Catatan Redaksi BatamNow.com
Ketidaknyaman, salah satu yang dialami penumpang KM Kelud milik PT Pelni secara berkepanjangan di Pelabuhan Batu Ampar di Batam.
Kesemrawutan setiap kali proses embarkasi penumpang ke kapal Kelud. Demikian juga saat ketibaan.
Bukan hanya tak nyaman, kondisi kesemrawutan itu dapat membahayakan karena pelabuhan itu tak layak bagi pelayanan penumpang.
Misalnya, saat proses pengangkutan penumpang dari check in point menuju kapal, truk-truk trailer di dermaga pelabuhan berseliweran.
Ini satu fakta yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.
Pelabuhan kargo BP Batam “menyambi” menjadi pelabuhan penumpang Pelni dengan fasilitas yang serba darurat. Inilah “biang kerok”-nya.
Fakta dalam kurun waktu sekian tahun itu kemudian dibenarkan oleh Ombudsman RI dan Direktorat Litbang Kementerian Perhubungan (Kemenhub) lewat satu inspeksi mendadak (sidak) di pelabuhan itu pada Sabtu (30/04/2022).
Maka Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri Lagat Parroha Patar Siadari pun meminta kapal penumpang Pelni KM Kelud, misalnya, ditunda dulu untuk sementara waktu singgah ke Batam sampai disediakannya fasilitas pelabuhan penumpang yang standar dan memadai.
Bagaimanapun fakta di Pelabuhan Batu Ampar itu menjadi salah satu potret buruk pelayanan pemerintah kepada rakyatnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini. Bahkan banyak menyebut pelayanan itu kurang manusiawi.
Rakyat tidak mendapat keadilan atas hak-haknya sebagaimana dijamin oleh UUD dan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 119 Tahun 2015.
Apalagi ditengah euforia fasilitas luks beberapa pelabuhan penumpang lain yang ada di Batam dan di daerah lain.
Ombudsman Tak Setuju Dipindah ke Pelabuhan Bintang 99 Persada
Rencana pemerintah memindahkan KM Pelni sandar di Pelabuhan Bintang 99 Persada milik swasta, sepelemparan batu di sebelah Pelabuhan Batu Ampar, juga ditentang oleh Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri.
Di sana juga minim fasilitas yang standar sebagaimana ketentuan perundang-undangan, yakni dari aspek kenyamanan, keamanan dan kemungkinan masih dapat membahayakan.
Karena pelabuhan di sana juga untuk kargo bukan standar penumpang.
Nestapa penumpang Pelni ditengah upaya Presiden Jokowi “mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya”.
Nestapa yang diakibatkan kebijakan para penguasa yang tak konsisten membangun pelabuhan Pelni yang standar.
Berbagai fasilitas yang tak layak di Pelabuhan Batu Ampar, utamanya ruang tunggu keberangkatan yang masih beratap teratak dan yang pasti tanpa alat pendingin udara atau AC.
Cukup lama para penumpang harus berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh menapaki hamparan dermaga menuju tangga kapal sembari penat memikul barang bawaannya.
Mereka berpanasan dan berdebu jika kemarau dan kuyup manakala hujan membasahi bumi dengan kondisi dermaga yang berlumpur.
Gedung check in darurat juga menambah semrawut apalagi saat proses pemeriksaan barang lewat mesin x-ray. Selain semrawut, berpotensi menimbulkan kerugikan negara atas barang bawaan penumpang yang kemungkinan banyak lolos tak dikenakan bea masuk.
Pulau Batam adalah Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yang masih ditunda pengenaan bea masuk atas barang dari luar negeri (LN). Di saat keluar dari Batam wajib dibayar beanya.
Sebenarnya jika berkiblat pada visi Jokowi di dua periode pemerintahannya yang mengutamakan kepentingan masyarakat, mestinya pelabuhan dengan standar untuk penumpang Pelni di Batam sudah tersedia. Apalagi di era program tol laut Jokowi.
Tapi entah mengapa ketimpangan atau ketidakadilan sosial bagi penumpang Pelni di Batam ini terbiarkan oleh pemerintah secara berkepanjangan.
Sementara para menteri seperti membiarkan masalah ini berlarut tanpa solusi hingga ke penghujung pemerintahan Jokowi, meski mereka sudah menyaksikan langsung permasalahannya di “TKP”.
Malah setiap kali para menteri itu ke Batam kerap menggaungkan mimpi-mimpi lainnya yang selangit: membangun New Port lah, mejadikan Pelabuhan Kargo Batu Ampar dengan Green Port lah dan sebagainya, dan belum satu pun terealisasi.
Awalnya kapal penumpang Pelni itu bersandar di Sekupang, kemudian dipindahkan ke Batu Ampar masih dengan kondisi yang sama.
Ironis memang sejak Batam dikembangkan 50 tahun lalu, namun pelabuhan penumpang Pelni saja masih dalam kondisi darurat di sini.
Itu diperparah karena para stakeholder tampak tak gigih memperjuangkan pelabuhan penumpang Pelni ini ke pemerintah pusat. Baik itu BP Batam, Pemko Batam, DPRD, Anggota DPR RI dan DPD dapil Kepri.
Publik Batam masih menaruh setitik harapan akan tindak lanjut dari sidak Ombudsman dan tim Litbang Kemenhub.
Kebijakan atau perubahan apa gerangan yang akan terjadi dari pemerintah sebagai solusi ke depan, paling tidak dalam jangka pendek.
Sidak bukan latah sidak-sidakan yang akan berlanjut sama di tahun depan, bukan? (*)