Catatan Redaksi BatamNow.com
Demo buruh dan pekerja bergerak lagi dengan aksi treatrikal menggotong dua keranda mayat.
Beberapa spanduk terbentang mewarnai aksi buruh lanjutan ini dengan narasi: “Percuma Ada Gubernur dan Matinya Hati Gubernur”.
Aksi kali ini, Senin (13/12/2021), diperkirakan diikuti 5.000 buruh.
Aksi lanjutan ini setelah aksi berturut minggu lalu, paling tidak, untuk “mengundang” Gubernur Kepri Ansar Ahmad berdialog atas materi tuntutan kaum buruh.
Buruh menolak kenaikan upah minimum kota (UMK) Batam yang hanya sekitar Rp 35 ribu (0,85 persen) dari tahun lalu Rp 4.150.930.
Keputusan Ansar Ahmad justru menetapkan besaran UMK hanya di Rp 4.186.359.
Besaran UMK 2022 ini ditolak buruh dan meminta Gubernur Kepri Ansar Ahmad menaikkan besaran upah tersebut sebesar 10 persen.
Selain kenaikan upah, para buruh juga menuntut 3 hal. Pertama, Gubernur Kepri mencabut Kasasi, mematuhi putusan PTUN Tanjungpinang dan PTTUN Medan tentang UMP Kepri dan UMK Batam 2021. Kedua, Gubernur Kepri segera merevisi SK No. 1373 Tahun 2021 tentang UMK 2022. Dan yang ketiga, apabila Gubernur Kepri tidak melaksanakan azas-azas umum pemerintah yang baik (AAUPB), maka lebih baik mengundurkan diri.
Tapi Ansar bergeming. Ia seolah diam seribu bahasa. Apalagi posisinya berkantor nun jauh di Dompak, Tanjungpinang. Suara buruh lewat alat pengeras suara (toa atau sound system) sekuat apapun gaungnya tak mengusiknya.
Sebaliknya, meski aliansi buruh dan pekerja se-Kota Batam menganggap empati Ansar Ahmad “sudah mati” akan nasib buruh, namun mereka tetap berjuang mati-matian. Mereka bergerak diterpa panas terik dan mungkin diguyur air hujan.
Ansar: Belum Tentu Mereka Pilih Saya
Bahkan para pimpinan aliansi yang meyeberang berpeluh menyambangi Ansar Ahmad di Dompak, Tanjung Pinang pada Rabu (08/12) tak ditanggapi. Malah mereka yang berjumlah 20 orang itu mengaku sempat diusir Satpol PP dari lobi kantor gubernur yang megah itu.
Mereka dikabarkan terpaksa bermalam di areal pendopo kantor gubernur beralaskan lantai.
Narasi demo buruh yang mengkritisi sikap Ansar Ahmad untuk mundur saja sebagai gubernur, ramai diberitakan media.
Ansar pun menanggapi dengan nada emosi dan seolah bukan sosok seorang pemimpin atau kepala daerah yang harus mengayomi rakyatnya.
Malah Ansar mengaitkan kondisi perpolitikan pada Pilkada Tahun 2020. Soal itu ramai diberitakan media.
“Yang berhak suruh saya mundur rakyat bukan mereka. Belum tentu mereka milih saya,” katanya di Bank Riau Kepri Tanjungpinang, Rabu (08/12) kemarin.
Mungkin Ansar lupa bahwa posisinya sekarang adalah gubernur semua warga atau penduduk Provinsi Kepri, tanpa memilah-milih. Tentang itu dijamin oleh konstitusi negara sesuai dengan UUD 1945. Kali ini, tampaknya, Ansar terpancing emosi berlebihan menanggapi kritikan para buruh.
Apapun narasi kritik yang disampaikan para buruh tak lebih disebab derita hidup mereka yang hanya memperjuangkan sesuap nasi dari hasil keringat sendiri. Kondisi yang sebenarnya bisa diterima secara wajar dan dapat dimaklumi, kalaupun tak nisa berempati.
Para buruh dan kaum pekerja, kalau disadari, adalah ujung tombak atau pahlawan industri dan ekonomi negeri ini. Sebab itulah tak etis dan bijak jika seorang gubernur bicara “keakuan”.
Ansar Ahmad, tampaknya, tak dapat meniru seni low profile Presiden Jokowi dalam menjalankan misinya sebagai presiden dari seluruh penduduk NKRI.
Jokowi sampai dihina-dina berulang kali dengan narasi berlebihan, tapi tetap sejuk dan bijak menanggapinya, dan malah mencarikan win-win solution.
Kerajaan Kartel Berkuasa di Batam
Besaran UMK yang dipatok lewat SK Gubernur Kepri sebesar Rp 4.186.359 memang sangat dilematis bila dibanding dengan kebutuhan fisik minimum riil para buruh di Batam.
Semua harga-harga kebutuhan pokok atau primer naik tajam secara terus-menerus. Misalnya saja harga minyak goreng yang merangkak naik. Dunia sudah tahu.
Demikian juga, misalnya, harga cabai setan, merangkak kesetanan. Dan harga bahan kebutuhan pokok lainnya meradang menerjang.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengadaan dan pendistribusian semua harga bahan pokok makanan dominan dikuasai dan diatur oleh jaringan dan siasat jahat para tengkulak atau kartel di Batam.
Harga-harga bisa mereka setel atau desain sejurus dengan keinginan kelompok mereka. Stok barang mereka tumpuk di gudang-gudang khusus dan baru didistribusikan sesuai perintah bos kartel.
Padahal penumpukan barang dengan masif tak dibenarkan oleh perundang-undangan dan juga oleh Komisi Pengawan Persaingan Usaha (KPPU).
Isu yang sudah lama, tapi tak tersentuh oleh aparat penegak hukum (APH). Para kartel punya kerajaan dan kekuasaan sendiri di atas kekuasaan pemerintah dan mereka disebut-sebut punya pasukan di atas pasukan berbaret.
Harusnya aksi kartel ini yang diperangi dan dimusuhi Ansar Ahmad bersama pemerintah daerah dan APH, bukan malah “memusuhi” para buruh yang hidupnya ngos-ngosan dan tak pernah merugikan negara.
Bukan hanya memerangi para kartel, tapi munculnya biaya tinggi bagi pengusaha diperparah dengan tradisi pungli alias “cincai” dari para oknum APH dan para oknum pejabat yang semakin hari semakin merajalela.
Jika harga pokok dapat ditekan, biaya hidup buruh dapat lebih murah. Daya UMK pun memadai. Bukan malah sebaliknya.
Buruh bukan mencari kekayaan. Perjuangan para buruh tak lebih hanya menyanggupi kebutuhan primer mereka yang pas-pasan, syukur kalau tak sampai menombok.
Pak gubernur, dengarlah suara mereka yang sudah berhari-hari berteriak-teriak di jalan. Tubuh mereka bercucur keringat demi mempertahankan hidup dan kehidupan mereka yang pas-pasan.
Hai para kepala daerah dengarlah jeritan mereka. Itupun kalau empati lewat kalbu masih peka. (*)