Semua orang tahu bahwa nilai kehidupan manusia selalu berubah dan berkembang, sebagian besar karena kekuatan arus ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berfungsi sebagai penggerak perkembangan budaya manusia.
Kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh tren perkembangan peradaban, terutama dalam hal kebutuhan hidup. Tren perkembangan ini dapat memiliki efek negatif yang dapat menghancurkan jiwa manusia secara bertahap jika tidak disadari.
Antara pengaruh negatif tersebut adalah penurunan kesadaran agama, kerusakan moral, dan tindakan amoral yang dapat merusak inti kehidupan manusia.
Pengaruh lain adalah tercerabutnya nilai-nilai kehidupan karena tindakan yang melanggar nilai-nilai kehidupan sehingga dapat menghasilkan sembrautnya nilai-nilai kehidupan manusia, yang pada gilirannya dapat menghasilkan karakter negatif individu.
Menurut Echols dan Shadily (2000), kata “karakter” berasal dari bahasa Inggris dan berarti “watak”, “sifat”, atau “peran”, sedangkan “karakter” berarti “sifat yang khas”.
Dalam bahasa Indonesia, karakter didefinisikan sebagai kombinasi dari semua sifat manusia yang konsisten, sehingga menjadi tanda unik yang membedakan orang satu dengan orang lain.
Pendidikan karakter adalah proses menuntut siswa untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, rasa, dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai dengan pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk sepenuh hati mendidik siswa untuk memilih yang baik daripada yang buruk, memelihara yang baik, dan melakukan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi, pendidikan karakter dilihat sebagai norma dan sistem nilai yang diterapkan dalam berbagai bentuk kualitas diri.
Nilai-nilai luhur membentuk karakter diri, yang pada akhirnya mengarah pada perilaku. Oleh karena itu, pendidikan yang mengembangkan karakter adalah jenis pendidikan yang dapat membantu mengembangkan sikap yang memiliki moralitas, etika, dan tanggung jawab.
Dalam pendidikan, nilai-nilai yang diajarkan harus menjadi dasar dari kurikulum sekolah yang bertujuan untuk dikembangkan secara berkesinambungan dan sistematis.
Nilai-nilai ini juga diintegrasikan dalam kurikulum dan sangat penting bagi masyarakat untuk memberikan contoh dan mendorong sifat baik seperti kejujuran, kesopanan, keberanian, ketekunan, kesetiaan, pengedalian diri, simpati, dan toleransi.
Tidak dapat dimungkiri bahwa agama memiliki peran yang sangat dominan dalam kehidupan manusia karena mengatur setiap aspeknya.
Peran agama dalam pembentukan karakter manusia termasuk memberikan pedoman untuk hidup manusia, membentuk akhlak manusia, dan mengatur akibat dari hidup mereka.
Pendidikan karakter harus dibangun melalui nilai-nilai agama karena, pertama-tama, pendidikan karakter memiliki relevansi dan penguatan dalam kesadaran teologis agama di masyarakat Indonesia yang religius.
Pandangan hidup, iman, dan taqwa adalah nilai karakter dasar yang telah melekat pada pikiran orang Indonesia.
Secara teologis, memiliki dasar keagamaan untuk membangun karakter melalui tindakan. Selain nilai-nilai akhlak yang mulia yang berasal dari agama, nilai-nilai karakter yang nyata termasuk jujur, adil, amanah, rasa malu, tanggung jawab, berani, disiplin, mandiri, kasih sayang, toleransi, dan cinta tanah air.
Kedua, agama menjadi sangat penting dalam kehidupan rakyat Indonesia.
Selain itu, pendidikan karakter memiliki potensi untuk memperkuat kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus menunjukkan bahwa agama dan nilai-nilai universal keagamaan di Indonesia tidak terpisah dari inti pendidikan dan kehidupan bangsa, yang dapat mengimbangi dan mengontrol agar masyarakat atau negara Indonesia tidak menjadi sekuler.
Sebagai masyarakat Indonesia, pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama dalam upaya memerangi masalah yang berkembang belakangan ini, seperti korupsi. Dalam situasi seperti ini, pendidikan karakter semakin penting untuk diterapkan.
Pendidikan karakter harus dilakukan secara menyeluruh dan menyeluruh, tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui pendidikan informal dan nonformal.
Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan sekolah semuanya bertanggung jawab atas pendidikan, bukan hanya sebagian. Pemimpin negara harus menjadi teladan dalam pendidikan karakter.
Pemimpin harus bertindak dengan cara terbaik untuk membantu masyarakat. Pejabat di lembaga legislatif, baik eksekutif maupun yudikatif, harus melakukan revolusi mental dengan mengubah sikap dan perilaku mereka sesuai dengan prinsip karakter universal dari agama mereka.
Pendidikan karakter pada dasarnya adalah upaya untuk mengajarkan peserta didik kebiasaan yang baik (habituation) sehingga mereka dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.
Pendidikan karakter harus diajarkan, dijadikan kebiasaan, dan dilatih secara teratur sebelum menjadi karakter bagi peserta didik.
Guru sangat berperan dalam meningkatkan pendidikan karakter anak didiknya. Untuk melakukannya, mereka harus memberikan contoh kepada anak didiknya. Guru akan membantu siswa menerapkan nilai-nilai karakter.
Guru adalah ditiru. Ini berarti bahwa apa pun yang disampaikan oleh guru, baik secara lisan maupun tulisan, dapat dipercaya dan diyakini benar oleh semua siswa.
Sementara ditiru berarti bahwa seorang guru harus menjadi suri tauladan dalam segala hal yang dia lakukan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa guru menjadi teladan dan panutan bagi semua muridnya.
Pendidikan karakter dimaksudkan untuk membentuk manusia secara holistik yang berkarakter selain untuk membentuk pembelajar sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan karakter akan memiliki kemampuan untuk secara optimal mengembangkan semua potensi siswa (spiritual, emosional, intelektual, sosial, dan fisik).
Hal ini menjawab pendapat yang selama ini mengemuka bahwa pendidikan hanya menekankan “aspek akademik” dan mengabaikan kreativitas, sosial, emosi, dan keterampilan motorik. Peserta didik hanya dididik untuk mendapatkan nilai yang tinggi, tetapi mereka tidak dilatih untuk bertahan hidup.
Untuk menerapkan penguatan pendidikan karakter, ada tiga pendekatan yang berbeda: berbasis sekolah, berbasis keluarga (rumah tangga), dan berbasis masyarakat.
Dalam pendekatan berbasis sekolah, sekolah bukan hanya tempat belajar; itu adalah tempat di mana siswa memperoleh peningkatan karakter, yang merupakan bagian penting dari pendidikan karakter itu sendiri. Dalam pendekatan berbasis sekolah, sekolah bukanlah hanya tempat belajar.
Sekolah bertanggung jawab untuk menghasilkan siswa yang baik secara fisik dan mental, bukan hanya dalam bidang teknologi dan matematika.
Keteladanan, pengajaran, dan penguatan harus mendukung pelaksanaan penguatan pendidikan karakter untuk memberikan nilai positif bagi peserta didik.
Dalam hal keteladanan, guru, orang tua, atau orang lain dalam masyarakat dapat menjadi panutan atau model yang baik bagi siswa mereka.
Dalam hal pengajaran, guru dan keluarga dapat mengajarkan nilai-nilai dan karakter yang baik sambil mengintegrasikan pengetahuan akademik dengan nilai-nilai kearifan lokal dan budaya.
God Bless Us..!!! (*)