BatamNow.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru menyayangkan pembentukan Tim Terpadu Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Rempang Eco-City.
Pembentukan Tim Terpadu itu dilakukan ditengah kuatnya penolakan oleh warga Rempang, Galang, terhadap rencana relokasi/penggeseran mereka dari kampung leluhurnya.
Sontak, tindakan BP Batam itu dinilai hanya memperkeruh suasana dan situasi di Pulau Rempang-Galang yang belakangan ini sudah dalam keadaan tenang dan kondusif.
“Dari awal proyek ini ambisius BP Batam yang dijalankan secara ugal-ugalan dan terkesan memaksakan ditambah Pembentukan Tim Terpadu dan Satuan Tugas membuktikan bahwa BP Batam tidak memiliki solusi penyelesaian yang baik dan terkesan bebal atas apa yang disuarakan oleh masyarakat selama ini, sebagai representasi negara, BP Batam sudah seharusnya melindungi, menjamin dan memenuhi hak-hak masyarakat, bukan malah mengambil tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia,” kata Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya, dalam siaran persnya, Selasa (09/01/2024).
Andi menilai, Negara tak berpihak kepada rakyat Rempang yang masih kukuh menolak relokasi. Suara masyarakat tempatan di sana seakan tak didengar.
“Sama sekali hak untuk menyatakan tidak oleh rakyat Rempang untuk menolak relokasi dalam bentuk apapun tidak dipenuhi dan diabaikan,” kata Andi.
Pembentukan Tim Terpadu untuk Rempang-Eco City seolah menjadi upaya menggesa relokasi ± 10 ribu jiwa masyarakat yang telah turun-temurun menempati Pulau Rempang.
Untuk diketahui, Tim Terpadu ini bertugas merekomendasikan besaran nilai santunan hingga merekomendasikan penyediaan tanah dan rumah pengganti dalam rangka pemukiman kembali. Termasuk juga, pembangunan infrastruktur dasar, fasilitas pemerintahan, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas umum sesuai kebutuhan.
Hal itu juga dinilai menandakan bahwa pemerintah dalam hal ini BP Batam akan tetap merelokasi seluruh warga Rempang dan melanjutkan proyek Rempang Eco-City.
Dalam konteks hak asasi manusia (HAM), lanjutnya, BP Batam tidak mampu menjalankan tugasnya untuk melindungi dan menghormati masyarakat Rempang-Galang.
Ditambahkan, sedari awal program strategis nasional itu dicetuskan, BP Batam dinilai tidak berada pada kepentingan masyarakat Rempang-Galang.
Program itu bahkan disebut mengabaikan kepentingan publik, tidak memuat nilai-nilai dasar kemanusiaan tapi justru merampas hak asasi manusia warga Rempang.
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), meyakini bahwa dugaan upaya merampas tanah warga Rempang, semakin kuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2023.
Beleid itu juga yang mengatur pembentukan Tim Terpadu untuk Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional, termasuk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, seperti di Kota Batam.
Tim Terpadu untuk Pengembangan Kawasan Rempang Eco-City itu dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala BP Batam Nomor 265 Tahun 2023.
Tapi, kebijakan tersebut dinilai prematur dan tidak partisipatif.
Alih-alih menyelesaikan konflik agraria di Rempang, pembentukan Tim Terpadu disebut berpotensi menambah daftar panjang pelanggaran HAM di pulau tersebut.
Untuk itu, YLBHI mengingatkan kepada Tim Terpadu agar tidak bertindak sewenang-wenang dan memperhatikan hak-hak warga Rempang termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri yang dilindungi oleh konstitusi dan Undang-Undang.
Sebagai informasi, Tim Terpadu yang telah ditetapkan itu terdiri dari unsur BP Batam; Pemko Batam; Kantor Pertanahan Kota Batam; akademisi; MUI hingga tokoh masyarakat. Ketuanya adalah Sudirman Saad yang juga menjabat Anggota Bidang Pengelolaan Kawasan dan Investasi BP Batam. (*)