Batam telah dibayar lunas oleh pihak PT UJKM pada 8 Juli 2013.
Jadi lahan itu bukan lagi hak kelola ke PT HJS, tapi beralih ke PT UJKM. Namun piutang UWT atas nama PT HJS tetap dicatat di pembukuan BP Batam sebesar Rp 5,3 miliar. Aneh bukan?
Lalu pihak Direktorat Pengelolaan Pertanahan pun berkilah ke BPK. Atas temuan itu mereka belum melakukan rekonsiliasi dan indentifikasi/validasi data piutang UWT dengan Biro Keuangan.
Dituliskan dalam LHP BPK itu keterangan Kepala Subdirektorat Pengendalian, Kepala Seksi Pengelolaan Data dan Kepala Seksi Pengadaan sesuai Perka BP Batam Nomor 15 Tahun 2021 tentang Struktur Organisas dan Tata Kerja BP Batam, bahwa Direktorat Pengelolaan Pertanahan tidak memiliki wewenang mengevaluasi nilai kebenaran piutang.
Berdasarkan STOK baru, kewenangan pelaksanaan urusan pendapatan dan piutang menjadi tugas Biro Keuangan.
Ternyata BP Batam baru akan melakukan koordinasi antara Direktorat Pengelolaaan Pertanahan dan Biro Keuangan atas temuan tersebut. Itu pun setelah temuan BPK. Kalau tak karena temuan itu, entah sampai kapan.
Setelah mengetahui serta membaca temuan BPK atas permasalahan piutang BP Batam, Panahatan pun geleng-geleng kepala.
Ia katakan, “Masa lembaga sebesar BP Batam masih belum komprehensif mengelola keuangan khususnya soal piutang”.
“Ini ambyar, piutang dicatatkan, sementara terutang tak mendapat alokasi lahan. BP Batam bisa dilaporkan PT HJS sebagai tindak pencemaran nama baik dan dugaan perbuatan melawan hukum,” ujar Panahatan.
Panahatan pun belum bisa memastikan apakah di pengelolaan keuangan BP Batam khsususnya di pencatatan piutang ada mafia piutang. “Saya belum bisa pastikan, itu makanya kami minta Kejati Kepri melakukan lidik di keuangan BP Batam yang bermasalah ini,” katanya.
Bagaimana Transparansi Uang Muka 10 Persen Nilai UWT Pemohon Lahan?
Dalam temuan BPK di lembaran utang-piutang BP Batam belum ditemukan jejak uang uang muka 10 persen dari total nilai UWT yang telah diterima BP Batam selama ini, meski lahan tak kunjung dialokasikan secara tuntas.
Sementara hingga kini masih banyak pemohon mengklaim telah menyetorkan uang muka 10 persen atas permohonan pengalokasian tanahnya yang sudah disetujui BP Batam.
Menjawab BatamNow.com, Panahatan mengatakan bahwa kemungkinan temuan BPK atas LHP laporan keuangan BP Batam bisa saja masuk ranah Tipikor selagi ditemukan kerugian negara.
Ia katakan bahwa opini BPK tentang Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan penghargaan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani tak menjamin tak ada korupsi atas kinerja keuangan BP Batam.
“Baik Presiden Jokowi, maupun Menkeu Sri Mulyani dalam berbagai kesempatan sudah memastikan bahwa WTP bukan jaminan tak ada korupsi,” ujarnya.
Apakah masalah yang dibeber di atas bagian dari permasalaan mafia tanah yang dilaporkan masyarakat ke Satgas Mafia Tanah Kejati Kepri?
Apakah juga bagian yang tak terpisahkan dari laporan masyarakat sehingga Direktur Pengelolaan Pertanahan BP Batam Ilham Eka Hartawan diperiksa Kejati Kepri?
Redaksi media ini akan mencoba mengikutinya dan melaporkannya dalam bentuk tulisan. (red)