BatamNow.com – Di samping jeritan dan tangis pilu emak-emak, anak-anak dan siswa sekolah Pulau Rempang, kini banyak mengalami trauma sebagai dampak dari polemik lahan pulau itu yang belum berujung.
Itu disampaikan beberapa warga masyarakat di sana ke awak redaksi BatamNow.com saat melakukan peliputan pada Kamis (07/09/2023).
“Anak-anak kami menjadi trauma akibat kondisi tak berkesudahan ini, apalagi saat polisi mengusir paksa dan menembaki kami dengan gas air mata,” kata Saodah, ibu dengan tiga anak warga Pulau Rempang ini.
Demikian juga kondisi 16 murid SMPN 022 yang tinggal di Sungai Raya terpaksa diinapkan dinas pendidikan di Hotel Urban New Jodoh di Batam oleh Dinas Pendidikan Kota Batam.
Di mana sepulang sekolah menuju rumahnya terjebak semburan gas air mata di Simpang Kampung Sembulang, Pulau Rempang, Galang, pada Kamis, kemarin.
“Mereka ketakutan akhirnya dijemput para ibu gurunya,” ujar ibu Fatima ke BatamNow.com.
Aparat Tim Terpadu, selain di Jembatan IV, mendapat perlawanan juga di sepanjang Jalan Trans Barelang, mulai yang klimaksnya di Simpang Kampung Sembulang hingga malam hari.
Asap mengepul di bahu jalan karena kontainer terbakar. Belum lagi gas air mata ditembakkan petugas.
Lain lagi cerita Ahmad yang juga warga Melayu asli di Rempang.
Ia menceritakan bagaimana dua anaknya yang masih kecil sempat lari terengah-engah bersembunyi ke hutan dengan mata perih kerana ketakutan akan tembakan berulang-ulang gas air mata dengan bunyi dar dor.
Terlebih anak SMP Negeri 22, SD Negeri 024 yang sepelemparan batu dari Jembatan IV. Dari ruang kelasnya pagi sekira pukul 10.00, anak-anak sekolah berhamburan lari pontang-panting karena terkena asap dari gas air mata yang memerihkan mata mereka dan bahkan ada belasan yang pingsan.
“Sesama anak sekolah SD, SMP sampai SMA, termasuk anak-anak yang belum sekolah, kini banyak mengalami trauma,” kata Nasir lelaki Pulau Rempang.
“Ini satu kejadian yang luar biasa mengancam kehidupan dan batin kami dan kejadian seperti ini baru pernah terjadi sepanjang sejarah. Kami shock dengan kejadian ini,” ujar beberapa emak-emak berhijab di Pulau Rempang kepada awak media ini saat peristiwa bentrok antara warga dengan Tim Terpadu.
Warga Pulau Rempang memang bukan warga yang hidup dan berkehidupan di tengah kota yang terbiasa melihat satu kerusuhan diakibatkan demo politik dan dinamika kehidupan lainnya.
Kehidupan warga sehari-hari di Pulau Rempang masih bisa dikategorikan suasana desa yang sunyi dari hiruk pikuk apapun.
Masyarakat adat Melayu yang umumnya petani dan nelayan ini, kini dihantui ketidakpastian akan masa depan mereka karena “ancaman” relokasi dari BP Batam.
Tetiba suasana lingkungan mereka kini jadi riuh dan menjadi perhatian nasional diterpa polemik soal masa depan mereka.
Sekitar 10 ribu warga di 16 kampung sejarah masyarakat adat Melayu itu kini harus berjuang keras menolak relokasi. “Kami akan kehilangan kampung sejarah yang diwariskan kakek-nenek kami, jika relokasi yang kami terima dan kami tolak keras,” ujar warga senada.
Polemik kala pengalokasian Pulau Rempang dari BP Batam ke PT Makmur Elok Graha (PT MEG) seluas 17 ribu hektare dalam rencana pengembangan kawasan kota baru Eco-City, kini berdampak besar.
Entah kapan lagi tekanan aparat dengan gas air mata datang menambah deraian air mata warga Pulau Rempang dan Galang ini. “Entahlah,” kata Sabrin. (tim)