BatamNow.com – Pengusaha hingga pekerja sektor peternakan dan pertanian di Pulau Rempang juga terdampak pengembangan Eco-City.
Mereka terancam tergusur yang diyakini akan menimbulkan efek domino terhadap ketahanan pangan di masyarakat.
Hal itu disampaikan Aliansi Ketahanan Pangan yang merupakan gabungan komunitas ataupun perhimpunan peternak dan petani Pulau Rempang, Galang, Batam.
Ketua Perempuan Tani Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Batam Dewi Koriati mengatakan usaha perikanan, peternakan, pekerja tani dan sejenisnya yang berada di Rempang, selama ini punya kontribusi besar dalam memenuhi kebutuhan pangan Kota Batam.
Untuk peternakan ayam saja, katanya, Rempang bisa menyuplai hingga 80 persen kebutuhan telur dan daging ayam buat Kota Batam, tegantung musim panen mereka.
“Kalau kebutuhan Batam hampir 50-80 persen, tergantung musim,” jelasnya, Sabtu (08/10/2023).
Namun, para pengusaha dan pekerja sektor peternakan dan pertanian di Rempang kini lesu, takut digusur dan dihentikan kegiatan usahanya.
Musababnya, mereka sudah diberikan Surat Peringatan (SP 3) untuk menghentikan kegiatan dan mengosongkan lahan. Tiga SP yang dilayangkan BP Batam pun dengan durasi interval yang cepat dan disebutnya tak pernah ada sosialisasi sebelumnya.
“Jadi dari SP 1 ke SP 2 itu satu minggu, SP 2 ke SP 3 itu empat hari,” katanya.
Data mereka untuk sektor peternakan, di Rempang ada 25 perusahaan besar memiliki kandang dengan total 3 juta ekor ayam pedaging maupun petelur. Ini dioperasikan oleh 400-500 karyawan yang adalah masyarakat lokal.
Bila mereka berhenteri beroperasi, maka Batam tidak akan lagi mendapat pasokan telur dan daging dari 3 juta ayam yang diternak di Rempang.
“Apabila itu semua dikosongkan, itu dampaknya akan ke masyarakat,” jelasnya.
Bila peternakan ayam di Rempang tak ada lagi, akan berefek juga kepada sektor pertanian yang membutuhkan telek dari kandang ayam untuk menggemburkan tanahnya.
“Karena Batam ini kan tanahnya kurang bagus, untuk menghidupkan bakteri itu semua pakai telek dulu yang difermentasi. Kalau nggak, susah,” terangnya.
Sementara untuk sektor perikanan, ada usaha tambak udang dan ikan air tawar di Pulau Rempang. Sama juga terancam tergusur dan berhenti operasionalnya.
“Tambak udang itu yang besar ada sekitar 20 perusahaan, mereka itu sudah ekspor semua dan mereka menghasilkan devisa,” tuturnya.
Begitu juga sektor perkebunan yang memasok kebutuhan sayur-mayur untuk Batam.
“Rempang itu adalah lumbung pangannya masyarakat Kota Batam. Itu akibatnya apa? bisa stunting anak-anak kurang gizi, karena nggak ada kangkung, bayam. Kita mau impor bayam?” ucapnya.
Lebih jauh, katanya, bakal terjadi kenaikan harga kenaikan harga komoditas bila stok pangan di Batam berkurang karena hilangnya suplai dari Rempang.
“Sedangkan kita dibantu sama Rempang saja, kita masih kekurangan. Gimana nanti kalau dari Rempang nggak ada? Ujungnya semua akan ke masyarakat, akan mempengaruhi harga pangan di Batam,” jelasnya.
Para pengusaha dan pekerja peternakan dan pertanian di Rempang ini menyayangkan pemerintah maupun BP Batam yang terkesan tutup mata terhadap nasib mereka yang terdampak proyek Eco-City.
Pemerintah Diminta Mengakomodir Peternak dan Petani Rempang
Sementara dalam kesempatan berbeda, Ketua HKTI Batam Gunawan Satari menegaskan bahwa mereka tidak menolak investasi dan pengembangan Rempang Eco-City. Namun ia meminta agar pemerintah memperhatikan juga nasib pelaku usaha dan pekerja peternakan, pertanian, dan perikanan di sana.
“Bahkan sudah ada yang sudah 20 tahun pengelola usaha di sana. Jadi tolong diakomodir kepentingannya dicari jalan keluar yang terbaik untuk melanjutkan usahanya,” katanya, Minggu (08/10).
Gunawan menyampaikan, mereka tak menolak kalaupun harus direlokasi. Tapi keberlangsungan usaha mereka harus dijamin.
“Kalau direlokasi, gesernya ke mana. Kita buka mau menuntut ganti rugi atau apa, yang terpenting itu keberlangsungan usaha,” ucapnya.
Data yang dimiliki, HKTI setidaknya ada sekitar 1.200 hektare lahan di Rempang yang dikelola menjadi lokasi peternakan, pertanian dan perikanan. Mereka berharap tanah seluas sekitar 10 persen dari lahan Rempang itu dialokasikan untuk mereka kelola demi menjaga ketahanan pangan Batam.
“Kalau untuk peternak ayam itu sekitar 200-an hektare, kalau udang juga 200-an hektare, kalau petani agak lebar 700-800 hektare. Itu baru yang di bawah HKTI saja,” terangnya.
Data HKTI, setidaknya ada sekitar 60 ribu butir telur yang dipasok setiap hari dari Pulau Rempang
“Ini saja masih belum cukup untuk kebutuhan Batam, itu pun juga mau dimusnahin,” kata Wakil Ketua HKTI Kota Batam Rika Sentosa.
Kekurangan pasokan telur, katanya, tentu akan berdampak ke masyarakat konsumen di Batam. Belum lagi ratusan pekerja di peternakan yang akan kehilangan pekerjaan bila kandang digusur.
“Yang terdaftar sekitar 580-an tenaga kerja hanya yang terlibat di kandang ayam di Pulau Rempang,” sebutnya.
Gunawan menambahkan, pihaknya telah menyampaikan problema mereka itu kepada Wali Kota Batam ex-officio Kepala BP Batam Muhammad Rudi namun tak mendapatkan respons yang diharapkan.
“Kami sudah menghadap ke Wali Kota, sudah kami sampaikan dampaknya, dan daging ini yang sangat vital karena konsumsinya tinggi, selain telur. Dan sekarang mulai merangkak harga ayam naik, padahal sekarang peternak masih ada produksi, belum terasa sekali. Nanti akan benar-benar terasa kalau disetop,” jelasnya.
Sementara PAC HKTI Batam Martahan Siahaan berharap agar mereka jangan digusur dulu bila memang lahannya belum masuk dalam pengembangan awal Rempang Eco-City.
“Kalau memang belum pemerintah pakai, izinkan dulu kami melanjutkan usaha kami biar kami siap untuk pindah. Karena kami sudah merintis, contohnya ayam mungkin kalau masih 1 tahun langsung disuruh geser kan ini modal belum kembali,” pintanya. (LL)