Quality tourism (pariwisata yang berkualitas) merupakan konsep pariwisata yang bertolak belakang dengan konsep quantity tourism.
Dengan quality tourism, pengelola tidak lagi fokus mencari cara mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya (mass tourism), melainkan bagaimana membuatnya terkesan dan menghabiskan waktu lama di tempat tersebut.
Dengan quality tourism, jumlah spending (pengeluaran) wisatawan akan lebih banyak dan dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas performa destinasi dan layanan pariwisata yaitu “its ability to satisfy the needs and expectations of the consumer. In a tourist destination, the tourist must be regarded as the consumer.”
Kualitas layanan atau produk, mengukur bagaimana kemampuan pengelola memenuhi kebutuhan dan harapan wisatawan. Dalam hal destinasi wisata, wisatawan harus dianggap sebagai konsumen.
Setidaknya ada empat manfaat dalam menerapkan konsep quality tourism, yaitu: (1) meningkatkan loyalitas pelanggan, (2) menciptakan keuntungan yang lebih banyak, (3) meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi penduduk setempat, dan (4) mendorong industri pariwisata yang stabil serta jaminan pekerjaan.
Beralihnya konsep quantity tourism ke quality tourism sudah dilakukan oleh negara tetangga sebelumnya, salah satunya yaitu Australia.
Kunjungan wisatawan hanya 10 juta orang saja namun devisa mencapai US$ 45 miliar. Fokus pada quality tourism akan memberikan dampak besar bagi perekonomian negara.
Setidaknya ada empat indikator pariwisata berkualitas, yaitu kepuasan wisatawan, kepuasan industri pariwisata, peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat, dan peningkatan kualitas lingkungan.
Indikator-indikator tersebut sejalan dengan konsep pendekatan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat atau yang lebih dikenal dengan community-based tourism (CBT).
Konsep ini merupakan alat pembangunan untuk memperkuat kemampuan masyarakat pedesaan dalam mengelola sumber daya pariwisata sekaligus menekankan pemberdayaan masyarakat lokal dalam lima dimensi, yaitu dimensi ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan.
Sebagai alat pembangunan, pariwisata berbasis masyarakat mampu membantu masyarakat lokal mendapatkan penghasilan sehingga dapat menjadi alat untuk mengurangi kemiskinan, mendiversifikasi ekonomi lokal, melestarikan budaya, melestarikan lingkungan, serta membuka peluang pendidikan bagi masyarakatnya.
Melalui pendekatan CBT ini, lahirlah beberapa desa wisata, misalnya desa wisata yang berada di beberapa kawasan di Indonesia seperti Bali dan kawasan lainnya. Desa wisata ini dapat mendorong transformasi pariwisata menjadi quality tourism.
Kementerian pariwisata Indonesia telah mencanangkan shifting dari quantity tourism ke quality tourism di masa peralihan pandemi Covid-19.
Peralihan tersebut datang bersama secara dramatis yang tak lagi dapat terelakkan dan ini pun dijadikan momentum mengubah perspektif pariwisata Indonesia yang cenderung pada sisi wisatawan yang lebih banyak dan secara bersamaan dengan melihat sisi kualitas terhadap destinasi wisata yang berawal dari wisatawan bukan dilihat dari sisi pembelanjaannya.
Dengan demikian peralihan terhadap quality tourism merupakan sesuatu yang dapat diterapkan pada suatu kawasan wisata sehingga tidak terfokus terhadap produk barang dan berorientasi kepada pelayanan saja.
Pariwisata berkualitas dimulai pada wisatawan bukan dimulai dari daya beli pada pilihan dan preferensinya, mereka ingin mencari pengalaman liburan berdasarkan pilihan dan preferensi mereka masing-masing yang didorong pada destinasi wisata dan pada turis berkualitas dengan banyak faktor seperti kegemaran, hobi, maksud dan tujuan berlibur fasilitas pada destinasi dan sebagainya.
Sedangkan preferensi akan didorong dengan cara mereka menjalani hidupnya, tidak hanya pada gaya hidup tapi lebih pada sisi personal misalnya privasi.
Namun pada kebanyakan, preferensi lebih utama daripada pilihan bagi beberapa orang berkantong tebal. Kita bisa melihat ini dari beberapa dari mereka mencari pengalaman dalam berlibur mereka ke Indonesia atas dasar preferensi, dalam hal ini privasi.
Privasi seseorang bisa membuat orang tidak memikirkan jumlah uang namun lebih kepada bagaimana tujuan berliburnya akan menghargai privasinya.
Jadi dapat dikatakan bahwa pada dasarnya destinasi, feature dan pendukung apapun di Indonesia bisa membidik wisatawan tersebut tetapi ada baiknya untuk kenali dulu pilihan dan preferensi mereka serta dengan melihat perkembangan pariwisata yang kini cenderung pada konsep ramah lingkungan.
Sehingga pada akhirnya kualitas pariwisata pada komponen destinasi wisata dan pelaku wisata dapat tercapai ketika sudah menangkap pilihan dan preferensi kaum berkantong tebal dan pengembang serta pelaku usaha pariwisata mulai berpikir bahwa investasi mereka tidak hanya dari sisi ekonomi saja tapi juga sosial dan lingkungan. Dengan begitu, konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) dapat berkembang dan diterapkan dalam bentuk aksi nyata tanpa berangan-angan, berkata-kata dan menjadi realita. (*)