BatamNow.com – Mendengar kata Singapura, mungkin yang terlintas di pikiran adalah negara maju, kaya, modern, dan segala kecanggihan ada di negara ini. Bagaimana tidak, negara seluas ± 728,6 km² ini dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi, baik perkantoran maupun tempat tinggal.
Dengan kata lain, sebagian besar warga Singapura tinggal di apartemen dan hal tersebut seperti sebuah hal yang lumrah. Namun, rupanya Singapura memiliki sisi lain yang mengejutkan.
Di tengah modernisasi yang mereka tonjolkan, ternyata Singapura masih memiliki perkampungan di dalamnya, bahkan terletak di tengah kota. Setidaknya, ada 25 keluarga yang tinggal di sana.
Lorong Buangkok adalah pengecualian bagi kemewahan di Singapura. Dikutip dari Insider, Lorong Buangkok adalah satu-satunya desa tradisional yang tersisa di Singapura.
Asal Usul Lorong Buangkok
Sedikit melongok ke belakang, adanya kampung ini bermula dari Sng Teow Koon, seorang pria Singapura yang membeli sebidang tanah seluas 12.248 meter persegi pada tahun 1956. Wilayah tersebut kemudian dibangun rumah-rumah yang terbuat dari kayu dan seng atau rumah Attap.
Lambat laun, pembangunan di Singapura pun berjalan pesat. Di sekitar area tersebut dibangun gedung-gedung apartemen dan bungalow modern. Namun, Kampong Lorong Buangkok masih bertahan dengan sisi tradisionalnya.
Kendati rumah-rumah yang ada di sana jauh dari kesan modern, tapi warganya tidak menutup diri dari modernisasi. Mereka juga menikmati teknologi, termasuk mobil mewah, WiFi berkecepatan tinggi, dan smart TV.
Penduduknya juga hidup tak berbeda dari orang-orang Singapura pada umumnya. Penduduknya ada yang bekerja sebagai karyawan di pusat kota dan membeli bahan makanan dari supermarket lokal.
“Penduduknya tidak miskin, setiap rumah memiliki mobil, kami ingin menjaga budaya,” kata Sng kepada Insider.
Umumnya, penduduk yang tinggal di Kampong Lorong Buangkok ini berasal dari kampung-kampung di Asia Tenggara. Mulanya, rumah-rumah di sini tidak dipagari, tapi menurut pemandu wisata Kyanta Yap kepada Insider, pada akhir 2000-an penduduk desa membangun pagar untuk melindungi diri dari maling.
Sewa Rumah Cuma Rp150 Ribuan!
Bukan rahasia jika harga sewa properti di Singapura terbilang mahal. Bahkan, Singapura dinobatkan sebagai negara paling mahal kedua di dunia untuk menyewa properti. Namun, hal ini tidak berlaku bagi Sng. Pasalnya, ia hanya membebankan SGD 13 per bulan kepada penduduk desa tersebut.
Padahal, rumah Attap berukuran dua kali luas apartemen studio di Singapura. Ayah Sng pernah mau menaikkan harga sewa pada era 1950-an tapi ia menolak.
“Mengapa saya harus menaikkan sewa sebagai tuan tanah generasi kedua?” kata Sng.
“Jika saya mencoba menaikkan harga, mereka hanya akan membuat keributan,” tambahnya kepada Insider. (*)
sumber: beautynesia.id