BatamNow.com, Jakarta – Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) mencatat banyak keluhan dari pengguna jasa terkait layanan di pelabuhan kontainer di Batu Ampar.
Sayangnya, keluhan berkepanjangan karena penyelesaiannya dari Badan Usaha (BU) Pelabuhan BP Batam, dinilai begitu lamban.
Beberapa waktu lalu juga mencuat soal pungutan biaya lain di luar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kementerian Perhubungan, yakni biaya 20% kepada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan tersebut.
“Banyak keluhan, baik dari pengusahaan kepelabuhanan maupun pelaku usaha terkait pungutan tersebut. Para pelaku usaha mengaku dengan pungutan begitu, otomatis merusak hitung-hitungan bisnis mereka,” aku Febriyantoro, Tenaga Ahli Aksi Reformasi Tata Kelola Pelabuhan Stranas PK, kepada BatamNow.com, Rabu (27/12/2023).
Akibat kebijakan labuh jangkar tersebut, ujarnya, sangat kesulitan menarik kapal-kapal untuk sandar di Pelabuhan Batu Ampar.
Dulu, sebelum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 165/2021 direvisi menjadi PMK 139/2022, parkir kapal di Batam dikenakan biaya Rp 700/GT.
Sekarang sudah berubah menjadi sekitar Rp 0,7/GT. Hasilnya signifikan, di mana biaya labuh jangkar lebih rendah dari Singapura.
“Yang terjadi selama ini, kita tidak bisa bersaing dengan Singapura karena selain biayanya jauh lebih mahal juga tata kelolanya ribet dan semrawut. Belum lagi diduga ada pungli yang dilakukan oknum-oknum di sana,” kata Febriyantoro.
Selain itu, ada juga keluhan dari para pelaku usaha terkait kewajiban memberikan dana deposit (hold) yang disetorkan saat memarkirkan kapal di Batam. Kabarnya, kalau dana deposit sudah masuk ke Badan Usaha (BU) Pelabuhan Batam, susah keluarnya.
“Kalaupun keluar (dana deposit) butuh waktu lama, padahal kapal sudah harus berangkat. Ini kerap dikeluhkan oleh para pengusaha pemilik kapal. Karena dengan lamanya keluar dana deposit tersebut, maka parkir kapal jadi lebih lama. Terkesan proses pengembalian dana deposit dipersulit,” tandasnya.
Rendah Akuntabilitas
Dalam hal ini, Stranas PK sudah memberikan masukan ke BP Batam, tapi sepertinya tak digubris.
“Saya dapat info, pungutan 20% ke pengguna jasa kepelabuhanan masih saja diterapkan sampai hari ini. Padahal, tidak ada dasar aturan perundang-undangan pengenaan tarif tersebut. Jadi, apa dasar BP Batam mengenakan tarif tersebut? Tidak jelas,” tegasnya.
Dari hasil pengecekan, Stranas PK menyimpulkan sistem di BP Batam sangat rendah akuntabilitas, sehingga data dalam sistem berbeda dengan fakta di lapangan.
Penanganan persoalan kepelabuhanan di Batam dinilai sangat lemah dan BP Batam sendiri tidak capable mengurusnya. “Mungkin mereka (BP Batam) sudah sadar tidak capable urus pelabuhan. Anehnya, tetap dipertahankan. Bisa jadi karena ada transaksional bernilai besar yang berputar di sektor itu,” cetusnya.
Toro, sapaan akrabnya mengatakan, setelah membuat BU Pelabuhan BP Batam tanpa legal standing yang kuat, kini digandeng juga PT Persero Batam untuk mengelola kepelabuhanan, menjadi pihak ketiga. “Kami sudah ingatkan kalau PT Persero ini juga tidak memiliki pengalaman atau capable di bidang kepelabuhanan. Alhasil, proses layanannya sama saja,” tukasnya.
Dirinya juga mengkritik PP 41/2021 sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. “Itu juga sumber masalah karena jadi tumpang tindih dengan aturan-aturan di masing-masing kementerian. Bahkan regulasi tersebut bertentangan dengan UU Pelayaran plus peraturan di Kementerian Perhubungan jadi tumpang tindih,” terangnya.
Menurutnya, kalaupun para pengusaha sudah teriak-teriak akan hal tersebut, sepertinya tidak didengar oleh pemerintah.
Masalah lainnya, sambung Toro, di Pelabuhan Batu Ampar kerap terjadi, orang harus melintas menuju kapal ditengah lalu lalang truk kontainer. “Tidak boleh seperti itu. Sudah menyalahi aturan sebenarnya. Tapi kenapa terus dibiarkan sampai sekarang. Apa tidak ada solusi yang bisa diberikan?” tanyanya.
Dia menilai, sepertinya BP Batam kurang fight dan serius untuk membenahi Pelabuhan Batu Ampar.
Diakuinya, kelambanan mengatasi masalah bukan hanya di BP Batam, tapi juga Pemerintah Pusat. “Kita harus jujur akui bahwa baik BP Batam maupun Pemerintah Pusat lamban menangani persoalan yang terjadi di sana. Bahkan ada kesan pembiaran terhadap masalah yang terjadi,” katanya.
“Kalau cepat bergerak, maka permasalahan di Batam akan segera teratasi. Tapi kalau tidak diapa-apain, ya akan terus seperti ini. Kapal-kapal internasional tidak akan tertarik memarkirkan kapalnya di Batam,” jelasnya.
Ditegaskannya, super power-nya BP Batam membuat layanan, termasuk kepelabuhanan menjadi tidak optimal. “Kami akan sampaikan masalah-masalah di Batam untuk selanjutnya menjadi kajian Pemerintah Pusat untuk melihat apakah BP Batam masih diperlukan atau tidak. Kalaupun masih ada, perlu dipastikan kinerja BP Batam diawasi oleh Kementerian dan pihak-pihak terkait di pusat,” pungkasnya. (RN)