BatamNow.com – Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Provinsi Kepulauan Riau menyoroti kecelakaan (laka) kerja yang beberapa kali terjadi dalam waktu dekat ini di Kota Batam.
Anggota Dewan K3 Kepri periode 2023-2025 Dr Parningotan Malau mengatakan, tragedi yang bahkan sampai memakan korban jiwa itu merupakan accident (kecelakaan) bukan insiden.
“Atas kecelakaan yang terjadi di PT BBS sudah pasti ada kelalaian pihak perusahaan, pengusaha terhadap pelaksanaan dan penerapan K3 di sana, Kalau K3 benar-benar diawasi, diimplementasikan sesuai standar penerapan perundang-undangan, jadi sekali lagi sudah pasti ada kelalaian di sana,” kata Parningotan yang ditemui BatamNow.com, Selasa (27/02/2024).
Hal itu disampaikannya ketika ditemui wartawan BatamNow.com, di kawasan Greenland, merespons kecelakaan kerja yang menyebabkan korban satu pekerja pengecatan tongkang yang tewas di PT Bahtera Bahari Shipyard (BBS), Kabil, Batam.
Menurut Parningotan, terkait syarat dan standar keselamatan kerja sudah diatur begitu lengkap perundang-undangan. Tetapi, kerap diabaikan pihak perusahaan.
Selain UU 1 Nomor 1970 tentang Keselamatan Kerja, diatur juga dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto UU 6/2023 tentang UU tentang Cipta Kerja.
Kenyataannya, Indonesia termasuk penyumbang korban kecelakaan kerja dan kematian akibat laka kerja tertinggi di dunia. “Jadi sangat problematik,” ucap Parningotan yang juga Presiden Kepri Lawyers Club (KLC) Indonesia.
Terkait kasus kecelakaan kerja di PT BBS, Parningotan menjelaskan bahwa Pasal 2 ayat (2) huruf a sampai r pada UU 1/1970 sudah mengatur ketentutan keselamatan kerja di segala tempat kerja.
Ia mencontohkan ketentuan huruf i dalam beleid itu yang berhubungan dengan kasus tersebut. “Ketentuan keselamatan kerja harus diperhatikan dimana dilakukan pekerjaan pada ketinggian, itu ketentuan dalam tempat kerja, kasus ini kan di tempat kerja,” tandasnya.
Sudah Diatur Penggunaan APD, Scaffholding, dan Tali Bekerja di Ketinggian
Parningotan yang juga Ketua DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Kepri ini melanjutkan, ada lagi Pasal 3 ayat (1) mengatur 18 item (huruf a sampai r) tentang syarat-syarat Keselamatan Kerja.
Untuk kasus PT BBS, Parningotan mencontohkan huruf a pasal tersebut bahwa syarat keselamatan kerja untuk mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja.
Kemudian huruf f menjelaskan syarat keselamatan kerja untuk memberi alat-alat perlindungan diri (APD) pada para pekerja.
“Jadi kecelakaan pada pekerja itu APD-nya kurang, harusnya kalau ada APD-nya, walaupun dia jatuh dari tangga, ada dicantolkan tali pada pinggang, sehingga kalaupun ada masalah, itu orangnya tergantung sama dengan pekerjaan bagian listrik, berarti kan dalam kasus ini, korban tidak memakai atau tidak ada disediakan perusahaan,” tegas Parningotan.
Kemudian pada huruf m, diatur untuk memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan kerja, dan cara proses kerja.
“Jadi ada keserasian antara tenaga kerja, dan ada syarat-syaratnya itu, apakah tenaga kerja ini memang sesuai kesehatannya, sesuai kondisi fisiknya, bisa bekerja di ketinggian. Banyak yang tidak bisa bekerja di ketinggian, tapi dipaksakan, bisa dikatakan fobia ketinggian. Apakah pengusaha sudah mengecek kesehatan para pekerjanya?” kata Parningotan.
Masih menyoroti pekerja PT BBS yang tewas tertimpa rantai ketika tangganya terjatuh, Parningotan mengatakan seharusnya perusahaan memperhatikan tingkat kemananan (safety) untuk pekerjaan di ketinggian itu.
“Selain menggunakan APD, sebaiknya kan harus menggunakan scaffholding, tidak hanya menggunakan tangga, atau menggunakan akses tali. Pengguna scaffholding atau akses tali pada pekerjaan ketinggian itu diatur secara jelas, pada turunan UU 1 tahun 1970 selain itu diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 9 Tahun 2016,” terang Parningotan.
“Yaitu tentang keselamatan kerja, pada pekerjaan ketinggian itu diatur penggunaan scaffholding. Kemudian turun lagi peraturan Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor Kep/DJ/PKK/2008 tentang pedoman K3 bekerja pada ketinggian menggunakan akses tali. Jadi aturannya sebenarnya sudah jelas, nggak ada lagi persoalan dengan peraturan,” imbuhnya.
Lalu, apakah Dewan K3 Kepri akan melakukan inspeksi terkait kecelakaan kerja dan pelaksanaan K3 di PT BBS?
“Belum ada rencana, karena inspeksi/investigasi wewenang pengawas, kecuali nanti ada kebijakan Kadisnaker Provinsi (yang secara ex-officio juga sebagai Ketua Dewan K3 Kepri) anggota Dewan K3 diajak untuk mendalami accident dan pelaksanaan K3 di perusahaan tersebut. Agar saran dan pertimbangan Dewan K3 ke Gubernur lebih detail dan akurat, kita harus inspeksi dulu ke lapangan, seperti bagaimana penerapan K3 di sana,” jelas Parningotan yang juga Praktisi dan Dosen Magister Hukum di Universitas Riau Kepulauan.
Diberitakan media ini, pria berinisial A (18 tahun) menjadi korban tewas dalam kecelakaan kerja di PT BBS di Kabil, Batam pada Senin (26/02). Dikabarkan, ada dua pekerja lagi menjadi korban luka dalam kecelakaan tersebut.
Kapolsek Nongsa Kompol Restia Octane Guchy menjelaskan, persitiwa itu terjadi sekira pukul 13.30 saat korban sedang menaiki tangga untuk melakukan pengecatan di kapal tongkang.
“Tiba-tiba tangga yang dinaiki korban miring kesamping sehingga korban terjatuh, lalu rantai pengikat tangga terputus dan menimpa bagian dada korban sehingga terjadi robekan didada dan punggung korban dan korban meninggal dunia di lokasi kejadian,” jelas Kompol Guchy, kepada BatamNow.com, Selasa (27/02).
Kapolsek Nongsa mengatakan, setidaknya sudah 3 saksi dimintai keterangan terkait kecelakaan kerja itu.
Selain di PT BBS, terjadi juga kecelakaan kerja di PT Sumber Samudra Makmur (SSM), Batu Ampar pada Senin (26/02) siang.
Dua pekerja masing-masing inisial JF (19) dan ISS (21), tewas kesetrum listrik di tugboat yang tengah diperbaiki. (Aman)