BatamNow.com – Salah satu pundi-pundi Panbil Group adalah waduk alami di Muka Kuning seluas sekitar 10.000 m2. Sumber daya air (SDA) alami ini diikuasai tanpa izin. Disedot suka-suka selama beberapa tahun. Cuan mengalir deras entah sampai ke mana?
Panbil Group penguasa salah satu kawasan industri plus di Muka Kuning itu berada di areal sekitar 50 hektare. Memanfaatkan air permukaan dan air baku dari SDA di kawasan hutan di sana, sejak tahun 2015.
Selain menjadikan kawasan industri dan real estate, Panbil Group merambah lagi ke Taman Wisata Alam Eco Edu Park yang disebut-sebut menguasai luas areal 200 hektare.
Operasional TWA ini disebut bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Batam.
Aneh bin ajaib, meski Peraturan Pemerintah (PP) 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan SDA mengamanahkan wajib memiliki izin dari pemerintah sebagai legalitas pemanfaatan, namun bagi PT Panbil Utilitas Sentosa (PUS), izin itu dianggap angin lalu.
Bak angin lalu bukan saja bagi Panbil Group, namun oleh BP Batam sendiri tampak tak kuasa menerapkan ketentuan perundang-undangan atas pengusahaan pihak swasta pada SDA itu.
Pun volume air baku yang disedot oleh PUS dari waduk alami di kawasan hutan di sana, tak tanggung-tanggung.
BPK mencatat sebanyak 4,6 juta m3 yang sudah disedot menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dimuat tahun 2021.
Angka itupun hanya rekapitulasi sepihak dari Panbil Group selama kurang lebih enam tahun, karena pemasangan meteran pencatatan pemakaian air baku baru dipasang mulai 1 Januari 2021 oleh BP Batam.
Mungkin saja jika sedari awal diawasi dengan auto system, entah berapa juta meter kubik lagi sesungguhnya yang belum tercatat. Bisa jumlahnya naik, turun tak mungkin.
Sulit dinafikan, tanpa support waduk atau air permukaan/ baku kawasan hutan itu, industri dan real estate di Panbil Group tak mungkin semenggurita sekarang.
Ironis memang, meski performa Panbil Group sudah masuk papan atas di Batam, terdapat catatan miring dalam perjalanannya. Masalah waduk atau pemanfaatan SDA di kawasan hutan Muka Kuning mendapat stabilo merah dari BPK Perwakilan Kepri. Pun di LHP BPK tahun 2020 yang dimuat 21 Mei 2021.
Di balik itu, kendati BP Batam tidak pernah mengeluarkan izin pemanfaatan dan pengusahaan SDA dan air bakunya, namun PUS tetap dikenakan pembayaran atas penggunaan air baku itu.
Selain BP Batam, Pemprov Kepri juga mendapat pajak air permukaan (PAP) dari Panbil Group. Namun setali tiga uang, hitungan PAP bagian dari Pemprov Kepri diduga tak dapat dipertanggungjawabkan. Dugaan itu bila merujuk dengan temuan BPK atas rekapitulasi ke BP Batam.
Belum didapat jawaban pasti dari BP Batam soal regulasi sebagai dasar penagihan air baku tersebut. Ketentuan atau Perka mana yang mengatur kewajiban PT PUS membayar penggunaan air baku itu. Dan bagaimana cara menghitung kubikasi pemakaian itu dari BP Batam.
Meski begitu atas hitungan volume yang tak dapat dipertanggungjawabkan itu, BP Batam masih memiliki tagihan atas penggunaan air baku itu sebanyak Rp 7 miliar lebih, sebagaimana catatan hasil sigi BPK.
Besaran kewajiban bayar PT PUS inilah yang menjadi polemik di LHP BPK itu.
Manajemen PT PUS atau Panbil Group hanya mau membayar tagihan penggunaan air baku terhitung sejak tahun 2015 s.d 2020 sebesar Rp 541 juta lebih.
Alasan perusahaan Panbil Group, karena PT PUS mengambil air dari alam bebas bukan air baku yang berasal dari waduk yang dikelola BP Batam.
Logika berpikir manajemen Panbil sebagai pengelola kawasan industri yang sukses dan menggurita itu, patut pula dipertanyakan dan terkesan abai tentang perintah perundang-undangan.
Sebab, bagaimanapun seluruh alam negeri ini harus dirawat kelestariannya, lingkungannya dan keberlangsungan airnya serta diawasi ketat dengan satu regulasi yang konkret dari pemerintah.
Dalam PP 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan SDA sangat jelas aturan main pemanfaatan atau pengusahaan SDA dan air permukaan serta air baku dan air minum.
PP tersebut sebagaimana di Bab I pada Pasal 1 menyebutkan; (1). Sumber Daya Air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
Bab IV Perizinan, bagian kesatu, umum. Pasal 14, perizinan dalam Pengusahaan Sumber Daya Air meliputi:(a). Izin Pengusahaan Sumber Daya Air; dan (b). Izin Pengusahaan Air Tanah, dstnya.
Izin merupakan dasar hukum pelaksanaan kegiatan pengusahaan SDA dan air baku.
Lalu mengapa pemanfaatan air di waduk di kawasan Panbil Group, centang perenang?
Kenapa BP Batam seperti ambigu menerapkan peraturan atas pemanfaatan SDA itu. Dan mengapa Panbil Group “perkasa” di atas kekuasaan pemerintah dengan menguasai dan seolah memiliki waduk di sana?
Sementara menurut UU 17 Tahun 2019 menyebut SDA tidak dapat dimiliki dan/ atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha.
Tak pelak, BPK pun “menyemprit” pihak Panbil Group dan BP Batam atas berbagai masalah di pusaran waduk yang dikomersilkan itu. BPK menyebut, baik jumlah volume air baku dan biaya-biaya yang diperhitungkan dan setoran PT PUS periode 2015 s.d 2020, tidak dapat diyakini kewajarannya.
Apakah laporan penggunaan air baku oleh Panbil Group manipulatif? Soal itu memang tak ditulis dalam laporan itu.
Tapi yang jelas, menurut temuan BPK, hitungan kubikasi dan pembayaran kubikasi air baku itu belum dapat dipertanggungjawabkan, baik rincian dan bukti penggunaan air, meski disedot selama bertahun-tahun oleh Panbil Group.
BPK: Hasil Reviu Tanpa Bukti Andal dan Valid
Bukan hanya menajemen PT PUS yang “disemprit” BPK, tapi Kepala Satuan Pemeriksa Intern (SPI) BP Batam terkena lebih lagi. BPK mengatakan bahwa hasil reviu tidak didasarkan bukti-bukti pertanggungjawaban yang andal dan valid.
Apalagi kinierja Direktur Fasilitas Lingkungan (Fasling) BP Batam yang dijabat Binsar Tambunan oleh BPK dinyatakan tidak cermat dalam menyetujui perjanjian dan tidak didasari dengan prinsip ketahi-hatian.
Karena sembrono alias tidak hati-hati maka BPK “mengultimatum” Direktur Fasling meninjau kembali perjanjian PT PUS dengan Nomor 473/SPJ/ A4.7/2/2021 dan Nomor PUS.006/PIE-II/Sir-2021 tertanggal 2021.
Ihwal apa sebenar yang ditinjau ulang?
Dan apakah “perintah” BPK atas LHP BPK 2020 atas SPI dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan BP Batam yang dimuat pada 21 Mei 2021 ini sudah dilaksanakan?
Sebagaimana ketentuan BPK, 60 hari sejak LHP dimuat, para pihak harus melaksanakan rekomendasi BPK dan dilaporkan.
Dari BP Batam belum menjawab secara lengkap konfirmasi BatamNow.com di pusaran centang perenang ini.
Sementara manajemen Panbil Group yang dikonfirmasi BatamNow.com beberapa kali, tak ada respons. (H/LL)