BatamNow.com – Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam mengklaim menegah keberangkatan 8.243 WNI yang terindikasi perkerja non-prosedural di luar negeri (LN).
Namun di sisi lain, hingga kini, diperkirakan 3.000-an warga Batam (Kepri) atau WNI lain masuk ke Singapura lewat Batam untuk bekerja secara non-prosedural di negara tentangga itu. Belum yang ke Johor, Malaysia.
Penegahan selama tahun 2023, manakala para WNI hendak berangkat dari pintu keberangkatan pelabuhan internasional di Batam.
Pejabat Imigrasi Batam juga mengklaim sistem mereka mencatat dan menyimpan database untuk setiap pelintasan khususnya bagi WNI yang terindikasi TKI non-prosedural.
Sistem dengan database Imigrasi Batam yang diklaim mumpuni itu, tampaknya belum dapat mendeteksi atau melacak jejak pekerja gelap dari Batam yang setiap hari keluar-masuk Singapura dan Malaysia.
“Kondisi ini sudah sejak lama, tapi belakangan ini makin banyak,” kata Nardon, seorang WNI yang sudah lama tinggal di Singapura sebagai pemilik resident permanent.
Para warga Batam yang bekerja ilegal di Singapura mendapat visa turis secara otomatis di autogate check point pemeriksaan imigrasi di sana. Ketentuan bebas visa ini sudah diatur dalam perjanjian bilateral Indonesia-Singapura.
Kondisi WNI berasal dari Batam atau dari daerah lain di Provinsi Kepri, yang bekerja secara kucing-kucingan di negara Lee Hsien Loong itu juga dilaporkan Eric Taraja, wartawan BatamNow.com dari Singapura.
Investigasi dan hasil wawancara BatamNow.com dengan banyak WNI, yang bekerja secara ilegal di sana mengaku pintu keberangkatan mereka rerata dari pelabuhan internasional di Batam, meski beberapa dari Jakarta dan Tanjungpinang.
Data valid dan resmi tentang jumlah warga Batam atau warga Kepri yang berangkat bekerja gelap setiap hari ke Singapura khususnya yang berangkat lewat jalur resmi di terminal Pelabuhan Internasional Batam, masih sebatas perkiraan. Dan dipastikan tak ada satu instansi manapun yang memilikinya.
“Sesuai pengalaman dan perkiraan kami total ada sekitar 3.000 ribuan WNI yang masuk resmi dari Batam ke sini untuk bekerja secara kucing-kucingan dengan menyalahgunakan visa turisnya,” ujar sumber yang tak etis ditulis namanya. Sumber ini berpaspor terbitan Kantor Imigrasi Batam itu.
Passing Passport untuk Dapat Visa Baru
Mereka masuk resmi di Singapura, dikategorikan sebagai turis yang rata-rata mendapat visa 30 hari, meski ada satu dua orang dengan masa visa di bawah itu. Dan visa turis inilah yang disalahgunakan di sana.
Lumayan banyak WNI dari Batam yang diwawancarai wartawan media ini, soal jumlah warga Batam yang bekerja non-prosedural di Singapura. Perkiraan mereka hampir sama.
Disebutkan dari ribuan orang itu, paling tidak dalam sebulan pasti kembali dulu ke Batam dan kemudian masuk lagi ke Singapura untuk mendapatkan visa baru.
Mereka biasa menyebutnya passing passport Singapura-Batam-Singapura.
Menurut Taraja, letak geografis Batam-Singapura yang bersebelahan dan peluang kerja bergaji dolar Singapura yang jauh di atas rata-rata gaji di Batam menjadi faktor utama memancing minat mereka bertungkus lumus di Singapura, meskipun “curi-curi” kesempatan alias ilegal. Apalagi peluang kerja serabutan bergaji dolar itu semakin terbuka luas belakangan di sana.
Dan bahkan dari mereka banyak berprofesi menjaja jasa seks di sana?
Jadi, lapor Taraja, hampir setiap hari dipastikan banyak yang masuk dan keluar Batam dari yang tiga ribuan itu. “Hanya untuk passing passport saja dan kemudian masuk lagi ke Singapura dengan visa kunjungan wisata, kemudian bekerja secara gelap lagi,” ujarnya.
Selain warga Batam yang bekerja non-prosedural di Singapura dan Malaysia, masih banyak WNI dari daerah lain yang memilih Batam sebagai destinasi passing passport.
Bahkan di Batam kini menjamur penginapan passing passport bagi pekerja ilegal yang keluar-masuk Singapura dan Malaysia.
Diduga, pemilik penginapan menjalankan fungsi gandanya memfasilitasi para pekerja passing passport, misalnya untuk keperluan persiapan uang tunjuk di imigrasi negara tetangga dan memfasilitasi bila mendapat gangguan di Batam.
Apakah soal ini juga luput dari detektor sistem dengan database Imigrasi Batam?
Bekerja Kuli Hingga Dugaan Prostitusi
Mereka yang ke Singapura bekerja dengan part time. Ada sebagai tukang bersih rumah atau dengan bahasa umumnya di sana tukang kemas. Ada yang kupas bawang di pasar, kerja kuli angkut pindahan rumah, kerja korek tong sampah, di catering dan sebagainya.
Mereka rerata dapat upah antara SGD 30 sampai SGD 50 atau setara Rp 580 ribu per pekerjaan.
Di Singapura para pekerja non-prosedural ini ada yang tidur di emperan setiap hari dan di tempat tersembunyi lain yang bisa terhindar dari pengawasan petugas kota Singapura. Semisal memilih tidur di taman lebat. Itu disebab biaya penginapan cukup mahal di sana. Singapura terkenal sebagai negara dengan biaya hidup mahal di dunia.
Untuk urusan mandi bagi pekerja ilegal tadi, di Singapura tersedia fasilitas toilet yang bersih hanya berbiaya SGD 0,5 atau 50 sen per sekali masuk.
Beda dengan pekerja ilegal dengan pendapatan lumayan, mereka mengambil istrahat malamnya pada hostel atau penginapan backpacker atau penginapan beransel dengan tarif SGD 5, semalam.
Namun ada hal yang lebih memprihatinkan dari perkelanaan ribuan orang tersebut. Tak sedikit dari total WNI itu perempuan, yang di Singapura berprofesi penjaja jasa seks.
Tak sulit menemui para wanita penjaja jasa seks yang masuk lewat Batam. Mereka berbaur di tengah ribuan penjaja seks lainnya dari berbagai negara di Asia. Mereka ada di kawasan Orchad Road, Thomson Road, China Town kawasan Sim Lim dan di tempat lainnya.
Dan yang populer di lokasi Geylang Road di mana banyak wanita penjual jasa seks menjajakan dirinya. Mereka dari berbagai negara termasuk wanita-wanita dari Indonesia khususnya dari Batam.
Geylang menjadi kawasan prostitusi resmi membonceng prostitusi gelap di Singapura. Kawasan prostitusi ini bagi kelas berkocek menengah ke bawah.
Mulai dari lorong 1 sampai lorong 18 penuh dengan wanita penjaja yang resmi dan tak resmi. Khusus untuk lorong 8 seakan menjadi tempat geng prostitusi dari Indonesia.
Di malam hari pasar prostitusi gelap mulai pukul 19.00 waktu setempat. Cukup ramai mereka berdiri menjajakan dirinya di sepanjang tepi jalan di setiap lorong di sana yang juga ramai orang belanja seks, khususnya pendatang dan para lelaki pekerja resmi dari beberapa negara. Kadang pagi dan siang hari pun banyak wanita yang menjajakan dirinya di sana. Pun kaum transgender dan transseksual.
Tarif sekali kencan atau biasa disebut harga untuk short time, SGD 30. Lelaki hidung belang mengajak mereka ke hotel melati sekitaran lorong tersebut dengan tarif kamar hotel short time sekitar SGD 20 dolar per jam.
Wanita Indonesia biasanya menjajakan diri di lorong 8, tentu di bawah pengawasan para gangster di sana.
Dari tarif sekali kencan SGD 30 dipotong untuk jasa gangster SGD 10 termasuk untuk sebiji kondom yang harus dibeli lewat jaringan gangster.
‘Jualan’ di Geylang, pulang ke Batam untuk passing passport. Meraka masing-masing bisa membawa ratusan dolar Singapura bahkan ada sampai 1.000 dolar. “Ya kalau ada rezeki bisa membawa 2.000 dolar,” kata perempuan berinisial Wkwk berusia 24 tahun ini.
Lain lagi menurut janda muda berinisial OW. Wanita beranak dua ini mengatakan target setiap para wanita penjaja seks dari Batam selama di Singapura dengan memanfaatkan rentang masa berlaku visa turisnya 30 hari, harus mendapat tamu minimal 10 “kong” atau 10 kali kencan setiap hari. Istilah atau diksi “kong” tak etis ditulis lengkap di media ini.
Imigrasi Batam Minta Dilaporkan Kalau Ada Bukti
Lalu bagaimana tanggapan pihak Kantor Imigrasi Batam atas leluasanya setiap hari para pekerja non-prosedural ini ke Singapura?
Dan bahkan dari mereka banyak berprofesi menjadi seks di sana?
Mengapa sistem database Imigrasi Batam seolah kecolongan?
Kharisma Rukmana, Kasi Informasi dan Keimigrasian Imigrasi Batam hanya menjawab, “Jika ada yang memiliki informasi dan bukti terkait dugaan aktifitas prostitusi pada WNI ataupun dugaan perpanjangan visa untuk bekerja secara illegal oleh WNI, silahkan sampaikan kepada kami untuk ditindak lanjuti”.
“Bukankah Imigrasi Batam punya devisi intelijen untuk mendeteksi pergerakan WNI ke luar negeri dan mengapa para telik sandi Imigrasi Batam tak melakukan penyusupan melihat fakta WNI kita ini di seberang,” tegas Ketua DPP LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara, Panahatan SH, setengah bertanya.
Ia juga mengingatkan bahwa masalah ini menjadi tanggung jawab yang diberi negara kepada jajaran imigrasi dan justru jangan membebani masyarakat untuk melapor.
“Masa intelijen Singapura saja yang diduga kerap masuk menyusup ke Batam (Kepri) dengan memanfaatkan visa turis?” tegas Panahatan, lagi. (red)