BatamNow.com, Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bungkam seribu bahasa ketika ditanya soal perizinan pabrik arang ilegal yang menggunakan bahan baku dari kayu mangrove di Kepulauan Riau (Kepri), dalam Rapat Kerja Komisi IV dengan Eselon I KLHK dan jajarannya di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (06/02/2023) kemarin.
Menurut Ketua Komisi IV DPR RI Sudin dari Fraksi PDI-Perjuangan, pihaknya mempertanyakan hal tersebut sebagai hasil inspeksi mendadak (Sidak) yang dilakukan Komisi IV DPR RI di Kepri, beberapa waktu lalu.
“Kami temukan ada 11 gudang arang tang beroperasi dengan bahan baku dari kayu mangrove. Apakah pabrik-pabrik tersebut memiliki izin dari KLHK?” tanya Sudin.
Dalam sidak tersebut, kata Sudin, ditemukan bukti surat izin nota angkutan yang menggunakan logo koperasi. Hal ini yang menjadi keraguan oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Periklanan (PSDKP) atas keaslian Nota Angkutan atau surat keterangan hasil hutan yang dimiliki pabrik arang.
Dia melanjutkan, dalam rapat kerja sebelumnya dirinya juga pernah menanyakan adakah KLHK memberikan izin untuk pembuatan arang dari kayu mangrove? “Sayang, tidak pernah ada jawaban dari KLHK. Ketika itu, saya tanyakan karena ada masalah serupa terjadi di Sumut. Sekarang hal yang sama juga terjadi di Kepri. Gak tahu ya, temuan kami hanya 11, mungkin masih banyak lagi di sana,” ujarnya pedas.
Menurutnya, kalau benar KLHK mengeluarkan izin, sangat disayangkan. “Di satu sisi, pemerintah melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) gencar menanam mangrove, tetapi di sisi lain tanaman mangrove-nya malah ditebang. Ada apa ini?” tanyanya kritis.
Dirinya sangat menyayangkan adanya produksi arang berbahan baku kayu mangrove ini. “Jika itu dibiarkan akan terjadi penggundulan hutan mangrove. Juga soal perizinan pengiriman mangrove dari pabrik pembuat arang yang lolos dari KLHK,” tukasnya.
Kembali Sudin bertanya, “Apakah KLHK pernah mengeluarkan izin? Karena setahu saya dan info yang saya dapat, ada keluar izin. Saya tanya sekali lagi, apakah KLHK pernah mengeluarkan izin? Dengan dalih apapun, misalnya bicaranya yang ditebang sepuluh hektare nanti yang ditanam dua puluh hektare. Tadi untuk mencapai diameter segini saja ini membutuhkan waktu lima puluh tahun. Apakah keburu ditebang dan ditanam?”
Dicecar begitu, Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono terdiam lama. Dia hanya bisa menjawab bahwa temuan ini akan menjadi catatan bagi KLHK.
“Sebelumnya juga telah ada arahan dari Ibu Menteri untuk mengevaluasi seluruh perizinan, khususnya yang ada di hutan produksi yang berekosistem mangrove,” ujarnya datar.
Dia coba membela diri dan mengataka bahwa KLHK telah mencabut perizinan kegiatan pemanfaatan hutan terhadap tiga perusahaan swasta sejak tahun lalu saat Presiden Jokowi mengarahkan untuk mangrove menjadi perhatian.
“Untuk masyarakat (yang mendapat perizinan kegiatan pemanfaatan hutan yang ada di hutan produksi yang berekosistem mangrove) kami memang sedang melakukan evaluasi lanjutan oleh Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) di seluruh ekosistem mangrove khususnya hutan produksi. Ini memang benar-benar akan kami evaluasi. Apalagi, tadi ketika keluarnya kayu itu kami harus evaluasi dengan Ditjen Penegakan Hukum (Gakkum) menggunakan nota angkutan. Memang dalam sisi kebijakan ketentuan sahnya keluarnya kayu itu dengan nota angkutan. Tapi, kami juga harus hati-hati ketika nota angkutan itu tidak legal atau dibuat oleh pelaku-pelaku di lapangan. Tapi, paling tidak, hulu-hilir ini kami jamin bahwa evaluasi perizinan yang harus kita lakukan terhadap seluruh pelaku usaha yang berbasis mangrove yang punya legalitas pasti kami hentikan, dan kami evaluasi berhenti,” urainya.
Nampak jelas Sudin tidak puas dengan jawaban Sekretaris Jenderal KLHK ini. (RN)