BatamNow – Sejak tender berlangsung, proyek ini diduga sarat patgulipat dan melabrak Peraturan Presiden (Perpres).
Tak ayal, profesionalitas BP Batam dalam menentukan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) Rp 52,9 Miliar pada Proyek Jaringan Pipa Transmisi Waduk Tembesi – Waduk Muka Kuning dipertanyakan.
BatamNow mencoba mengulik satu per satu hal yang yang “disembunyikan” di proyek ini, dimulai dari penentuan HPS;
Menurut Perpres No 16 tahun 2018, Harga Perkiraan Sendiri (HPS) adalah perkiraan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Mengapa harus berdasarkan data harga yang bisa dipertanggungjawabkan?
Karena penetapan harga satuan dalam HPS oleh PPK adalah tahapan perencanaan pengadaan yang krusial.
Apabila HPS ditetapkan lebih mahal dari harga wajar, hal tersebut akan menimbulkan “potensi kerugian negara” yang mana “bisa saja menyeret PPK mendekam di balik jeruji besi”.
Mengapa PPK menetapkan harga satuan di dalam HPS di atas harga pasar?
Berdasarkan pasal 26 ayat 2 Perpres 16 tahun 2018, HPS telah memperhitungkan keuntungan dan biaya tidak langsung (overhead cost) bagi penyedia (pelaksana proyek).
Hal ini ditempuh untuk memastikan kewajaran harga satuan. Jika semata-mata untuk menambah nilai keuntungan bagi penyedia, tentu ini alasan yang tidak tepat.
Harusnya, penambahan nilai keuntungan lebih ditekankan untuk menambah minat penyedia barang/jasa untuk ikut serta berkompetisi tender proyek pengadaan.
Proyek ini dengan pagu anggaran Rp 53,6 Miliar. Tender pertama sejak 15 April 2020 di https://lpse.bpbatam.go.id/
HPS yang ditetapkan besarnya sekitar Rp 52,9 Milyar. Sebanyak 62 kontraktor ikut berpartisipasi untuk memenangkan proyek ini dengan mengajukan penawaran yang bervariasi.
Dari antara 62 kontraktor yang mendaftar sebagai peserta lelang, hanya 5 kontraktor saja yang memasukkan penawaran harga yaitu BCK (JKT) Rp 43,3 Miliar, IBM (Padang) Rp 44,9 Miliar, SA (Pekanbaru) Rp 45,5 Miliar, PK (Jabar) Rp 48,5 Miliar, PNP (Pekanbaru) Rp 49,2 Miliar.
Anehnya, kelima perusahaan ini berdomisili di luar provinsi Kepuluan Riau (Kepri).
Untuk selanjutnya panitia lelang menetapkan IBM (Padang) dengan penawaran Rp 44,9 Miliar sebagai pemenang lelang proyek.
Harga penawaran IBM bukanlah harga penawaran terendah di antara lima kontraktor lainnya. Namun apa nak dikata, jatuh ke IBM sebagai pemenang lelang.
Jika dilihat harga pemenang lelang Rp 44,9 Miliar dibandingkan dengan HPS Rp 52,9 Miliar, maka selisih harga yang ditawarkan pemenang lelang sebesar Rp 8 Miliar atau 15% dari HPS. Koreksi yang sangat besar dan materil.
Jika dikaitkan dengan pasal 26 ayat 2 Perpres 16 tahun 2018, maka pertanyaan muncul: apakah penerapan HPS proyek ini mengandung mark up ?
Adapun isi pasal 26 itu: HPS telah memperhitungkan keuntungan dan biaya tidak langsung (overhead cost).
Nah, kalau benar HPS di-mark up, maka kontraktor pemenang lelang ini telah menjalankan proyek ini sesuai kebutuhan material yang digunakan.
Namun sebaliknya, jika penetapan HPS itu sudah sesuai dengan aturan main, maka kuat dugaan kontraktor (pelaksana proyek) akan menggunakan material yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang ditetapkan?
Dan kalau ini benar-benar terjadi di lapangan risiko yang muncul akan berdampak kepada kerugian negara dan kualitas proyek diragukan.(JS)
(Akan diulas bersambung…)