Catatan News Room BatamNow.com
Heboh Peraturan Kepala (Perka) BP Batam No 19 Tahun 2020 yang sempat mengangkat 7 pengawas badan usaha BP Batam karena maladministrasi, lalu buru-buru dicabut lewat Perka BP Batam Nomor 9 Tahun 2021.
Lalu ketujuh pengawas pun bubar!
Keputusan itu ditempuh atas rekomendasi Ombudsman Perwakilan Kepri.
Kini lebih heboh lagi dampak dari Perka BP Batam No 10 Tahun 2016 dan Perka No 11 Tahun 2018.
Perka ini tengah disoal Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam (AGKIMB).
Aliansi yang terdiri dari INSA, ISAA, BSOA, APBMI, ALFI, SERIKAT PEKERJA GALANGAN, APTRINDO dan ATAK.
Tak dipungkiri, sedari awal, kontribusi aliansi industri maritim cukup besar dalam membangkitkan kawasan ekonomi Batam, khusus di sektor industri kemaritiman.
Catatan Batam Shipyard and Offshore Association (BSOA), sektor galangan dan industri penunjang minyak & gas dapat mempekerjakan 380 ribu orang pada tahun 2012-2015.
Kini hanya tersisa sekitar 40 ribu pekerja saja. Lalu pada kemana sekitar 340 ribu yang lain? Menganggur?
Begitukah?
Itulah yang diminta aliansi harusnya diselamatkan. Artinya, terdapat potensi untuk mempekerjakan kembali sekitar 340 ribu pekerja galangan di tengah 1,3 juta populasi penduduk Batam, andai tidak dipersulit oleh beleid Perka BP Batam sendiri.
Alasan logisnya bahwa Batam telah memiliki infrastruktur yang memadai di bidang industri kemaritiman, termasuk 105 galangan supply chain yang telah tersedia. Memiliki tenaga kerja terampil. Wilayah laut yang luas. Memiliki letak yang strategis. Tersedia hotel dan restoran sebagai supporting kegiatan industri maritim di Batam. Masih banyak lagi, katanya, kelebihan yang tidak dimiliki daerah atau negara lain.
Itu makanya, menurut analis AGKIMB, penyelamatan galangan merupakan penyelamatan investasi yang telah ada dan tidak membutuhkan investasi baru, apalagi lahan baru.
Belum lagi multiplier effect-nya yang dapat mendorong sektor ekonomi lainnya.
Berbagai Pungutan Memberatkan
Tak dinyana, dalam menjalankan bisnis maritim belakangan ini, mereka mengaku dipersulit sejak terbitnya Peraturan Kepala (Perka) BP Batam Nomor 10 Tahun 2016.
Perka tentang Pelaksanaan Sistem Host-To-Host Pembayaran Kegiatan Jasa Kepelabuhanan di Lingkungan Pelabuhan Batam.
Kemudian Perka Nomor 11 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksana Jenis dan Tarif Kepelabuhanan.
Imbas dari Perka itu, mereka melihat kebijakan pungutan jasa kapal dan kepelabuhanan yang diterapkan BP Batam kontraproduktif serta menurunkan daya saing Batam.
Banyak pungutan yang diterapkan tidak bersesuaian dengan perundangan. Itu kata mereka salah satu permasalahan yang mematikan industri maritim.
Mereka juga menuding kebijakan BP Batam, penyebab matinya industri galangan kapal di sini, di samping kebijakan lintas kementerian/ lembaga.
Pungutan dikeluhkan di atas, menurut aliansi, tidak sesuai dengan perundangan.
Publik menafsirkan terjadi pungutan di luar aturan yang resmi. Bentuk seperti itu, lazim dipahami sebagai pungutan liar (pungli).
Kondisi ini terjadi sejak tahun 2016.
Aliansi pun telah berjuang habis-habisan melawan kebijakan yang tidak pro-bisnis di sektor maritim itu.
Keluhan aliansi juga sudah lama disampaikan ke Kepala BP Batam dengan berbagai cara dan upaya secara langsung maupun tak langsung.
Kepala BP Batam sebagai leader disebut sempat berjanji untuk membentuk Tim Penyelesaian.
Namun janji tinggal janji. Meski dua bulan berlalu, tak membuahkan hasil.
Demo Mogok Operasi Juli
Tak ada opsi lain, kecuali pilihan mogok operasi pada Juli ini. Inilah cara yang akan mereka tempuh untuk melawan kebijakan yang mempersulit industri maritim di Batam itu.
Sebenarnya menurut aliansi, asa masih membentang di depan, andai penyelamatan industri maritim Batam segera dilaksanakan.
Diperlukan satu kebijakan yang extraordinary dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi Batam melalui industri maritim.
Itu maka aliansi sampai bersurat ke Presiden Jokowi. Kini tinggal menunggu reaksi dari istana, sembari aksi demo mogok operasi akan dilakukan Juli ini.
Tampaknya aliansi belum memilih menggunakan platform media sosial untuk live streaming meminta perhatian presiden seperti kasus premanisme dan pungli di Tanjung Priok yang “merepotkan” Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit.
Bila tudingan aliansi mengenai kondisi yang dipersulit ini benar, lantas muncul tanya.
Adakah “skenario” untuk tidak memasukkan sektor industri maritim sebagai salah satu industri unggulan yang akan dikembangkan ke depan di Batam ditengah penggodokan rencana induk KPBPB “terintegrasi”?
Atau jangan-jangan kemungkinan Perka itu berpotensi maladministrasi sehingga membuat industri maritim tengkurap sejak tahun 2016?
Ini, tampaknya, harus menjadi perhatian Ombudsman Perwakilan Kepri.
Lembaga pengawas kebijakan publik itu didamba dapat mencermati Perka Nomor 10 Tahun 2016 dan Perka 11 Tahun 2018 yang dituding mematikan industri maritim andalan Batam ini.
Sebab Pasal 7 UU 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, poin (d) mengamanahkan melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.(*)
Up.. semoga di tanggapi pak Jkw..