BatamNow.com, Jakarta – Upaya Pemerintah Pusat meminimalisasikan jumlah bandara internasional di Indonesia diapresiasi oleh sebagian pihak, namun menuai ketidaksetujuan, utamanya dari sejumlah daerah di mana bandara di wilayahnya sudah keburu dilabeli ‘internasional’.
Saat ini, ada 32 bandara internasional di Indonesia, sebuah jumlah yang cukup fantastik. Secara regulasi, soal kebandarudaraan diatur dalam beberapa Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Perhubungan, antara lain Permenhub No. 33 Tahun 2021 Tentang Kegiatan Pengusahaan di Bandara Udara dan Permenhub No. 39 Tahun 2019 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, yang merupakan turunan dari UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Rencananya pemerintah akan memangkas jumlah bandara internasional menjadi hanya 14-15 buah. Selebihnya akan didomestikkan. Ketika coba dikonfirmasi, Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan, hingga saat ini belum diputuskan.
“Soal itu masih dalam pembahasan dan belum ada keputusan,” kata Adita, di Jakarta, Selasa (28/03/2023).
Dirinya menolak ketika disinggung soal kemungkinan terjadi tarik ulur antara Pemerintah Pusat dan daerah terkait pencabutan status kebandarudaraan tersebut. “Tidak ada tarik ulur ya. Hanya saja harus melalui kajian-kajian yang komprehensif dan mendalam,” ujarnya lagi.
Adita tidak bisa memastikan apakah setelah Lebaran sudah bisa keluar penetapan status kebandarudaraan terhadap 32 bandara internasional tersebut. “Belum tahu dan belum bisa dipastikan ya. Tergantung bagaimana hasil kajian terkait efektifitas dan operasionalitas selama ini,” tukasnya.
Sementara itu, menurut Pengamat Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen Agus Pambagio, Indonesia cukup memiliki maksimal 9 bandara internasional saja.
“Kebijakan pemerintah membuka sebanyak mungkin bandara internasional demi meningkatkan jumlah kunjungan wisman ternyata terbukti menjadi kebijakan yang merugikan, khususnya bagi maskapai penerbangan domestik,” ungkap Agus.
Dijelaskan, semakin banyak bandara internasional, biaya operasi dan perawatannya juga kian membengkak. Bandara Internasional harus mempunyai pelayanan Custom, Immigration and Quarantine (CIQ) yang tidak murah. Biaya investasi juga meningkat, khususnya untuk melengkapi perlengkapan navigasi sesuai dengan peraturan ICAO dan UU No. 1 Tahun 200 Tentang Penerbangan.
Dijelaskan, pendapatan maskapai domestik tergerus. Salah satunya karena ada ASEAN Open Sky, di mana maskapai asing bisa terbang point to point di 32 bandara internasional dan semua bandara tersebut menjadi Port of Entry (POE) ke Indonesia. Maskapai lokal hanya jadi penonton dalam penanganan wisman.
Agus memaparkan, dari 32 bandara internasional, ada 9 yang tidak (lagi) pernah disinggahi penerbangan berjadwal internasional dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir yakni, Sabang, Tanjung Pinang, Lampung, Kertajati, Ambon, Jayapura, Biak, Merauke, dan Kupang. Juga ada beberapa bandara yang hanya melayani penerbangan ke Madinah dan Jeddah. Hanya beberapa saja yang secara rutin melayani penerbangan internasional.
Sebelumnya, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Bobby Jayanto, meminta Pemerintah Pusat tetap mempertahankan dua bandara yang ada di daerah tersebut tetap berstatus internasional. Alasannya karena Bandara Raja Haji Fisabilillah di Tanjungpinang dan Bandara Hang Nadim di Batam telah lama berstatus internasional.
Hal tersebut dikatakannya menyikapi rumor status internasional kedua bandara tersebut akan dicabut dan didomestikan.
Bobby meminta Pemprov Kepri serius memperjuangkan kedua bandara tersebut tidak dicabut status internasionalnya karena Kepri merupakan daerah perbatasan beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand. “Saya berharap dan minta Gubernur Kepri serius menanggapi isu ini. Mesti diperjuangkan ke pusat, sebab jika dicabut status bandara ini yang rugi adalah daerah kita,” tukasnya.
Sementara itu, Gubernur Kepri, Ansar Ahmad menegaskan akan meminta status internasional kedua bandara tersebut bisa dipertahankan. Menurut Ansar, status bandara internasional itu sangat penting bagi membuka akses penerbangan dari luar negeri ke Kepri atau sebaliknya karena banyak warga berkebangsaan seperti China dan India selama ini mendominasi jumlah kunjungan wisman ke daerah tersebut. (RN)