BatamNow.com – Dua likuidator yaitu Abdul Kadir dan Sahaya Simbolon didakwa memberikan keterangan palsu saat melikuidasi PT Sintai Industri Shipyard, tahun 2014. Sementara seorang lagi yakni Edison P Saragih masih berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO).
Jaksa penuntut umum (JPU) Mega Truli Astuti dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam membacakan dakwaannya pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Rabu (21/04/2021).
JPU mendakwa ketiga likuidator itu dengan Pasal 266 ayat (1) KUHPidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan pasal 263 ayat (1) KUHPidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Didakwa memberikan keterangan palsu, membuat satu jaminan terhadap objek jual beli yang tidak tersangkut dalam suatu sengketa dan seterusnya.
Kronologi
Kasus ini berawal dari permohonan beberapa orang pemegang saham PT Sintai Industri Shipyard (PT SIS) agar perusahaan itu dibubarkan.
Permohonan itu didaftar di PN Batam No 3042 K/PDT/2013.
Permohonan pembubaran tersebut pun dikabulkan oleh PN Batam.
Selanjutnya PN Batam menunjuk Abdul Kadir, Sahaya Simbolon dan Edison P Saragih sebagai likuidator PT SIS.
Penunjukan mereka bertiga sah melalui penetapan PN Batam nomor: 529/PDT.P/2013/PN.BTM yang dibuat pada tanggal 1 Agustus 2013.
Lalu pada 16 Agustus 2013, likuidator membuat pengumuman di harian Batam Pos perihal pembubaran dan likuidasi PT SIS.
Disebut juga dalam pengumuman itu bahwa pembubaran dan likuidasi itu sudah didaftarkan dalam lembar berita Negara Republik Indonesia yang diterbitkan oleh Percetakan Negara pada 10 September 2013.
Rupanya pasca pengumuman di media itu, likuidator belum otomatis mengeksekusi pembubaran dan likuidasi.
Proses hukum atas sengketa PT SIS ternyata masih tersandung atau berlanjut di Mahkamah Agung (MA).
PT SIS Dibubarkan
Putusan MA dengan nomor: 3042 K/PDT/2013 tertanggal 29 April 2014 justru menguatkan putusan PN Batam, untuk tetap membubarkan PT SIS.
Bertolak dari putusan MA tersebut, maka Abdul Kadir, Sahaya Simbolon dan Edison P Saragih mulai melaksanakan likuidasi PT SIS.
Sementara pada bulan Agustus 2013, likuidator Abdul Kadir, Sahaya Simbolon dan Edison Saragih menerima surat dari PT Bank Mandiri (Persero) nomor: RRC.MDN1861/2013 tanggal 28 Agustus 2013.
Isi surat perihal pengajuan klaim atau tagihan kredit PT SIS yang mana jaminan atas kredit tersebut adalah tanah dan bangunan dengan bukti Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor: 5336/2010 yang berlokasi di Komplek Injin Batu, Kelurahan Tanjung Uncang, Kecamatan Batu Aji, Kota Batam dengan total utang sebesar Rp 1,3 Miliar.
Dengan kata lain bahwa jaminan ke bank itu adalah lahan dan bangunan PT SIS sendiri.
Setelah menerima surat dari Bank Mandiri tersebut, Edison (likuidator) menemui Kui Lim. Tujuan Edison adalah meminjam uang Rp 1,1 Miliar untuk menebus SHGB nomor: 5336/2010 atas nama PT SIS dari Bank Mandiri.
Dan pada saat itu, Edison juga menawarkan aset tersebut untuk dibeli oleh saksi Kui Lim selaku Komisaris PT Cahaya Maritim Indonesia.
Kemudian dalam dakwaan Mega bahwa pada tahun 2014 para terdakwa dengan saksi Kui Lim melakukan proses jual beli atas SHGB nomor: 5336/2010 atas nama PT SIS di kantor PPAT Arianto Lie.
“Saat itu Arianto selaku PPAT meminta kedua belah pihak untuk menunggu hasil Peninjauan Kembali (PK). Proses jual beli itu tertunda,” ujar Mega.
Mega melanjutkan, pada bulan April 2015 para terdakwa dengan saksi Kui Lim kembali mendatangi kantor PPAT atas nama Arianto untuk kembali melegalkan jual beli atas SHGB yang tertunda sebelumnya.
Kata Mega, “Saat itu para terdakwa mengaku sebagai likuidator yang ditunjuk untuk melakukan eksekusi terhadap aset bekas PT Sintai Industri Shipyard. Para terdakwa menunjukkan surat penetapan sebagai likuidator.”
Pada tanggal 02 April 2015, terjadilah penandatanganan Minuta Akta Jual Beli No : 11/2015 tanggal 02 April 2015 yang dibuat oleh Notaris & PPAT Ariyanto selaku Notaris di Kota Batam.
Sebagai pelaksanaan serah terima dokumen berupa IPH, Faktur dan SHGB saksi Kui Lim melakukan pembayaran di Bank Mandiri pada tanggal 2 April 2015, senilai Rp 8 Miliar.
Gugatan Pembatalan Pembubaran PT SIS
Pasca putusan MA nomor: 3042 K/PDT/2013 tanggal 29 April 2014, salah seorang pemegang saham PT SIS mengajukan gugatan ke PN Batam untuk memohon pembatalan pembubaran PT SIS. Itu terjadi pada tanggal 12 Juni 2014.
Pada tanggal 16 Juni 2015, permohonan tersebut pun dikabulkan PN Batam dengan nomor: 113/PdtG/2014/ PN.BTM yang menyatakan PT SIS tidak jadi dibubarkan.
Pembatalan pembubaran PT SIS ini juga dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Pekanbaru dengan putusan nomor: 07/PDT/2016/PT PBR yang dikeluarkan pada 02 Oktober 2016.
Juga pada tingkat kasasi di MA melalui putusan MA nomor: 1043 K/Pdt/2017, tanggal 2 Oktober 2017 menguatkan putusan PN Batam untuk pembatalan pembubaran PT SIS. Pastinya, dengan putusan MA itu, maka PT SIS tidak dapat dibubarkan.
Menurut analisa Mega, diketahui SHGB nomor: 5336/2010 atas nama PT Sintai Indutri Shipyard masih tersangkut dalam suatu sengketa atau dalam proses perkara di PN Batam.
“Para terdakwa memberikan keterangan palsu dengan bunyi, para terdakwa menjamin bahwa objek jual beli tersebut tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk sesuatu utang yang tidak tercatat dalam sertifikat dan bebas dari beban-beban lainnya yang berupa apapun,” ucap Mega.
Perbuatan para terdakwa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu.
Tujuan keterangan palsu itu, sebut Mega, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran.
Akibatnya, menimbulkan kerugian PT Sintai Industri Shipyard kurang lebih sebesar Rp 8 Miliar.(JP)