BatamNow.com, Jakarta – Dipidananya PT Mega Karya Nanjaya yang diduga mengubah lahan yang seharusnya hutan lindung di Kota Batam menjadi kaveling yang diperjualbelikan, oleh Kementerian ATR/BPN, menimbulkan tanda tanya, mungkinkah perusahaan tersebut ‘bermain’ sendiri?
Dalam keterangan resmi yang diperoleh BatamNow.com, Senin (22/05/2023) dikatakan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jendral Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang (Ditjen PPTR), Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang mempidanakan PT Mega Karya Nanjaya yang diduga memperjualbelikan kaveling kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai, Batam, Kepulauan Riau.
Alasannya, Budi Sudarmawan selaku Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya melanggar Undang-Undang Nomor 26 Pasal 69 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, karena mengubah kawasan hutan menjadi pemukiman.
“Ditemukan ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan implementasi di lapangan. Hasil audit yang seharusnya hutan sudah tidak menjadi hutan lagi,” kata Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang Ditjen PPTR Ariodillah Virgantara, di Jakarta, hari ini, Senin (22/05).
Dijelaskan, pihaknya telah melakukan penelusuran melalui citra satelit pada 2020, 2021 dan 2022 terdapat gerakan, di mana tutupan yang masih ada pada 2017 mulai dibongkar. Selanjutnya lahan tersebut dijadikan kaveling-kaveling yang dijual dengan harga murah.
Dia mengaku, Ditjen PPTR telah dua kali memasang plang peringatan yang melarang pembangunan di daerah hutan lindung pada 2020 dan 2022, namun dibongkar oleh oknum tidak dikenal. Aktivitas pembangunan tetap berjalan dengan sejumlah rumah telah berdiri.
Tidak dirinci bagaimana perusahaan tersebut bisa dengan seenaknya menerabas hutan dan mengubah fungsi lahan menjadi pemukiman. Sebab, hal tersebut mustahil dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan baik Pemkot Batam maupun BP Batam. Apakah selama ini Pemkot Batam dan BP Batam tutup mata dengan hal tersebut atau benar-benar tidak tahu?
Dikatakannya, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Ditjen PPTR telah menindaklanjuti ke Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau hingga Kepolisian Daerah untuk melakukan penindakan terhadap tersangka.
“Dalam proses hampir satu tahun, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, berkas perkaranya telah lengkap (P21). Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan disidang dua minggu lagi,” terangnya.
Menurutnya, kasus jual-beli lahan hutan lindung ini tidak hanya merugikan negara, namun juga warga. Apalagi kasus ini telah masuk ke tahap transaksi jual-beli oleh tersangka secara sepihak, di mana tersangka membuat masterplan palsu tanpa persetujuan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Dia menambahkan, sesuai dengan peraturan yang berlaku, bangunan yang telah berdiri tetap harus dibongkar dan dipulihkan menjadi hutan kembali.
Terkait nasib masyarakat yang telah membangun rumah di wilayah tersebut, Kementerian ATR/BPN akan mencarikan solusinya. “Rencananya, Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) guna menampung pembeli yang dirugikan,” tukasnya.
Kepada masyarakat diingatkan agar memeriksa sertifikat perumahan yang akan dibeli. (RN)