BatamNow.com, Jakarta – Entah dari mana muncul ide proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Kota Batam, Kepulauan Riau, ini. Nyatanya, pada 21 Maret 2014, telah dilakukan penandatanganan pinjaman (loan agreement) sebesar USD 50 juta antara Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI dengan Executive Director Exim Bank of Korea Yim Seong Hyeog.
Sebelumnya, proyek ini juga telah mendapat persetujuan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Proyek tersebut mulai dikerjakan pada April 2017, awalnya ditargetkan kelar Juni 2019. Namun tidak kesampaian, akhirnya diaddendum menjadi Juni 2021. Lagi-lagi tak selesai, lantas dimundurkan jadi akhir tahun 2022. Kemudian diaddendum lagi dengan target penyelesaian pekerjaan di akhir 2024. Hingga awal 2023 ini, belum ada pipa yang tersambung ke rumah warga dari target 11.000 sambungan.
Lucunya, meski terkait persetujuan dan pinjaman melibatkan Bappenas dan Kemenkeu, namun secara teknis pelaksanaan, BP Batam tidak mengikutsertakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR). Apakah proyek besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak ini, terkhusus di Batam, bisa hanya ditangani secara lokal saja? Apakah BP Batam begitu hebatnya menggarap proyek ini, yang ternyata sampai sekarang tak bisa selesai juga?
Ketika dikonfirmasi, KemenPUPR membenarkan bahwa pihaknya tidak dilibatkan pada proyek tersebut. “Pelaksanaan kegiatan pembangunan IPAL Batam melalui Pinjaman EDCF INA-20 tidak melibatkan Direktorat Jenderal Cipta Karya KemenPUPR,” kata Direktur Sanitasi Ditjen Cipta Karya KemenPUPR Ir Tanozisochi Lase MSc kepada BatamNow.com, Selasa (03/01/2023).
Menurutnya, hal tersebut secara regulasi dibenarkan. Dalam proyek tersebut, BP Batam ditetapkan sebagai Executing Agency (EA). “Dalam pelaksanaan kegiatan, BP Batam membentuk Project Management Unit (PMU) dan Project Implementation Unit (PIU) yang didalamnya tidak melibatkan Ditjen Cipta Karya,” terangnya.
Diuraikan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Keuangan pada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, dan Peraturan Menteri Keuangan No 101/PMK.02/2011, BP Batam memiliki kewenangan. Namun, mengingat ini proyek besar dan butuh kehati-hatian dalam pengerjaannya, mengapa BP Batam tidak berkonsultasi dengan PUPR yang memang terbiasa menangani proyek-proyek sejenis di Indonesia?
“Sejauh ini BP Batam belum pernah menyampaikan secara resmi kepada Kementerian PUPR terkait perkembangan pelaksanaan proyek IPAL Batam,” aku Tanozisochi.
Karena tidak dilibatkan, lanjutnya, maka pemantauan, pengawasan dan evaluasi proyek tersebut sepenuhnya dilakukan oleh BP Batam selaku EA dan dikendalikan oleh PMU dan PIU yang dibentuk oleh BP Batam.
Dilaporkan, hingga kini proyek tersebut masih mangkrak, tak kunjung dilanjutkan. Padahal, proyek yang berasal dari pinjaman ini bernilai lebih dari Rp 700 miliar (kurs Rp14.000) dengan bunga 0,5% atau setara Rp 3,5 miliar per tahun dan lama pinjaman 40 tahun. Mau sampai kapan pengerjaan proyek ini? Haruskah rakyat hanya disuruh bayar pinjaman, sementara proyek tak kunjung kelar, bahkan berpotensi cuma jadi proyek mercusuar?
Patut dipertanyakan, IPAL Batam itu proyek siapa sebenarnya? Benarkah untuk rakyat atau hanya mengatasnamakan rakyat untuk menangguk untung pribadi atau kelompok saja? (RN)