BatamNow – Harapan perbaikan industri mobil di Tanah Air lenyap usai usulan pajak 0 persen mobil baru yang diupayakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) ditolak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menolak usulan tersebut dengan mengungkap sejumlah alasan pada Senin (19/10) untuk menanggapi usulan yang sudah disampaikan sejak pertengahan September.
Kemenperin menjelaskan usulan itu punya efek bukan hanya pada pergerakan industri otomotif, namun juga bisa membantu pertumbuhan perekonomian Indonesia yang sama-sama terganggu pandemi Covid-19.
Pajak 0 persen yang diusulkan misalnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan Bea Balik Nama (BBN). Tanpa pengenaan pajak-pajak itu harga mobil baru bakal terpangkas kemudian menarik minat masyarakat untuk membeli.
Rangsangan itu dipercaya akan menggerakkan mekanika industri otomotif, mulai dari meningkatkan volume produksi mobil dan suplai komponen, dealer lebih aktif, aktivitas leasing, serta membuat 1,5 juta orang yang terlibat di dalamnya bekerja sebagaimana mestinya.
Ada pro dan kontra terkait usulan pajak 0 persen mobil baru. Selama menggantung berbagai pihak juga sudah menyatakan mengalami efek negatif misalnya dealer yang menyebut ada kecenderungan masyarakat menahan membeli mobil baru dan bahkan mobil bekas.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bima Yudhistira berpendapat keputusan menolak yang diambil Kemenkeu tepat. Pada satu sisi, kata Bima, industri mobil sudah banyak memperoleh insentif sehingga usulan itu wajar diabaikan.
Kemenperin diketahui tidak hanya sekali mengusulkan insentif yang ditujukan mengurangi dampak pandemi bagi industri. Pada April Kemenperin pernah mengusulkan tiga poin stimulus fiskal, nonfiskal, dan moneter yang jika dirinci berupa insentif atau relaksasi PPh Pasal 21, 22, 25 selama enam bulan.
Kemudian insentif atau restitusi PPN dipercepat selama enam bulan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 23 tahun 2020, hingga memberikan pengurangan bea masuk impor.
Bima juga mengatakan ada banyak sektor yang harus diperhatikan pemerintah jika berbicara mengenai stimulus ekonomi selama pandemi.
“Jadi sebetulnya industri otomotif sudah banyak mendapatkan insentif dan kalau dikhusus pada sektor otomotif, nanti sektor lain bakal minta stimulus yang lebih besar. Padahal banyak sektor yang lebih diprioritaskan seperti kesehatan,” kata Bima kepada CNN Indonesia dilansir BatamNow, Selasa (20/10).
Menurut Bima sudah sepatutnya usulan ditolak karena itu menjadi momentum mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan kendaraan yang menghasilkan polusi.
“Justru sekarang momentum mengurangi ketergantungan terhadap mobil berbahan bakar,” ucap dia.
“Karena ke depan banyak investasi menghendaki Indonesia mengarah ke green economy atau ekonomi yang pro terhadap lingkungan. Jadi kita menangkap peluang tersebut. Jadi kita harus mendorong menstimulus sektor yang ramah lingkungan,” sambung Bima kemudian.
Bima juga berpendapat pada masa sulit pandemi sekarang, pajak nol persen mobil baru tidak akan terlalu berpengaruh pada penjualan.
“Masyarakat saat ini cenderung menabung. Apalagi situasi lagi tidak kondusif dan berisiko buat kemana-mana,” kata Bima.
Andai Pajak 0 Persen Disetujui
Ketua Umum Gaikindo Yohannes Nangoi mengatakan usulan pajak 0 persen mobil baru menjadi harapan pihaknya untuk memperbaiki hasil penjualan yang merosot.
Kata Nangoi sejak wabah virus corona ada di Indonesia, Maret-September, penjualan mobil susut hingga 50 persen dibanding periode sama tahun lalu. Gaikindo juga telah merevisi target penjualan tahun ini menjadi 600 ribu unit padahal tahun lalu tembus 1,1 juta unit.
Mengutip data Gaikindo, penjualan retail atau dari dealer ke konsumen Januari- September hanya mencapai 407.396 unit. Sedangkan periode yang sama tahun lalu 762.390 unit.
“Karena dengan kapasitas produksi saat ini dan jualan di bawah 500 ribu unit ya kami susah ya. Kalau ada relaksasi bisa lebih baik,” kata Nangoi.
Nangoi juga mengatakan ketika penjualan mobil terus menyusut itu berarti kontribusi perpajakan yang disetor ke pemerintah juga mengecil. Jika relaksasi pajak disetujui, dia bilang setidaknya kontribusi pajak bisa meningkat karena penjualan diyakini bakal terus bertambah.
Pajak mobil baru terdiri dari beberapa komponen, di antaranya PPn 10 persen, PPnBM 10-125 persen dan pajak daerah yakni PKB sekitar dua persen serta BBN 10-12,5 persen tergantung daerah.
Nangoi memberi contoh singkat soal potensi kehilangan pendapatan pajak. Misalnya saat situasi sulit penjualan mobil hanya 10 unit per bulan, jika total pajak yang harus disetor Rp 1.000 per unit maka uang yang masuk ke pemerintah sebesar Rp 10.000.
Bila pajak 0 persen mobil baru disetujui, lantas volume penjualan meningkat, itu diyakini akan meningkatkan pendapatan perpajakan buat pemerintah.
“Terus sekarang misal (pajak) diturunkan jadi Rp 500, tapi kami kontribusi dari 10 unit jadi 40 unit. Itu berarti kami bayar ke pemerintah Rp 20 ribuan, jadi double dari normalnya,” kata Nangoi.
Efektivitas Insentif
Bima menilai cara paling efektif secara logika untuk memulihkan industri otomotif pada masa pandemi yakni melalui penanganan optimal Covid-19. Bima menekankan industri tidak pasti pulih seketika jika hanya mengandalkan stimulus.
“Yang harus diperhatikan ya penanganan Covid-19, yang ujungnya akan ada pemulihan daya beli. Kalau sudah gitu otomatis situasi akan stabil dan ekonomi naik. Jika seperti itu ya otomotif akan ikutan naik,” kata Bima.
Bima juga menyarankan kepada Kemenperin dan Gaikindo mengoptimalkan segala bentuk insentif yang sudah tersedia, ketimbang mengusulkan pajak nol persen bakal mobil baru.
“Ya efektifkan dulu insentif yang ada sekarang. Kenapa tidak itu yang dioptimalkan dahulu dari pada meminta insentif baru,” ucap Bima.
Minta Diskon Jika 0 Persen Ditolak
Nangoi mengatakan pihaknya tak punya alternatif lain kepada pemerintah selain usulan stimulus atau relaksasi pajak ini. Menurut Nangoi jika itu ditolak, upaya lain yang akan dilakukan hanya mencoba bertahan.
“Tidak ada (alternatif). Kami kan hanya meminta pemerintah, boleh dong yang namanya anak ke orang tua dan pelindung supaya kami dikasih sesuatu relaksasi. Jadi yang biasanya kami menyumbang pajak dalam jumlah besar, nah hal ini tolong ya kami minta bayarnya setengah saja. Tapi kalau tidak dikasih ya sudah,” kata Nangoi.
“Ya pokoknya kami akan mencoba menyelamatkan diri sendiri dan mudah-mudahan kami bisa melewati hal ini dan industri otomotif tidak terganggu,” kata Nangoi lagi.(*)