BatamNow.com, Jakarta – Efektivitas layanan masyarakat tidak akan tercapai bila penyerapan anggaran rendah. Semakin rendah serapan anggaran di daerah, semakin rendah juga kinerja daerah tersebut. Konsekuensinya akan menurunkan target, sasaran, dan layanan untuk menyejahterakan rakyat.
“Dengan sistem sekarang money follow program, maka bila serapan anggaran rendah, hampir dipastikan implementasi program pun minim,” kata Rizal Taufikurahman Head of Center Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economic and Finance (Indef), ketika dihubungi BatamNow.com, Senin (06/12/2021) malam.
Kondisi demikian, ujar Rizal, menunjukkan adanya masalah dalam pengelolaan fiskal di daerah. Terutama belanja modal dan pembangunan daerah yang notabene sebagai tujuan dari layanan budget.
Diberitakan media ini, realisasi Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) tahun 2021 belum maksimal padahal waktu yang tersisa tinggal beberapa hari lagi.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, dikutip Senin (06/12/2021), total anggaran pendapatan Kepri 2021, sebesar Rp 3,7 triliun. Sementara realisasi pendapatannya per 30 September 2021, Rp 2,5 triliun. Sementara total anggaran belanja daerah sebesar Rp 3,9 triliun dan yang terealisasi Rp 2,1 triliun atau sekitar 53,84 persen.
Menurut Rizal, banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya realisasi serapan anggaran daerah di akhir tahun ini. “Realisasi belanja APBD yang masih rendah disebabkan terjadinya penurunan per jenis belanja. Misalnya, sisi belanja modal, belanja lainnya dan belanja pegawai. Kondisi tersebut disebabkan oleh tidak sedikitnya perilaku daerah menyimpan APBD di bank untuk mendapatkan imbal balik atau bunga. Bahkan terdapat daerah yang tidak peduli dengan efek dari perilaku ini,” terangnya.
Selain itu, sambungnya, adanya ketakutan daerah berinovasi dalam mengalokasikan APBD akibat dari terlalu khawatir dalam belanja. Terutama belanja modal dan belanja lainnya. Di sisi lain, belanja pegawai relatif stabil. Hal ini menunjukkan daerah tidak ingin menerima risiko terjadi penyelewengan dalam serapan anggaran akibat juklak dan juknis yang masih belum clear. Terutama ditengah kondisi pandemi Covid-19 yang seringkali berubah-ubah akibat refocusing anggaran.
Akibat rendahnya penyerapan anggaran di daerah tentu berdampak pada pertumbuhan perekonomian setempat. “Dampaknya, target pertumbuhan ekonomi tidak akan tercapai. Artinya, kebijakan fiskal daerah tidak efektif dalam menggenjot perbaikan ekonomi ditengah pandemi Covid-19. Demikian juga perbaikan dan percepatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat semakin rendah capaiannya,” terangnya.
Parahnya lagi, bila kualitas program di daerah rendah dan tidak tepat sasaran. “Hal ini berarti terjadi inefisiensi antara anggaran dan program yang disusun. Maka dibutuhkan adanya perbaikan dalam perencanaan dan penyusunan program. Selain kepastian anggaran dalam membiayai program-program daerah,” serunya.
Rizal menilai, koordinasi dan sinkronisasi program daerah dan pusat menjadi sangat urgent. Terutama realisasi anggaran untuk mengendalikan Covid-19, baik bidang kesehatan maupun ekonomi dalam rangka pemulihan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (RN)