BatamNow.com – Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto mengkritisi tuntutan jaksa penuntut umum(JPU) atas perkara super tanker MT Arman 114 yang tengah disidang di Pengadilan Negeri (PN) Batam.
Aktivis kemaritiman Indonesia itu menegaskan, tuntutan yang disampaikan JPU agar negara merampas barang-barang bukti adalah tidak tepat.
Hal itu disampakannya pada Kamis (13/06/2024) saat dimintai komentarnya dalam satu wawancara doorstop di PN Batam, usai Soleman hadir memantau sidang agenda replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas perkara kapal yang didakwa melakukan pencemaran di perairan laut Natuna itu.
Sebelumnya pada sidang Senin (27/05), JPU Marthyn Luther menuntut terdakwa Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba (MMAMH) dituntut pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 5 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Selain tuntutan pidana penjara kepada nakhoda kapal, terdapat 8 barang bukti yang juga dituntut dimusnahkan dan dirampas untuk negara dalam perkara ini, antara lain kapal MT Arman 114 beserta minyak mentah sebanyak 166.975,36 metrik ton di tangki kapal.
“Kok barang bukti dirampas untuk negara, suruh baca undang-undang itu tidak mengatur barang bukti dirampas untuk negara. Kalau barang bukti dirampas untuk negara, pengadilan sesat ini namanya. Kalau itu terjadi pasti ada perlawanan hukumnya,” kata Soleman di ruang sidang Kusumaha Atmadja, PN Batam, Kamis (13/06).
Soleman juga menjelaskan terkait Pasal 46 ayat (2) KUHAP, ditentukan bahwa apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, benda itu dirampas untuk negara untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi.
“Lalu bagaimana sekarang kalau dibilang barang bukti dirampas untuk negara, dasar hukumnya apa, tapi undang-undang itu hanya menyatakan, kalau dihukum kalau berubah A jadi B (baku mutu air) dan hukumannya apa. Bukan pengadilan, hukumannya bisa 10 tahun penjara maksimum baru berapa miliar itu hukumannya, tidak ada ditambah ini disita untuk negara itu darimana ceritanya,” jelas Soleman.
Kalau itu yang terjadi, ujarnya, semuanya kalau ada masalah disita untuk negara, bisa-bisa kapal di Indonesia ini akan musnah.
“Padahal baku mutu air laut saja berubah atau tidak itu belum terbukti, baku mutu yang ditangkap di ZEE itu berapa, ditentukan oleh siapa. Waktu saya jadi ahli, saya sudah sampaikan dengan situasi begini, kapal ini tidak pantas untuk ditahan, dan perkara ini tidak pantas untuk dilanjutkan,” jelas Soleman.
Ketika ditanya bahwa proses persidangan perkara MT Arman 114 sudah akan masuk pada putusan, Solemen mengatakan, “Ya tergantung hakim sekarang apa dia mau melihat fakta, atau tergantung penasihat hukum (PH) terdakwa, apakah yang diajukan itu sesuai”.
Soleman pun menceritakan singkat dimana pada saat kapal ditangkap, ia diminta menjadi saksi ahli yang meringankan oleh penyidik KLHK.
“Ahli yang meringankan waktu awal-awal kapal ditangkap, saya sampaikan juga buk Nining (PPNS KLHK) walaupun satu kapal limbah dibuang kalau tidak berubah mutu baku air itu tidak akan ada pidananya, jangan selalu dibilang ini pencemaran, bukan masalah pencemaran, tapi perubahan baku mutu,” jelas Soleman.
Disinggung mengenai pemilik kapal yang sebenarnya, dan kenapa di akhir-akhir persidangan dimunculkan penasihat hukum nama owner-nya?
Soleman pun menjawabnya, ”Kenapa kedutaan Iran datang, ini membuktikan bahwa kapal itu adalah milik negara Iran, jadi kalau ada yang bilang kapal ini tidak ada pemilik, kenapa mereka baru datang sekarang, karena sebelumnya pemerintah Indonesia tidak memberitahu Pasal 75 ayat (4) UNCLOS, nah kalau SOP-nya sudah salah lalu dipaksakan itu akan pasti jadi masalah,” ungkap Soleman.
Dia pun memberikan contoh perkara yang sama dengan kapal MT Arman 114, di tahun 1998 MV Norstar yang merupakan kapal tanker minyak berbendara Panama.
Ia uraikan, MV Norstar ditahan oleh Italia di ZEE Spanyol atas tuduhan melakukan kegiatan bunkering (pengisian bahan bakar di laut) yang melanggar undang-undang bea cukai Italia.
Negara Panama, katanya, sebagai negara bendera MV Norstar, mengajukan kasus ini ke ITLOS pada tahun 2015, mengklaim bahwa Italia telah melanggar hak kebebasan berlayar yang diatur dalam UNCLOS.
Pada tahun 2018, lanjutnya, ITLOS memutuskan bahwa Italia telah melanggar hak kebebasan berlayar Panama di ZEE dan memerintahkan pembebasan kapal serta pembayaran ganti rugi.
“Ini nanti kalau dia bawa seperti contoh tadi saya nanti akan bikin tulisan bisa berakhir di pengadilan internasional kasus ini, kenapa bisa karena kasusnya itu pernah terjadi dengan negara lain, kasusnya sama,” kata Soleman.
“Jangan main-main kalau sudah masuk pengadilan internasional nanti dia bisa balas dendam. Kalau nanti dia balas dendam, kapal Indonesia lewat di Hourmus sana ditahan sama dia, dia sudah kasih contoh kapal Israel saja ditahan sama dia, kapal Amerika juga ditahan kalau macam-macam, jangan berpikir kita mau mencari keuntungan orang lain yang korban,” katanya di akhir wawancara itu. (Aman)