BatamNow.com – Ketua DPP Kepri Lembaga Investigasi Tindak Pidana Korupsi dan Hukum Kinerja Aparatur Negara (LI Tipikor) Panahatan SH meminta BP Batam mengaudit tuntas keberadaan waduk swasta di Batam.
“Kami minta diaudit, apakah keberadaan waduk swasta itu sesuai ketentuan perundang-undangan atau sebaliknya melanggar undang-undang,” tegasnya.
Paling tidak ada dua waduk di kawasan industri di Batam, yakni milik PT Kabil Indonusa Estate (KIE) dan di kawasan Panbil Industrial Estate (PIE).
Berita BatamNow.com, Senin (15/11/2021), pihak KIE menguasai sendiri waduk di Kawasan Industri Terpadu Kabil (KITK), selama ± 30 tahun.
Hal itu terjadi sejak pembuatan hingga dikelola sampai hari ini, semua kebijakan dan keputusan atas pengoperasian waduk tersebut ditangani tunggal PT KIE, tanpa regulasi pihak eksternal, yakni BP Batam.
Bahkan disebut, untuk penetapan harga komersil air baku yang disedot bertahun-tahun dari sumber daya air (SDA) itu, diputuskan sendiri oleh pihak PT KIE.
Artinya bahwa PT KIE memiliki dan menguasai penuh waduk itu tanpa campur tangan pihak eksternal.
Sementara Pasal 7 Undang-undang (UU) 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menyebut, “sumber daya air (SDA) tidak dapat dimiliki dan/ atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha”.
“BP Batam belum memberikan izin kepada PT KIE terkait pengelolaan embung (waduk-red), mengingat pemberian Izin Penggunaan dan Pengambilan Air Baku, sesuai PP Nomor 41 Tahun 2021 baru diberikan kepada BP Batam pada tahun 2021 dan diperlukan koordinasi dan pembahasan lanjutan dengan instansi terkait untuk penerapannya,” tulis Plh Direktur Badan Usaha Sistem Pengelolaan Air Minum BP Batam, Ibrahim, Selasa (16/11) menjawab surat konfirmasi BatamNow.com.
Sementara pihak PT KIE berdalih bahwa keberadaan waduk di KITK, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri. Padahal PP tersebut hanya mengatur persyaratan kawasan industri, bukan izin pengusahaan SDA.
Selain masalah waduk, juga mengenai penyebutan atau nomenklatur “air bersih”, Kepmenkes RI No 1405/Menkes/SK/XI/2002 yang mengatur tentang air bersih sudah “tidur panjang” alias dicabut sejak tahun 2016 dan diganti: air minum.
Air minum dalam UU 17 Tahun 2019, adalah air yang melalui pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.
Air minum juga menurut PP 122 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum, selain dapat diminum langsung, air minum juga dapat digunakan untuk keperluan mencuci, mandi dan sebagainya.
“Bila merujuk pada Kepmenkes RI No 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri sebagaimana yang dimaksudkan BP Batam, ya itu sudah tak berlaku lagi alias mati. Masa BP Batam tak tahu itu,” kata Panahatan sembari bertanya.
Kepmenkes RI No 1405/Menkes/SK/XI/2002 dicabut setelah diundangkannya Permenkes Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri pada 20 Januari 2017.
Dia juga mempertanyakan mengapa BP Batam membiarkan kondisi penanganan waduk itu tanpa ketentuan atau regulasi baku dari BP Batam, selama puluhan tahun.
“Keberadaan waduk di Kabil itu sangat mencengangkan. Masa berpuluh tahun tak memiliki izin, padahal selama itu pula sudah dikomersilkan. Ini bagaimana ya,” tanya Panahatan.
Pihak PT KIE belum merespons konfirmasi kedua wartawan BatamNow.com yang dikirimkan lewat WhatsApp, Selasa (16/11).
Berita media ini dua hari lalu mengangkat tentang keberadaan waduk di KITK seluas 60.000 m2 itu.
Air permukaan sebagai supporting industri di KITK, ternyata dijual juga ke perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), salah satu tenant di kawasan itu.
Ketentuan perundangan memang tidak melarang adanya perusahaan air kemasan di sana. Dan bahkan suplai airnya adalah hasil olahan PT KIE dari waduk di kawasan KITK.
Masalahnya adalah pertimbangan dari aspek keadilan sosial dimana hak rakyat atas air minum di Batam, secara teori dijamin negara, tapi secara fakta masih jauh dari jaminan undang-undang. Apalagi waduk itu tak memiliki izin.
Masih banyak masyarakat di Batam yang belum terpenuhi hak hidupnya atas kedaulatan air minum.
Sejumlah masyarakat masih serba kekurangan atas pelayanan kontinuitas, kualitas dan kuantitas air minum ditengah PT KIE mengkomersilkan air untuk dikelola menjadi air premium untuk mendapat cuan besar. “Ada azas ketidakadilan sosial di sana. Masalah air adalah masalah HAM,” ucap Panahatan.
Sementara produk AMDK yang diproduksi PT Wahana Tirta Milenia di sana, menggunakan air olahan WTP di waduk milik PT KIE.
Pihak LI Tipikor juga mempertanyakan kondisi konservasi dan lingkungan waduk di KITK itu. “Saya melihat agak aneh, di sekitar area luar waduk nyaris tak ada hutan sebagai catchment area.
“Apalagi saya baca dari media ini bahwa keberadaan waduk itu awalnya karena ada sungai yang dihempang,” ujar Panahatan.
Ia tegaskan bahwa dalam UU diatur akan kelestarian dan keberlangsungan alam. “Lalu bagaimana pihak PT KIE mempertanggungjawabkan ini,” tanyanya.(Hendra)