BatamNow.com – Dua dekade sudah lahan milik negara seluas 119 hektare di kawasan Waduk/ Dam Baloi, Batam, itu tak dikelola sesuai peruntukannya.
Jika BP Batam, gaspol tangani pembebasan lahan di Pulau Rempang, jutru sebaliknya terlihat tepar menyelesaikan masalah lahan Baloi Kolam, Sungai Panas, Batam.
Publik pun, kini, kembali mengungkitnya. Mengapa Kepala BP Batam Muhammad Rudi SE sepertinya tak mampu menuntaskan permasalahan lahan itu hingga jelang akhir kepemimpinannya di BP Batam.
Ketua DPP Kepri LI-Tipikor dan Hukum Kinerja Aparatur Negara, Panahatan SH pun mengkritisinya.
“Saya mendapat masukan dari beberapa warga yang mempertanyakan kondisi lahan negara yang tak dikelola sesuai peruntukannya,” kata Panahatan.
Masyarakat pun menilai, BP Batam, terkesan tak mampu menuntaskan sengkarut lahan itu dalam kurun waktu yang berlarut-larut: ±20 tahun.
BP Batam juga seperti memilih bungkam soal menganggurnya lahan di saat tingginya permintaan investor atas lahan untuk berinvestasi di Batam.
“Cukup luas area lahan itu, tak dikelola sesuai peruntukannya sehingga potensi fungsi dan nilai keekonomiannya hilang selama 20 tahun,” ujar Panahatan.
Misal, katanya, Uang Wajib Tahunan (UWT) BP Batam sebagai potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas 119 hektare lahan itu diperkirakan bisa meraup hingga Rp 178,5 miliar selama 30 tahun pertama bila dengan asumsi tarif UWT Rp 150 ribu per meter persegi.
Ia katakan, andai lahan seluas itu difungsikan untuk investasi komersial atau industri, seberapa besar nilai tambah ekonominya, daya serap akan tenaga kerja dan sebagainya.
Mengapa BP Batam seperti diam seribu bahasa dengan lahan tidur ini?
Apakah BP Batam tak merasa gagal menjalani misi menangani dan menyelamatkan lahan itu sesuai yang ditugaskan negara?
Mengapa BP Batam terkesan kurang transparan hingga kini terkait lahan itu?
Mengapa penanganannya mandek ditengah gencarnya BP Batam menggusur warga dari lahan di Pulau Rempang demi investasi?
Dikonfirmasi BatamNow.com, Ariastuty Kabiro Humas maupun Ilham Eka Hartawan Direktur Pengelolaan Pertanahan BP Batam tidak merespons konfirmasi BatamNow.com, lewat WhatsApp.
Selain dinilai kurang transparan, BP Batam juga dinilai kurang profesional dalam mengelola permasalaan lahan khususnya di areal Dam Baloi, Batam.
“Ya kurang profesional jika melihat penanganan 119 hektare yang tak bisa diselesaikan di era Muhammad Rudi,” kata Panahatan.
Dulu Hutan Lindung
Berada di tengah kota, di Sungai Panas, Kecamatan Batam Kota. Letaknya sungguh strategis bila dikembangkan untuk kawasan investasi.
Penelusuran BatamNow.com, sejak tahun 2004, lahan itu sempat dialokasikan Otorita Batam (sekarang BP Batam) kepada 12 perusahaan pemohon, namun berakhir mangkrak.
Dulunya, lahan nan luas itu tercatat sebagai hutan lindung sebelum dialokasikan.
OB mengingkari dengan mengeluarkan kebjiakan baru yang menyebutkan kalau 12 perusahaan yang sudah memiliki PL di lahan seluas 119,6 hektare itu, tidak dapat melanjutkan pengelolaan Dam Baloi atau Baloi Kolam.
Karena keputusan ambigu itu para penerima alokasi lahan akhirnya mempertanyakan Uang WTO yang sudah mereka bayarkan.
Kemudian, ditengah ketidakpastian pengalokasian lahan itu menyeruak isu korupsi.
Isunya ada cincai-cincai dari UWTO sebesar Rp 44 miliar. Sebanyak Rp 20 miliar lebih diduga mengalir ke oknum pejabat Pemko Batam dan diakui Pemko Batam, saat itu, sehingga bersedia mengembalikan uang para pengusaha.
Disebut juga sampai Ketua KPK, saat itu, Antasari Azhar turun langsung ke Batam. Beberapa orang sempat dimintai keterangan di Mapolresta Barelang.
Dari Otorita Batam adalah Agus Hartanto, Daniel Yunus, dan Umen Darsono. Sedangkan dari Pemko Batam adalah Agus Suhiman, Suhartini dan Abang Muzni.
Ditengah permasalahan pelik lahan itu, muncul kebijakan baru dari Kementerian Kehutanan, dimana status hutan di atas lahan itu kemudian dialihfungsikan lewat SK No. 725/Menhut-II/2010, pada 30 Desember 2010.
SK Menhut itu diserahkan Menteri Kehutanan RI Zulkifli Hasan kepada wali kota Batam, yang saat itu dijabat Ahmad Dahlan dan Ketua Badan Pengusahaan (BP) Batam yang masih dijabat Mustofa Widjaja.
Saat itu Zulkifli Hasan mengatakan dengan terbitnya SK Menhut tentang Pelepasan Status Hutan Lindung Baloi dapat mengakhiri gonjang-ganjing permasalahan alih fungsi Hutan Lindung Baloi Kolam.
Meski status hutan lindung sudah dialihfungsikan, malah penerima alokasi tak bisa melanjutkan aktivitas pembangun Baloi Kolam.
Pun kini tetap menjadi lahan tidur terluas di Kota Batam.
Selain isu korupsi muncul lagi pendapat hukum atau legal opinion (LO) dari Kejagung ditengah permasalahan pengalokasian lahan itu, LO tentang legalitas perusahaan pemohon.
Kabarnya sampai hari ini para pengusaha penerima alokasi lahan masih berharap bisa membangun kawasan itu. Selain letaknya yang trategis, para pengusaha ini juga sudah mengeluarkan banyak uang.
BP Batam disebut pun sudah sering menghubungi perusahaan penerima alokasi lahan untuk maksud mengembalikan UWT ke rekening mereka, namun pihak pemilik alokasi lahan menolak.
Apakah UWT itu, hingga kini, masih mengendap di rekening BP Batam peralihan dari OB? Lalu bagaimana pertanggungjawaban akan akuntabilitasnya?
Sebagai masukan, dari telisik BatamNow.com pada Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas laporan keuangan BP Batam tahun lalu, ada temuan uang muka UWT dengan jumlah yang signifikan.
Warga Baloi Kolam Melawan Penggusuran
Kembali ke belakang, Baloi Kolam sejak 1980-an hanya dihuni puluhan hingga ratusan kepala keluarga, kini berkembang dihuni sekitar ribuan KK.
Sempat beberapa kali dilakukan upaya penggusuran, namun selalu gagal. Termasuk pada 2016 dan 2017. Warga Baloi Kolam melakukan perlawanan karena merasa memiliki hak atas lahan tersebut. Mereka telah menempati lahan itu jauh sebelum hutan lindung Baloi Kolam dialihfungsikan.
Kronologis singkat Baloi Kolam dari berbagai sumber, dimulai pengalokasian lahan oleh OB sejak tahun 2004.
Lahan seluas 119 hektare dialokasikan untuk 12 perusahaan. Tahun 2010 Kemenhut mencabut status hutan lindung Baloi atau dialihfungsikan.
Tahun 2016, ke-12 perusahaan mulai melakukan pematangan lahan.
Tahun 2017 keluar LO dari Kejagung, aktivitas lahan dihentikan. Sementara perusahaan sudah sempat membayar UWTO pengalokasian lahan itu dengan tarif Rp 51 ribu (sekarang sudah mencapai hingga Rp 163.200 ribu per meter persegi, dengan peruntukan komersial).
Masing-masing yang disebut-sebut telah sempat membayar, menurut sumber, yang belum terkonfirmasi, yakni PT Alfinky Multi Berkat Rp 15 miliar, PT Mega Indah Propertindo Rp 10 miliar, PT Baloi Newton Rp 7,7 miliar, PT Sat Nusapersada Rp 2,5 miliar, PT Tesagus Rp 515 juta, PT Citratama Buana SA Rp 1 miliar, PT Majesti Prima B Rp 2,3 miliar, PT Citra Lembayung Rp 1 miliar, PT Bursa Properti Rp 2 miliar, PT Crystal Utama M Rp. 1 miliar. (A/Red)