BatamNow.com, Jakarta – Secara kewilayahan, Pulau Batam di Kepulauan Riau, kerap disebut sebagai salah satu golden gate-nya Indonesia. Mengingat posisinya yang strategis, berdekatan dengan Singapura dan Malaysia.
Kestrategisan posisi Batam terang-terangan dikatakan Presiden ke-3 Indonesia Baharudin Jusuf Habibie, yang oleh Presiden Soeharto ketika itu diberi mandat khusus mengembangkan wilayah tersebut. “Saya melihat, Batam bisa menjadi ujung tombak pembangunan ekonomi Indonesia. Sekaligus benteng pertahanan karena berbatasan dengan negara lain,” kata Habibie.
Oleh masyarakat setempat, Habibie dianggap sebagai tokoh penting di balik pembangunan Batam. Sejak 1975, di mana jumlah penduduk Batam kala itu masih 600 kepala keluarga, Habibie mulai membangun Batam agar bisa bersaing dengan Singapura.
Seiring waktu Batam pun mulai bertumbuh. Namun, aplikasi di lapangan berbeda dengan regulasi yang dibuat oleh Pemerintah Pusat. Ironisnya, banyak pihak mengatakan, Batam tak ubahnya telah menjadi bancakan, baik orang Jakarta maupun daerah, stakeholders di pusat maupun daerah, kalangan swasta secara nasional maupun lokal.
Salah satu yang mengemuka adalah penerapan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, yang merupakan turunan dari UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang, tertanggal 21 Desember 2000.
Serta UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang, yang dirilis pada 01 November 2007.
Dan juga, Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, di mana yang secara struktur dikatakan pengawasan dilakukan lintas kementerian/ lembaga ini sejatinya telah habis masa jabatannya yakni, 2021. Namun, tidak ada kejelasan terkait pengangkatan dan pelantikan pejabat yang baru.
Kemudian muncul lagi regulasi PP Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dalam PP tersebut jelas disebutkan terkait pembentukan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (DKPBPB) yang mengintegrasikan wilayah Batam, Bintan, dan Karimun (BBK). Di mana masing-masing wilayah nantinya akan memiliki Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP KPBPB).
Dari hasil penelusuran BatamNow.com, diketahui bahwa PP 41/2021 ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. PP ini sendiri yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi jauh sebelum putusan judicial review UU Ciptaker dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Seperti diketahui, putusan MK dibacakan pada 25 November 2021, sementara PP itu sendiri diteken Jokowi pada 02 Februari 2021. Sesuai dengan prinsip hukum yang tidak berlaku surut, maka sejatinya PP 41/2021 tersebut sudah dijalankan. Lagi-lagi faktanya tidak demikian.
“Materi di dalam Peraturan Pemerintah dibuat untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, merupakan turunan operasional dari amanat UU,” kata pakar hukum tata negara Prof Jimly Asshiddiqie kepada BatamNow.com, Rabu (19/10/2022).
Dengan kata lain, lanjutnya, apa yang dituliskan dalam PP tersebut harus ditaati. “Kalau ada pihak-pihak yang terkait dengan aturan tersebut tapi tidak mentaati PP itu, maka bisa dikategorikan telah melakukan malregulasi atau konstitusi. Sebab, tentu pembuatan PP itu memiliki dasar di UU, bahkan lebih jauh lagi di UUD 1945,” tegasnya.
Belum terintegrasikannya Batam, Bintan, dan Karimun, pun menjadi pertanyaan, mengingat PP 41/2021 sudah berumur hampir dua tahun. Pihak Kemenko Perekonomian berdalih, terhambatnya pembentukan Dewan Kawasan BBK lantaran menunggu Peraturan Presiden.
Meski putusan judicial review MK terkait UU Ciptaker dikatakan bahwa produk hukum itu cacat secara formil dan inkonstitusional bersyarat, harusnya tidak berpengaruh terhadap implementasi PP 41/2021 tersebut.
“Jangan sampai PP atau Keppres yang dibuat jadi mubazir karena ada pihak-pihak yang enggan menjalankannya. Kalau memang ada kendala, maka hal tersebut harus segera dilaporkan, sehingga bisa dibuat revisi ada aturan tersebut. Tapi bukan berarti tidak dijalankan. Tidak boleh, apalagi kalau sudah berbentuk PP atau Keppres yang ditandatangani,” kata Jimly mengingatkan.
Hal lain yang nampaknya juga belum dijalankan adalah Rencana Induk pengembangan KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun. Padahal, dalam Bab VI Pasal 67 ayat (3) dikatakan bahwa rencana induk itu disusun untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat ditinjau ulang setiap lima tahun atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan pembangunan nasional.
Prof Jimly menegaskan, belum dijalankan sepenuhnya PP 41/2021 itu juga diakibatkan lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah. “Ini hanya akan jadi tumpukan regulasi, sementara implementasi lemah. Harusnya Presiden turun langsung melakukan pengawasan terkait sudah seberapa jauh implementasi aturan ini diterapkan di lapangan. Dari situ akan ketahuan, apakah ada pihak yang bermain-main dengan PP tersebut atau mungkin juga para pembantunya yang kurang cakap melaksanakan aturan itu,” tukasnya. (RN)