BatamNow.com, Jakarta – Sudah menjadi rahasia umum, kerusakan hutan mangrove di Kepulauan Riau sudah demikian massif, disebabkan oleh eksploitasi, pembukaan lahan, dan pencemaran ekosistem mangrove. Tak heran, luasan hutan mangrove pun kian sempit.
“Tidak hanya di Kepri, di sejumlah wilayah di Indonesia, banyak terjadi kerusakan dan eksploitasi besar-besaran terhadap hutan mangrove,” kata Periset bidang Teknologi Penginderaan Jauh, Ratih Dewanti ke BatamNow.com di Jakarta, Senin (14/03/2022).
Menurutnya, dibutuhkan model pemantauan mangrove dengan teknologi penginderaan jauh optik. Selama ini, pendeteksian kerusakan hutan mangrove banyak terkendala oleh awan tebal. Ini lantaran wilayah Indonesia yang berada di katulistiwa dengan beberapa pulau besar dan ribuan pulau kecil.
Saat ini, lanjutnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa tengah mengembangkan model Mosaik Bebas Awan (MBA). Model ini dinilai cukup efisien dalam pengolahan data penginderaan jauh optik yang dikontribusikan untuk menghasilkan data dan informasi dalam mendukung pemantauan mangrove.
“Apabila model ini diintegrasikan dengan perkembangan konsep mutakhir Analysis Ready Data (ARD) akan memberi bobot lebih signifikan dalam pengolahan data penginderaan jauh optik untuk mangrove. Gabungan antara algoritma Mosaic Tile Based (MTB) dan model ARD diberi nama model MBA,” terang Ratih yang baru dikukuhkan sebagai Profesor Riset ini.
Dia menjelaskan, temuan berupa algoritma MTB dapat menyelesaikan masalah ketertutupan awan pada data penginderaan jauh optik, terutama untuk wilayah pesisir yang sering tertutup awan.
Dijelaskan, konsep ARD memberikan efisiensi kepada pengguna data penginderaan jauh dalam pra-pengolahan yang diperlukan. Efisien dalam konteks ini adalah lebih cepat dan lebih sedikit penggunaan sumber daya untuk menyediakan data.
“Yang dapat digunakan untuk pemantauan mangrove dibandingkan dengan pendekatan konvensional,” papar Ratih.
Ratih menerangkan hasil pengembangan lima model penyediaan data penginderaan jauh untuk pemantauan mangrove. Model-1 yaitu, pengembangan MBA data penginderaan jauh optik, model-2 penentuan liputan mangrove, model-3 pendeteksian keberadaan, kerapatan, dan zonasi mangrove, model-4 pemantauan laju kerusakan lahan mangrove, dan model-5 penyediaan ARD penginderaan jauh.
Dari lima pengembangan model tersebut, kata Ratih, implementasi MBA untuk pemantauan mangrove berbasis data penginderaan jauh optik secara digital, lebih efisien dibandingkan dengan cara konvensional. Cara konvensional umumnya mengedepankan interpretasi visual, interpretasi berbasis scene, dan justifikasi pakar.
“Efisiensi tersebut diperoleh dari pengalaman dalam mengolah data penginderaan jauh optik sebanyak 10 scene untuk pemantauan mangrove. Dengan menggunakan model-2, model-3, dan model-4 memerlukan waktu sekitar 7 hari, dibanding dengan mengolah data yang sama dengan menggunakan model-1 yang memerlukan waktu hanya 1 hari,” terang periset yang juga aktif sebagai anggota Asian Association of Remote Sensing ini.
Hasil temuan ini sebagian telah diimplementasikan dalam pemetaan mangrove oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan dilaporkan dalam Sistem Pemantauan Hutan Nasional (Simontana). Selain itu, dalam Web-GIS hasil kerja sama IPB-BRIN (LAPAN)-Ecometrica dengan pendanaan dari United Kingdom Space Agency (UKSA), salah satunya telah diimplementasikan model MBA untuk data Landsat.
Ratih berharap pengembangan model yang efisien dalam pengolahan data penginderaan jauh optik ini dapat semakin memperkuat implementasi prinsip kebijakan berbasis bukti (evidence based policy). Selain itu, pengembangan model ini dapat mendukung implementasi satu standar dan satu data sebagai bagian dari Kebijakan Satu Peta dan sejalan dengan optimalisasi pemanfaatan data penginderaan jauh sebagai amanat Undang-Undang tentang Keantariksaan. (RN)