BatamNow.com, Jakarta – Kegiatan penambangan di kawasan pesisir menjadi ancaman tersendiri bagi kehidupan nelayan, disamping terjadi penghancuran ekologis dan ‘perampasan’ ruang pesisir.
Dari data Izin Usaha Pertambangan (IUP) per November 2021, tercatat 2.919.870,93 hektare (1.405 IUP) wilayah pesisir, dan 687.909,01 hektare (324 IUP) wilayah laut. Dari jumlah tersebut, menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), 81.814,97 hektare adalah tambang pasir dan batu. Lalu, tembaga seluas 80.489, 39 ha, sekitar 37.599,88 ha untuk mangan, disusul gamping dan tanah liat 35.121,66 ha, dan 5.999,80 ha tambang granit dan marmer. Sementara tambang lain-lain tercatat 169.262,54 ha.
Walhi juga mencatat, sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang. “Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, mendorong penurunan jumlah nelayan yang sangat signifikan,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi Parid Ridwanuddin kepada BatamNow.com, Sabtu (07/05/2022).
Dikatakan, sepanjang 2010–2019, telah terjadi penurunan jumlah nelayan. “Pada tahun 2010 tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun, pada tahun 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang. Artinya, dalam satu dekade terakhir, 330.000 orang nelayan di Indonesia telah hilang. Hal ini diakibatkan oleh industri ekstraktif, seperti tambang pasir di laut yang merusak wilayah tangkap nelayan,” bebernya.
Dengan lugas, Parid menguraikan, aktivitas tambang pasir telah membuat air laut menjadi keruh. “Data yang kami terima, banyak nelayan di Indonesia telah menjual perahu milik mereka untuk menyambung hidup,” ujarnya.
Selain itu, ketinggian dan arus ombak berubah drastis. “Semenjak adanya aktivitas tambang pasir laut, ombak semakin meninggi. Sebelum adanya aktivitas tambang pasir laut, ketinggian ombak hanya mencapai sekitaran satu meter, tetapi saat ini sudah mencapai tiga meter,” imbuhnya.
Selain ombak yang tinggi, nelayan juga kesulitan menghadapi arus ombak yang datang tanpa jeda, sehingga menyulitkan mereka untuk mencari ikan di perairan tersebut. “Perubahan arus ombak di sekitaran perairan yang telah ditambang telah menimbulkan kecelakaan sesama nelayan dan juga menenggelamkan perahu milik nelayan yang sedang melaut,” terangnya.
Aktivitas kapal tambang pasir laut juga merusak terumbu karang di wilayah tangkap mereka. “Timbulnya ketakutan akan dampak abrasi akibat tambang pasir laut, sebab nelayan telah melihat dan menyaksikan dengan sendiri bagaimana perubahan lingkungan di sekitaran pulau mereka. Beberapa nelayan telah meninggalkan kampung halaman beserta istri dan anak untuk menyambung hidup,” jelasnya.
Penambangan pasir laut di pesisir, sambung Parid, menambah dampak buruk pada krisis iklim. Dalam hal ini nelayan yang jadi korban. Dicontohkan, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. “Setiap tahun, (rata-rata) 100 nelayan hilang/meninggal di laut. Tahun 2010, 86 nelayan meninggal, sementara tahun 2020 sebanyak 251 orang meninggal di laut,” ungkapnya.
Walhi mendesak penghentian pertambangan pasir di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk yang terjadi di Kepulauan Riau. “Penghentian penambangan harus dilakukan secara permanen karena akan memperparah kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil, terutama dari dampak buruk krisis iklim pada masa yang akan datang,” tegasnya.
Demi generasi yang akan datang, ujarnya, tambang pasir di perairan pesisir dan pulau-pulau kecil wajib dihentikan secara permanen. Jika tidak, akan semakin banyak pulau-pulau terancam tenggelam. (RN)