BatamNow.com – Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba (MMAMH) yang menjadi terdakwa tunggal di kasus dugaan pencemaran Laut Natuna, disebut bukan sebagai nakhoda MT Arman 114 saat kapal itu ditangkap pada 7 Juli 2023.
Hal tersebut diungkap Daniel Samosir penasihat hukum (PH) terdakwa dan juga Togu Simanjuntak Komisaris Utama (Komut) PT Jebat Mitra Perkasa (JMP) perusahaan yang pernah menjadi agen ditugaskan mengurusi MT Arman 114 di Batam.
Daniel mengatakan dalam persidangan, Rabiah Al Hensi adalah nakhoda MT Arman 114.
“Terdakwa Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba, menjadi nakhoda MT Arman 114 sejak 8 Juli 2023 atau setelah penangkapan yang dilakukan Bakamla. Sebelumnya, sejak kapal MT Arman 114 berlayar dari Singapura menuju Laut Natuna (Perairan Indonesia) yang menjadi nakhoda yaitu Rabiah Al Hensi,” kata Daniel pada persidangan dengan agena pembacaan pledoi, Kamis (06/06/2024).
Setelah pembacaan nota pembelaan PH terdakwa yang dibacakan Daniel, dilanjutkan Mahmoud membacakan nota pembelaannya sambil didampingi penerjemah.
“Kedutaan Mesir sudah menjelaskan identitas saya tapi KLHK tidak mengindahkan informasi dari kedutaan saya. Surat dari kedutaan sama sekali tidak diindahkan,” Jelas Mahmoud dalam persidangan itu.
“Surat dari keduataan Mesir juga diserahkan ke Kejaksaan Agung, yang menerangkan bahwa sertifikat saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi kapten. Saya menjadi kapten kapal MT Arman sejak 8 Juli 2023 (setelah penangkapan oleh Bakamla),” kata Mahmoud.
Senada, perusahaan agen yang pertama kali menangani MT Arman 114 di Batam, juga menyebut bahwa Mahmoud bukanlah nakhoda super tanker berbendera Iran itu.
“Pada 7 Juli penangkapan kapal, digantilah kapten kapal atas kesepakatan mereka (Kru), dibawalah si Mahmoud sebagai tersangka. Pada saat kejadian dia tidak mengetahui apa yang terjadi, sesudah kejadian (penangkapan) dia jadi kaptennya,” kata Togu Simanjuntak Komut PT JMP, dijumpai di daerah Tiban, Jumat (14/06).
Togu juga mengomentari terkait polemik saat penurunan dan penaikan kembali kru asing MT Arman 114, antara PT JMP dengan PT Victory International Service (VIS) yang ditunjuk sebagai perusahaan agen pengganti.
“Yang membuat kisruh ini adalah KLHK, karena dari awal perkara ini sudah cacat formil di dalam putusan MK Pasal 95 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengolalan lingkungan hidup,” jelas Togu.
Adapun Pasal 95 ayat (1) Undang-undang 32/2009 berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri”.
“Dapat itu artinya kan bisa dilibatkan, bisa tidak. Tapi di dalam putusan MK, dapat itu dihapuskan, jadi KLHK wajib melibatkan kepolisian mulai tahap sidik sampai lidik bahkan sampai penetapan tersangka, dan penyitaan barang bukti KLHK tidak pernah melibatkan pihak kepolisian,” ungkap Togu.
Menurut Togu bahwa pada saat KLHK menyidik perkara ini, hingga ke penyitaan barang bukti, dokumen KLHK tidak pernah ditandatangani oleh Menteri LHK namun hanya sampai di tingkat direktur KLHK.
“Dan tidak pernah ditandatangani oleh menterinya, yang berarti kan harus di bawah kordinasi menteri, dan yang menandatangani itu direktur, di bawah dirjen lagi. Dugaan saya ada penyalahgunaan Obstruction of Justice perbuatan melawan hukum,” ujar Togu.
Masih menurut Togu, perkara kapal ini selayaknya bukan masuk ke dalam perkara perlindungan lingkungan hidup tapi ke kemaritiman.
“Dan kapal itu bukan lingkungan hidup tapi lingkungan maritim yang diatur Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 yang termasuk lingkungan maritim itu adalah Harbour Master, tidak ada KLHK, siapa dia bisa naik dan turunkan kru,” jelas Togu.
Menurutnya, ketika kapal asing datang maka yang pertama naik itu pihak karantina (Syahbandar) dan harus sepengetahuan Forst Control.
“Oknum-oknum KLHK ini banyak yang buta huruf, makanya saya lawan. Dia kan tidak pernah melibatkan instansi lain, makanya saya bilang pada saat penaikan kru kapal itu, perintah siapa yang menaikkan ini, dia bilang dirjen, nggak ada urusan dirjen-mu di sini, ini bukan lingkungan hidup, ini lingkungan maritim kok, makanya dia nggak punya urusan pelayaran sama dia punya urusan,” ungkap Togu.
Lalu apa alasan sehingga bila kasus ini perkara kemaritiman seperti menurutnya, tapi ditarik ke perkara perlindungan lingkungan hidup?
“Itu ditanyakan kepada Bakamla, jangan dibawa polemik antara Bakamla dengan agen kapal. Bakamla itu sampai sekarang masih lurus, tidak ada satu pun yang keluar dari kapal, Bakamla masih jaga itu kapal,” jawab Togu.
“Sekarang yang bikin ini kacau, ya oknum di KLHK itu, tidak pernah ada kisruh kita, yang bikin kisruh itu ya oknum di KLHK tadi,” sambungnya.
Diberitakan, selain persidangan perkara nakhoda MT Arman 114, menjadi heboh juga terkait penurunan 21 kru asing dari kapal itu. Makin heboh lagi, saat 21 kru asing hendak dinaikkan kembali ke kapal, menggantikan kru lokal yang sudah sempat menggantikan.
Menurut Kepala Zona Bakamla Barat Laksamana Pertama (Laksma) Bambang Trijanto, polemik itu terjadi karena Krill Marine Pte Ltd perusahaan agen di Singapura yang telah diputus kontrak oleh perusahaan pemilik MT Arman 114.
Sementara Komisaris Utama (Komut) PT Victory Internasional Service (VIS) Irwan Singkuai menjelaskan bahwa pemutusan kontrak itu tidak segera diberitahu secara konkret kepada pihaknya yang menangani MT Arman 114 saat berperkara di Batam. Apalagi, katanya, masih ada hak PT VIS yang belum diselesaikan.
Informasinya, Rabiah Al Hensi kini berada di atas kapal MT Arman 114, diantara 21 kru yang dinaikkan kembali. (Aman)