BatamNow – Sungguh baik tujuan pembangunan proyek IPAL di Batam, bila membaca visi yang tertoreh di balik penandatanganan Loan Agreement (LA)-nya.
“Membangun saluran pembuangan terintegrasi di Batam, guna mengurangi polusi perkotaan, memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat setempat, menarik investor dan meningkatkan sektor pariwisata serta sektor terkait lainnya.”
Itulah kutipan yang tertera di laman website Ditjen PPR.
Dari Air Limbah Sim Salabim…
Polemik di media sosial riuh di Batam, menyebut pengelolaan proyek IPAL ini menghasilkan air konsumsi untuk manusia.
Bahkan konstruksi persepsi yang dibangun, hasil olahan akhir sanitasi rumah tangga pun “sim salabim” berubah menjadi air minum.
Malah diklaim, airnya lebih higienis dari air yang dikelola PT Adhya Tirta Batam (ATB) sebagai distributor.
Bahkan Direktur Badan Usaha Fasilitas dan Lingkungan BP Batam Binsar Tambunan pun, secara eksplisit menyatakan air limbah yang diolah lewat IPAL menjadi air layak konsumsi.
Padahal kutipan yang ditoreh pada proposal LA IPAL itu, tak satu kalimat pun menyebut “air limbah menjadi air minum”.
Sebegitu hiruk-pikuknya proyek IPAL yang dikaji bermasa depan ini. Pagu anggarannya hampir Rp 700 Miliar (kepastian pagu proyek masih berantakan).
Dihutangi dari Exim Bank of Korea dan yang pasti akan membebani negara dan rakyat, nantinya.
Hiruk pikuk proyek IPAL ini pun, di saat masyarakat Batam di tengah keresahan rencana rationing atau penggiliran air.
Masalah krisis air dan IPAL ini menambah kegentingan di tengah mewabahnya pandemi Virus Corona yang sangat menakutkan itu. Dan mudah-mudahan imbas semua ini, tak sampai merontokkan ekonomi Batam.
Membangun proyek IPAL tak salah, bahkan bermanfaat demi kesehatan dan lingkungan hidup yang higienis. Tapi mungkin momennya tak pas.
Terkesan proyek ini dipaksakan dari pemerintah pusat. Apalagi dengan pinjaman Luar Negeri (LN) yang pokok dan bunganya akan ditanggung negara dan rakyat selama 40 tahun. Belum lagi pagu anggarannya yang berantakan.
Sementara urgensi kebutuhan masyarakat daerah ini masih jauh dari kajian di balik proyek tersebut.
Katakanlah untuk keperluan investasi dan pengembangan industri, proyek IPAL bukan penentu dan bahkan tak terkait. Sementara pelabuhan kargo utama Batu Ampar sebagai pintu memobilisasi arus barang investasi dan industri itu, ambruk dibiarkan berkepanjangan. Hingga kini.
Tengoklah kondisi pelabuhan itu, kini. Merana. Bandingkan dengan kondisi di pelabuhan kargo modern di Singapura dan Malaysia, bila anda sudah pernah melihatnya.
Sampai kini Pelindo II masih dalam tahap perencanaan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas Pelabuhan Batu Ampar. Entah sampai kapan?
Itupun setelah hampir 50 tahun, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (KPBPBB) ini dikembangkan.(*)