BatamNow.com – Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto yang juga merupakan aktivis kemaritiman Indonesia, menyoroti persidangan perkara dugaan pencemaran lingkungan dengan terdakwa Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba kapten kapal MT Arman 114.
Soleman B Ponto pun memantau langsung persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Batam pada Kamis (13/06/2024) dengan agenda replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Usai persidangan itu, mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) tersebut diwawancarai doorstop oleh wartawan di ruang sidang Kusumaha Atmadja.
Ia pun memberikan pandangan kritis terhadap persidangan terdakwa Mahmoud, atas tuntutan jaksa yang menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 7 tahun dan denda Rp 5 miliar subsider 6 bulan kurungan. Dan juga tuntutan meminta barang bukti kapal MT Arman 114 dan 166 ribu metrik ton minyak mentah muatannya dirampas untuk negara.
Sebagaimana tuntutan JPU yang dibacakan pada persidangan, Senin (27/05), terdakwa Mahmoud dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pencemaran lingkungan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 06 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Nah, pasal tuntutan JPU itulah yang dikritisi Soleman.
“Pasal 98 itu pasal bersyarat, dia bisa diterapkan, apabila persyaratan terpenuhi syaratnya di situ dinyatakan kalau baku mutu air laut itu berubah, baru dia dihukum seperti tuntutan jaksa itu. Tapi kalau satu kapal (limbah) pun ditaruh di laut itu, kalau baku mutu tidak berubah, dia tidak salah,” kata Soleman.
Menurutnya, ketika limbah itu keluar dari kapal dan mengalir ke laut, sampai sekarang belum bisa dibuktikan bahwa baku mutu air laut itu berubah.
“Waktu saya jadi saksi ahli, baku mutu dari berapa sampai berapa saja jaksa tidak tahu. Baku mutu yang diatur di Indonesia itu ada tiga, di pelabuhan, di tempat rekreasi, sama tempat biota laut,” jelas Soleman.
Ia lanjutkan, tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) Kapal MT Arman 114 di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan bukan di wilayah Indonesia.
“ZEE itu menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 itu berada di luar wilayah, kalau di luar wilayah maka baku mutunya tidak ditetapkan, berapa baku mutunya. Kalau baku mutu tidak ditetapkan, bagaimana dia bilang baku mutu ini berubah, menteri kita pun tidak bisa menentukan baku mutu air laut kalau berada di zona ZEE,” ujar Soleman.
“Sekarang kalau dia dihukum, baku mutu ini dari berapa menjadi berapa. Untuk menghitung baku mutu itu berubah, tentunya harus ngambil sampel. Peraturan menteri mengambil sampel itu harus bersertifikat dan termasuk ahli di bidangnya, untuk penegakan hukum,” jelas Soleman.
Namun dari penuturan Soleman bahwa pada saat penangkapan yang dilakukan oleh patroli Zona Bakamla Barat dan penyidik dari KLHK, yang mengambil sampel diduga mencemari wilayah laut Indonesia adalah anak buah kapal MT Arman 114.
“Yang ngambil sampel pada saat penangkapan yang saya baca di BAP itu kan anak buah kapal MT Arman 114, apa sah ini? Dari situ saya berpendapat, dia itu tak mungkin dihukum, kalau kita jeli,” katanya.
Ia pun menyinggung setelah kapal MT Arman 114 diamankan, baik pihak Bakamla maupun KLHK disebutnya tidak mengkonfirmasi kepada pemilik kapal ataupun kepada negara pemilik kapal.
“Mengapa saat itu, ini kapal MT Arman 114 di ZEE, ini kan kapal asing jadi ada kewajiban ketika ditangkap kita harus melaporkan kepada pemilik kapal ini, minimal kepada negara pemilik, dan itu tidak dilakukan. Kalau ini tidak dilakukan, artinya suatu saat, kapal kita di luar bisa juga ditangkap seperti dia (MT Arman 114),” kata Soleman.
Berdaarkan persidangan Kamis itu, nasib terdakwa Mahmoud, kapal MT Arman 114 dan 166 ribu metrik ton minyak mentah muatannya akan ditentukan dalam sidang putusan yang dijadwalkan pada Kamis, 27 Juni 2024. (Aman)