BatamNow.com, Jakarta – Data kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan di Kota Batam, Kepulauan Riau, terbilang rendah, baru mencapai 20 persen, atau hanya sekitar 42 ribu pekerja sektor informal yang ada. Untuk itu, DPR RI mendorong pemerintah setempat untuk melakukan terobosan dalam memberi perlindungan sosial bagi pekerja informal di masa pandemi Covid-19 ini.
“Di masa pandemi, perlu dilakukan beberapa terobosan, misalnya dengan bantuan CSR (corporate social responsibility), bantuan sosial, atau pendekatan yang lebih komunikatif, ada pendekatan khusus,” kata Anggota Komisi IX DPR RI Nur Nadlifah Fraksi Kebangkitan Bangsa dapil Jawa Tengah IX, usai melakukan kunjungan kerja langsung ke Batam, Kamis (25/11/2021).
Untuk itu, Nadlifah meminta Disnaker Kota Batam dan BPJS Ketenagakerjaan bisa melakukan pemetaan pihak-pihak mana saja yang dapat diajak kerja sama untuk mendapatkan proteksi tersebut. Terlebih, menurutnya, para pekerja informal di kota ini banyak berasal dari daerah yang membentuk paguyuban.
“Pendekatan yang komunikatif tersebut perlu dilakukan, sebab tidak hanya kepada pekerja informal, pekerja informal pun harus mendapatkan informasi yang cukup. Bahwa, hanya dengan membayar premi BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 16 ribu/ bulan, namun coverage manfaat yang didapatkan sangat besar,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima BatamNow.com, Sabtu (27/11).
Dia menjelaskan, pemberian proteksi, baik berupa kemudahan akses BPJS Ketenagakerjaan maupun bantuan sosial perlu dihadirkan mengingat Kota Batam merupakan kota industri, wisata, juga sekaligus perdagangan.
“Tiga sektor ini, paling terpukul karena pandemi dan memaksa tiga usaha tersebut ditutup, sehingga, para pekerjanya rentan jatuh dalam jurang kemiskinan dengan ukuran yang berbeda-beda,” tuturnya.
Sementara itu, Netty Prasetiyani Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dapil Jawa Barat VII menambahkan, para pekerja informal adalah kelompok yang rentan untuk kehilangan pekerjaan dalam situasi saat ini.
“Ada yang memang betul-betul tidak mampu untuk membayar premi kepesertaan, tetapi ada juga yang mampu tapi tidak mau. Ini tentu membutuhkan pendekatan dan strategi yang berbeda,” ungkapnya.
Netty menjelaskan, terdapat setidaknya dua faktor penentu para pekerja informal berminat mendaftarkan dirinya dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Yaitu, faktor kemauan (willingness) dan kemampuan (ability). Padahal, di sisi lain, BPJS Ketenagakerjaan merupakan hak bagi seluruh warga negara untuk mendapatkan perlindungan sosial-ekonomi, terutama di saat pandemi.
Menurutnya, perlu dilakukan pendekatan terhadap pekerja informal agar tidak sekedar BPJS Ketenagakerjaan, tapi juga diyakini mampu membayar premi tiap bulannya. (RN)