BatamNow.com – Di zaman orde baru, pers tak jarang diintervensi secara represif oleh pemerintahan orde baru.
Paling tidak intervensi lewat beleid Menteri Penerangan (Menpen), saat itu.
Kehidupan dan kebebasan pers terkekang selama 32 tahun pemerintahan yang otoriter itu.
Tak sedikit wartawan dipenjara. Sejumlah media nasional dibredel. Padahal media itu hanya mengkritik konstruktif rezim atas kebijakan-kebijakannya yang dinilai masyarakat telah melenceng dari konstitusi.
Saat itu, berbagai intervensi masuk ke meja redaksi beberapa media. Selain intervensi dari Menpen, dari simpul-simpul kekuatan istana datang juga.
Namun, separah-parahnya era orde baru, penghalang-halangan paksa di lapangan dari penguasa, jarang terjadi. Apalagi pada acara-acara yang sifatnya terbuka di depan umum. Pers tak pernah dilecehkan oleh para pejabat saat itu.
Gerakan perjuangan reformasi pun berpuncak pada tahun 1998. Rezim otoriter yang anti kebebasan pers itu, tumbang juga.
Salah satu buah perjuangan dari reformasi itu, yakni kebebasan pers itu sendiri.
Setahun pasca reformasi, lahirlah Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. UU yang menjamin kebebasan pers yang bertangung jawab. UU yang melindungi secara hukum aktivitas wartawan atau jurnalis di lapangan dari kemungkinan tekanan-tekanan kekuasaan dari pihak manapun.
Tujuan UU itu juga agar pers yang tugas dan fungsinya sebagai media kontrol adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pers tak bisa lagi diintervensi oleh kekuasaan, baik ditingkat pusat maupun di daerah.
Meski demikian bukan berarti tugas-tugas wartawan terbebas dari intervensi dan “tekanan-tekanan” di lapangan.
Kejadian di Kota Batam misalnya.
Wali Kota Batam Muhammad Rudi diduga melakukan panghalang-halangan terhadap kebebasan pers.
Wartawan yang bertugas di lapangan pun diduga keras ditekan dan dilucuti kebebasannya.
HP alat kerja wartawan, sebagai alat rekam dan pendokumentasian pada saat peliputan “dirampas”.
Hasil rekaman di HP berupa video berisi kata sambutan Rudi sebelum acara pemusnahan diduga dihapus paksa oleh dua ajudan atas perintah wali kota yang mantan polisi itu.
Belum lagi tindakan yang patut diduga telah mempermalukan dan melecehkan pers atau wartawan yang bertugas di hadapan umum.
“Jangan Direkam. Tak Usah Direkam. Matikan, matikan, matikan. Ambil HP-nya. Hapus”
Itulah yang dialami oleh jurnalis Beres Lumbantobing dari media Tribun Batam.
Ketika meliput acara pemusnahan blanko KTP Elektronik (KTP-el) di halaman Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disduk) Kota Batam, Jumat (29/01/2021).
Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Batam, Slamet Widodo pun sampai mengecam keras tindakan Rudi, yang menghalang-halangi kegiatan jurnalis.
Pria yang akrab disapa Dodo ini mengatakan, Rudi seharusnya menjadi contoh bagi kebebasan pers.
Lalu kronologis dan fakta-fakta lapangan atas dugaan penghalang-halangan tugas wartawan itupun dijelaskan Dodo ke media sesuai kesaksian jurnalis Beres Lumbantobing sebagai berikut;
Kejadian itu, katanya, di halaman kantor Disdukcapil Kota Batam di Sekupang, Jumat (29/01) sekitar pukul 14.00.
Saat itu, Rudi sedang memberikan sambutan pada agenda pemusnahan 48.088 keping KTP elektronik yang tak dipergunakan.
Acara itu di ruang terbuka. Saat itu Beres sedang menjalankan tugas jurnalistik, yakni merekam dan melakukan live streaming melalui halaman Facebook media.
Setelahnya, Rudi yang sedang berbicara menyela. Dan menghardiknya, dengan nada tinggi.
“Itu merekam ya? Matikan, matikan, matikan.”
Begitu kata-kata Rudi bernada keras sebagaimana ditirukan Beres.
Tolong, tak usah direkam dek, tak usah direkam, tolong ambil handphonenya, ambil handphonenya, dihapus,” begitu perintahnya kepada dua ajudannya yang sedang berada posisi standby di sekitaran acara berlangsung.
Lalu, dua staf Rudi dan seorang pria yang mengenakan pakaian lengkap mirip TNI menggiring paksa Beres ke pojok sembari mengambil paksa HP.
Setelah dicek HP dan dipastikan bukti rekaman terhapus, lalu HP dikembalikan ke Beres.
Beres pun benar-benar syok dengan kejadian itu.
Beres, hadir di acara itu karena diundang oleh Sekretaris Disdukcapil Kota Batam Dewi Rupianti dengan agenda pemusnahan 48.088 keping KTP-elektronik.
Undangan resmi ke Beres ada. Tapi, Beres diperlakukan bak musuh saat acara berlangsung. Dia dan tugas jurnalistiknya terasa dipermalukan di hadapan para undangan yang hadir.
Padahal Beres dalam tugas itu sesuai kaidah UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Dari fakta itulah, Dodo pun mengecam tindakan Rudi.
Beberapa komunitas pers pun sama mengecam dugaan tindakan penghalang-halangan tugas wartawan itu.
Hari Pers Nasional 9 Februari 2021, tercederai.
Satu hal yang sulit dipercaya pada aksi penghalang-halangan tugas wartawan itu, tersebutlah seorang pria berpakaian mirip TNI bersama dua ajudan Rudi ikut melakukan “pemaksaan” menghapus isi dokumen liputan itu.
Komandan Detasemen Polisi Militer (Dandenpom) TNI Kota Batam, Mayor CPM Arif Subagio pun berjanji akan menindaklanjuti informasi dugaan keterlibatan oknum TNI yang menghalangi tugas wartawan di acara pemusnahan KTP-el, di Sekupang, Batam itu.
Beberapa wartawan yang dikonfirmasi media ini menjelaskan sikap Rudi yang alergi dengan wartawan yang merekam acara tak sekali ini saja. Disebut, sudah sering terjadi.
Alasan Rudi, banyak wartawan memelintir ucapannya dengan menyajikan berita sepotong-sepotong. Padahal kalau ada wartawan yang memelintir, dapat digugat sesuai dengan Undang-undang Pers.
Sementara Rudi ketika dihubungi media ini hanya mempersilakan konfirmasi dan klarifikasi ke Kadisdukcapil. “Silakan hubungi disdukcapil,” tulisnya di WhatsApp menjawab wartawan media ini.
Penjelasan UU Pers
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 4 ayat (2): Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan.
BAB VIII KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).(JS/H)