News Analysis
Oleh: Tim News Room BatamNow.com
Sidang dua nakhoda kapal super tanker asing, tak hanya diatensi nasional dan internasional.
Tapi sejumlah anggota telik sandi dari berbagai angkatan negara di negeri ini tampak di sidang dua nakhoda warga negara asing (WNA), di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Kamis (20/05/2021).
Ada apa?
Pantauan BatamNow.com yang meliput, tampak beberapa anggota telik sandi itu menyimak proses persidangan tersebut.
Kebetulan dari mereka, tak asing lagi di mata wartawan media ini. Jumlah pengunjung sidang juga lumayan ramai dari biasanya.
Agenda persidangan Kamis (20/05) kemarin, seyogianya menjatuhkan vonis kepada Mehdi Monghasemjahromi, WN Iran dan Chen Yi Qun, WN Tiongkok.
Tapi ditunda.
Mehdi adalah nakhoda Kapal Tanker MT Horse berbendera Iran dan Chen Yi Qun, menakhodai MT Freya berbendera Panama.
Kedua kapal asing itu tersandung perkara melakukan kegiatan ILEGAL ship-to-ship (STS) di perairan Indonesia. Ditangkap patroli KN Pulau Marore 322 milik Bakamla RI di lautan Pontianak, Kalimantan, 24 Januari 2021.
Kapal Tanker MT Horse kepergok Bakamla mentransfer 300 ribu matriks ton minyak mentah (Crude Oil) ke kapal MT Freya karena masuk lintas transit perairan Indonesia.
Penundaan putusan atau vonis itu oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam David Sitorus yang menyidangkan perkara tersebut.
Menurut David, sidang vonis akan dilanjutkan pada Selasa (25/05).
Alasan hakim, karena disorot secara nasional dan internasional. Wow!
David tidak serta merta menggambarkan hiruk pikuk atensi nasional dan internasional itu, seperti apa?
Sehingga pernyataan David ini menyisakan tanya. Logiskah alasan itu?
Selain atensi yang luar biasa itu, ketua mejelis hakim itu juga mengatakan ada fakta-fakta yang harus mereka pertimbangkan lagi sebelum putusan diketok.
Fakta apa lagi?
Penundaan Vonis Bukan Dipengaruhi Faktor Lain
Lalu apa hal krusial lainnya sehingga perhatian nan luas atas persidangan itu menjadi alasan penundaan sidang?
Apalagi jarak penundaan sidang dengan lanjutan sidang vonis yang Selasa (25/05) hanya berselang dua hari kerja: Jumat dan Senin.
Penundaan persidangan vonis inipun memantik berbagai spekulasi liar dan menjalar ke mana-mana.
“Menjadi pertanyaan besar,” kata Syamsudin Haris SH, akademisi dari Batam ini.
Opini publik ‘riuh’ justru mempertanyakan balik beberapa pernyataan dan pernyataan penting hakim David di persidangan Kamis (20/05) itu. Pernyataan-pernyataan yang menarik untuk disimak dan ditelisik lebih dalam.
Misalnya, David mengatakan penundaan pembacaan vonis kepada terdakwa Mehdi tidak dipengaruhi oleh faktor lainnya.
Mengapa tetiba muncul pengakuan itu? Lalu siapa siapa yang menduga?
Bukankah peradilan dan juga hakimnya tak boleh dan tak dapat diintervensi oleh pihak manapun dan itu dijamin oleh undang-undang?
Bukankah penundaan setiap sidang di setiap pengadilan itu juga hal lazim?
Mengapa mesti karena alasan sorotan nasional dan internasional?
Justru narasi yang disampaikan David itu memancing publik menaruh curiga.
Tentang narasi David, yang menyatakan “perlu mempertimbangkan semuanya, dimana ada juga penambahan bukti surat yang baru diserahkan oleh penasihat hukum terdakwa”.
Penambahan bukti baru apa gerangan?
Apalagi David yang menanyai terkait penambahan bukti surat yang seharusnya diajukan sebelum pemeriksaan para saksi ahli di persidangan.
“Tiba-tiba bukti surat diajukan bersamaan dengan surat tuntutan penuntut umum. Ini saya katakan supaya semua yang di luar sana paham juga. Jadi semua itu juga harus kami pertimbangkan,” tambah David di persidangan itu.
Atas narasi dan beberapa hal yang disampaikan David di persidangan itu, memicu spekulasi.
Jangan Seolah-olah Nanti Ada yang Kita Tutup-tutupi
Tentang bukti surat baru itu seperti apa nanti yang disampaikan sebagai bukti pertimbangan saat membacakan amar putusan. Keputusan apa yang dapat dipengaruhi oleh bukti surat yang baru itu?
Selanjutnya David Sitorus juga mengingatkan lagi kepada JPU tentang dakwaan sebelumnya yang sudah “dianulir” pada saat membacakan tuntutan. Yakni dakwaan atas kepemilikan senjata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951, tidak terbukti.
“Saudara menyatakan, senjata tidak terbukti. oke tidak masalah. Hukuman dalam ALKI adalah alternatif, tuntutan saudara masih atau tetap seperti itu? Biar bisa kami pertimbangkan semua,” tanya David kepada JPU Rumondang.
Sampai di situ, tampaknya, seolah-olah muncul kehati-hatian dari mejelis hakim? Mengapa sampai menanya ulang hal itu kepada JPU?
Saat persidangan itu, David Sitorus juga menegaskan akan mempertimbangkan semuanya dan akan dijelaskan nantinya sehingga semua pihak dapat mengetahui.
Bukankah memang tugas hakim untuk melakukan pertimbangan atas fakta-fakta yang terungkap di persidangan?
Lalu David juga mengatakan, “jangan seolah-olah nanti ada yang kita tutup-tutupi. Banyak hal yang harus kami pertimbangkan kembali”.
Apakah memang ada pihak-pihak yang mencurigai bahwa dugaan ketidakadilan terjadi dalam proses persidangan selama ini?
Bukankah hakim pengadilan itu harus membuka serta mempertimbangkan fakta-fakta yang benar dalam setiap persidangan?
Perkara MT Horse dan MT Freya memang menarik untuk ditelisik. Perkara ini memang ‘bersinggungan’ dengan tiga negara.
Dibebaskannya Mehdi oleh JPU Rumondang Manurung dari dakwaannya atas ancaman hukuman kepemilikan beberapa senjata api, AK-47 dan ribuan amunisi di MT Horse , menjadi pemicu tanya.
Pasal yang didakwakan sebelumnya yakni Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Darurat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1951.
Pasal hukuman yang didakwakan kepada nakhoda kapal ‘mafia’ minyak mentah ini hanyalah soal pelanggaran tentang perairan atau pelayaran Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Mehdi dalam tuntutan JPU diketahui telah melanggar Pasal 317 juncto Pasal 193 ayat (1) huruf b Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan hukuman 1 tahun penjara dalam masa percobaan 2 tahun serta denda Rp 200 juta.
Sedangkan Chen Yi Qun, dalam tuntutan JPU diketahui telah melanggar Pasal 104 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP serta Pasal 317 juncto Pasal 193 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dengan pidana selama 1 tahun penjara dalam masa percobaan 2 tahun serta denda Rp 2,5 miliar.
Banyak pelajaran berharga yang bisa digali dari perkara dua kapal super tanker asing ini. Baik kapal super tanker milik National Iranian Tanker Company, maupun MT Freya yang dikelola perusahaan logistik asal Shanghai, Tiongkok itu.
Pelajaran berharga atas tuntutan hukuman kepada nakhoda kapal super tanker berbendera Iran dengan bobot 163.660 GT itu.
Bentuk dan tuntutan hukuman penjara kepada ‘mafia’ minyak mentah sebanyak 300 ribu matriks ton crude oil (-bukan BBM) yang dinilai relatif rendah.
Padahal tuntutan hukuman yang relatif rendah seperti itu hampir terjadi setiap hari di PN Batam dengan kasus-kasus pidana biasa dan lainnya.
Kasus-kasus yang tidak riuh apalagi menjadi perhatian nasional dan internasional. Kasus-kasus yang hanya di pusaran kapal-kapal sekelas pompong.
Kasus-kasus penangkapan yang terjadi pada kapal nelayan Thailand, yang kapalnya ditenggelamkan.
Lalu kejutan apa yang akan terjadi oleh Majelis Hakim pada putusan vonis hari Selasa, 25 Mei 2021 mendatang, sampai persidangan itu sempat ditunda?(*)