BatamNow.com, Jakarta – Meski agak lelet, namun akhirnya DPR RI mengesahkan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura terkait Ekstradisi Buronan, pada Sidang Paripurna, hari ini. Padahal, kesepakatan ekstradisi tersebut telah ditandatangani oleh kedua negara pada 25 Januari 2022, di Bintan, Kepulauan Riau, yang disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Lee Hsien Long.
Kepada awak media, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengungkapkan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura setelah melalui jalan panjang dan berliku, sejak 1979.
“Pembahasan ekstradisi telah dimulai sekitar tahun 1979. Pada masa itu, banyak warga negara Indonesia (WNI) yang kabur ke Singapura setelah melakukan kejahatan, khususnya kasus korupsi. Karenanya, Indonesia berupaya membuat perjanjian ekstradisi untuk menangkap buronan-borunan tersebut di Singapura,” terangnya di Jakarta, Selasa (06/12/2022).
“Setelah melakukan aksi kejahatan dengan santainya orang Indonesia kabur ke Singapura. Karena tak ada perjanjian ekstradisi, buron atau orang tersebut tidak bisa dibawa ke Indonesia,” bebernya.
Menurutnya, banyak yang ambil uang dari Indonesia, lalu dibawa ke Singapura. Bahkan Singapura bisa makmur seperti sekarang, banyak yang bilang karena uang haram dari Indonesia.
Bahkan tercatat ada 23 orang Indonesia, buronan koruptor yang kabur ke Singapura. Paling anyar, Harun Masiku.
Di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono coba digagas perjanjian ekstradisi dan cukup berhasil. Tapi Indonesia tidak meratifikasi karena Singapura minta perjanjian DCA (perjanjian kerja sama pertahanan). “Sempat ramai perdebatan ‘masak kedaulatan ditukar dengan buron’,” kata Hikmahanto.
“Di masa Pak SBY, hasil negosiasi perjanjian diberlakukan secara retroaktif hingga 15 tahun ke belakang, supaya menjangkau pelaku kejahatan kerah putih masa BLBI. Kalau sekarang dimundurkan jadi 18 tahun,” urainya.
Tak hanya itu, para negosiator Indonesia juga meminta aturan tersebut juga diberlakukan bagi WNI yang dikejar dan telah berubah kewarganegaraan menjadi WN Singapura.
Dia menjelaskan, ekstradisi adalah penyerahan orang yang dianggap melakukan kriminalitas dan penyerahan dilakukan oleh suatu negara kepada negara lain dan diatur dalam perjanjian. Kemenkumham menyebut perjanjian ini bakal bikin gentar koruptor dan teroris. Kedua negara sepakat melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
DPR RI telah mengetok palu mensahkan perjanjian ekstradisi tersebut, yang dihadiri oleh Menkumham Yasonna Laoly.
Ketika dikonfirmasi, Lalola Easter Kaban, peneliti pada Indonesia Corruption Watch (ICW), mengatakan buron koruptor dan aset-asetnya “masih banyak di luar negeri”. Maka perburuan tersangka kasus korupsi dan aset-asetnya dinilai masih jadi pekerjaan rumah (PR) yang panjang.
“Ekstradisi ini kan lebih cenderung kepada orangnya, nah masalah aset itu tentu jadi salah satu poin yang perlu juga ditanggapi, cuma itu biasanya yang lebih menantang, karena aset seringkali juga disamarkan, misalnya, nama kepemilikannya. Dan di sisi lain juga paling tidak ada dua otoritas yang nantinya akan dilibatkan,” tandasnya.
Meski begitu, Lalola juga mengatakan penandatanganan ini tentunya menjadi ‘langkah awal’ membantu penegak hukum Indonesia dalam memburu tersangka pelaku kejahatan, termasuk korupsi, yang mungkin melarikan diri ke Singapura demi berusaha mempertahankan “kekebalan hukum” dari kejaran aparat.
Akankah dibuktikan dengan penandatanganan perjanjian ekstradisi ini, maka pemerintah dan aparat berhasil membawa pulang para koruptor? Atau mungkin ada faktor X lain? (RN)