BatamNow.com, Jakarta – Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam Dan Penetapannya Sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), itu terkait perluasan wilayah industri Kota Batam sampai ke Rempang dan Galang. Ternyata tujuannya untuk memindahkan kegiatan hiburan malam dari Batam ke Rempang dan Galang.
Hal tersebut dibongkar habis-habisan oleh Petrus Selestinus, advokat senior kepada BatamNow.com, di Jakarta, Senin (16/10/2023) malam.
“Di dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG), beberapa kegiatan industri yang akan dipindahkan ke Pulau Rempang, rata-rata berupa tempat hiburan seperti, night club, sauna, panti pijat, karaoke, mesin ketangkasan, dan lain-lain,” lanjutnya.
Petrus mengaku bingung, kok tempat-tempat yang terindikasi mengandung maksiat diprioritaskan (untuk dipindah), sementara masyarakat Pulau Rempang yang begitu religius dan berbudaya, justru mau disingkirkan begitu saja hanya untuk memenuhi kebutuhan hiburan malam semacam itu. “Ini suatu kekeliruan yang dibuat oleh BP Batam,” tegasnya.
Tapi bukankah pemerintah menyampaikan bahwa di Rempang akan dibangun pabrik pembuatan kaca dan pengolahan pasir kuarsa, bukan bisnis hiburan? “Artinya, pemerintah pusat dan daerah tidak terbuka dan tidak transparan. Karena item-item tersebut ada dalam MoU antara BP Batam dengan PT MEG. Tak heran, warga Rempang juga merasa dikadalin oleh pemerintah. Karena itulah mereka bersikeras menolak,” katanya.
Dia menambahkan, kalau memang mau memperluas wilayah industri ke Pulau Rempang, mengapa BP Batam atau dulunya Badan Otorita Batam, sejak tahun 1992, masyarakat di sana tidak diberdayakan. Sumber daya manusia di sana tidak dipersiapkan dengan cara disekolahkan, supaya ketika industri masuk, warga di sana sudah siap dan memiliki keterampilan. “Saya menilai gembar-gembor mau dibangun industri macam-macam dan mengutamakan masyarakat lokal di sana untuk jadi tenaga kerja, tapi keterampilannya tidak disiapkan, minimal sejak MoU antara Badan Otorita Batam (BP Batam) dengan PT MEG tahun 2004 silam,” cetusnya.
Dengan keras Petrus mengatakan, dirinya menganggap semua itu hanya bagian dari tipu muslihat saja.
Hilangkan Kampung Tua
Lainnya lagi, sambungnya, ada upaya sistematis yang dilakukan Wali Kota Batam dan Kepala BP Batam ex-officio untuk secara perlahan-lahan menghilangkan kampung-kampung tua yang ada di Rempang-Galang.
“Dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam tahun 2004, kampung-kampung tua tersebut masih disebutkan satu per satu dan dimasukkan sebagai cagar budaya yang harus dilindungi. Karenanya, di tahun 2004 itu juga, Wali Kota Batam mengeluarkan peraturan bahwa kampung-kampung tua di Pulau Rempang dan Batam tidak boleh masuk dalam Hutan Tanam Lindung (HTL). Saat itu, pikiran mereka masih lurus,” cetus Petrus.
Lanjutnya, namun pada perubahan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam tahun 2021-2041, kampung-kampung tua sudah hilang, tidak disebutkan lagi. “Ada upaya untuk menghilangkan itu demi kepentingan industri. Itu yang akan kami gugat,” tandas Petrus.
Dirinya mengaku aneh dengan perlakuan berbeda Pemerintah Pusat terhadap Rempang, Batam. Padahal, saat kampanye tahun 2019, untuk masuk periode keduanya, di Batam, Presiden Jokowi memberi janji-janji manis. “Saya akan sertifikatkan kampung-kampung tua… Dalam tiga bulan setelah terpilih akan saya berikan,” kata Jokowi ketika berorasi.
Tapi faktanya, bukan saja tidak ada sertifikat tanah bagi kampung-kampung tua di Rempang, malah warga di sana mau diusir. Juga dalam rapat kabinet, Presiden Jokowi tekankan, “Kalau investasi mau masuk ke suatu wilayah yang ada kampung masyarakat, maka hak-hak warganya harus dijamin. Kalau diabaikan, izin investasi akan dicabut. Tapi di kasus Rempang, masyarakat adat mau digusur begitu saja dan Presiden Jokowi seperti pura-pura tidak tahu. Ada apa ini?”
Menurutnya, bisa jadi Jokowi sudah terkooptasi oleh oligarki dan kaum kapitalis. Sebab, investasi di Rempang itu kan berbiaya besar, mencapai ratusan triliun. “Proyek Strategis Nasional (PSN) tidak akan berjalan kalau warga setempat menolak karena hak-haknya tidak diselesaikan sesuai aturan yang ada. Dalam hal ini masyarakat Rempang tidak menolak investasi, tapi jangan juga dibikin seenaknya begitu, mau diusir dari tanah leluhurnya. Itu kan sudah tidak benar lagi. Mereka senang di daerahnya mau masuk investasi, tapi hak-hak warga harus diberikan sesuai peraturan yang ada,” tukasnya.
Ketika dikonfirmasi terkait kebenaran isi MoU antara BP Batam dengan PT MEG, Kepala Biro Humas, Promosi, dan Protokol BP Batam Ariastuty Sirait, tidak menjawab beberapa pertanyaan dari BatamNow.com, hingga batas waktu yang ditentukan. (RN)